Karya Asli By Kiboy.
Araya—serta kekurangan dan perjuangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KiboyGemoy!, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Sesampainya di depan pintu Apartemen, Araya tersenyum lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku baju sekolah.
"Makasih." Ia menyodorkan satu permen yang lagi-lagi membuat Rifan terkekeh manis.
"Apa kamu akan terus seperti ini?" tanya Rifan, menerima permen yang Araya berikan.
Araya terkekeh malu. "Aku hanya bisa melalukan hal ini," jawabnya.
Rifan hanya bisa terkekeh sambil menatap permen rasa strawberry di tangannya. "Kalau begitu aku duluan, yah. Kamu jangan keluar-keluar, kalau ada apa-apa kabari aku," ucap Rifan.
Araya mengangguk. "Baiklah." Rifan pun berlalu pergi dengan lambaian tangan yang tidak tertinggal.
Sesampainya di parkiran pemuda itu bersemu, lagi-lagi ia memandangi permen di tangannya. "Benar-benar manis," lirihnya gemas.
.
.
Rifan melangkah memasuki rumahnya, di ruang tamu sudah ada Syam—sepupunya. Kalian tidak lupakan dengan Syam yang muncul di Bab 18?
"Malam bro, telat juga pulangnya?" Pemuda itu berdiri, berjalan ke arah Rifan lalu merangkulnya.
Rifan dengan cepat memindahkan tangan pemuda itu, kasar. "Ngapain ke sini?" tanya-nya.
"Ngga ngapa-ngapain cuman mau ngasih tau kalau Tante sama Om pulangnya bulan depan," ucapnya.
Rifan mengangguk kemudian berjalan menuju tangga. "Eh, bentar!" Syam menahan pergelangan tangan Rifan.
Pemuda itu menoleh.
Syam dengan gesit mengambil permen di saku baju Rifan. "Wih, manusia es bisa juga, yah, beli permen selucu ini," ucap Syam menatap permen tersebut, berniat untuk membuka plastiknya.
Rifan dengan cepat merebut kembali permen itu, memperhatikannya dengan teliti. "Jangan asal merebut barang orang." Kesal Rifan.
Syam terkekeh. "Ehek! Ini kali pertama kamu kekanakan kayak gitu, kenapa?" tanya Syam tersengar menggoda.
Dengan kasar Rifan mendorong dada pemuda itu untuk menjauh. Ia pun kembali melangkah menuju tangga.
Syam memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Menatap Rifan dengan gelengan kecil. "Bi, kaget ngga liat permen itu?"
Bibi terkekeh ringan. "Sebelumnya Tuan Rifan belum pernah membeli permen selucu itu, rasa strawberry lagi."
Syam tertawa gemas. "Makin dewasa hormonnya mungkin semakin meningkat ke gemesan."
(╥﹏╥)
Selesai mandi Rifan berjalan ke arah lemari pakaian, ia mengambil baju kaos hangat lalu celana pendek sepaha. Pemuda itu duduk di teras kamar dengan segelas teh hangat.
Jangan tanya, wajah pemuda itu sangat serius menatap layar ponsel. Mengetik beberapa kata lalu dihapus karena merasa tidak masuk akal dengan apa yang ia ketik.
Mengetiknya lagi lalu kembali ia hapus. Entah apa yang pemuda itu pikirkan.
"Duh, apa yang aku lakukan sih!" gerutunya kesal, meletakkan ponsel di atas meja lalu menyeruput tes.
Ting!
Sebuah pesan masuk, dengan gerakan cepat ia mengambil ponsel dan melihat pesan yang ternyata bukan pesan dari seseorang yang dia tunggu-tunggu.
"Hmm, bagaimana kalau ku tanya apa yang sedang dia lakukan?" pikirnya.
Ia menggeleng cepat. "Tidak, tidak, untuk apa aku penasaran dengan apa yang dia lakukan?"
"Bagaimana dengan ... berangkat bersama?" lagi-lagi ia menggeleng.
"Ku jemput langsung saja."
Pemuda itu mulai mengetik apa yang ia pikirkan lalu kembali dihapus. "Apa, yah ..."
Drttt...
Mata Rifan membulat sempurna saat tangannya tidak sengaja memencet panggilan video ke nomor Araya. Dengan cepat pemuda itu ingin mematikan panggilan, namun entah mengapa tidak mati-mati.
"Kenapa tidak mati, sih!"
Terlambat, Araya sudah mengangkat panggilan video itu.
"Rifan, ada apa?" tanya Araya di balik layar.
Rifan terkekeh canggung, bingung harus berkata apa. "Anu ... hmm."
"Iya, kenapa?"
"Anu ...."
"Apasih Rifan? Anu, apa?"
"Apa kamu tidak merasa kesepian di sana?" tanya Rifan, begitu saja.
Araya berpikir sejenak, ia kengangguk. "Di sini tenang," jawabnya.
"Oh, haha, gitu, yah..." Menggigit bibir bawahnya, bingung harus berkata apa lagi.
Hening!
Rifan melirik ke layar dan menatap Araya yang juga tertawa canggung. Entah ini mereka benar-benar bodoh. Araya ingin mematikan panggilan namun dia merasa sungkan, Rifan pun sama halnya.
"Ah, Rifan, bagaimana menurutmu kalau aku kerja di cafe Tumini?" tanya Araya memecahkan keheningan.
"Cafe Tumini?" Araya mengangguk.
"Iya, di sana lagi butuh karyawan, bagaimana menurutmu?"
Sebenarnya ini tidak lah penting bagi Rifan, kan itu hak Araya mau kerja di sana apa ngga, pikirnya.
"Bagus tuh, iya, bagus, di sana aja, haha."
Araya mengangguk. "Baiklah kalau begitu kumatikan dulu, yah, panggilannya. Nanti aku panggil lagi kalau kamu mau," ucapnya tanpa berpikir dahulu.
Rifan yang mendengar itu sedikit antusias. "Serius?"
Araya mengangguk. "Hmm, serius."
"Baguslah, nanti malam aku akan mengerjakan sesuatu. Karena kesepian dan di rumah tidak ada orang kamu temani aku saja," ucapnya tidak masuk diakal.
Rifan tipikal pemuda yang suka keheningan dan juga lebih senang jika rumah kosong. Tapi, entah mengapa pemuda itu malah berkata demikian. Oh, dalam batinnya pemuda itu bergerutu kesal.
"Baiklah, sampai nanti!"
Tit!
Rifan menyungging senyum sekaligus mengacak rambutnya. "Kenapa kamu jadi begini, sih," lirihnya.
(╥﹏╥)
Selesai makan malam Rifan segera berlari ke kamarnya tidak seperti biasanya ia seperti itu. Pemuda itu membuka layar ponsel kemudian menekan nomor Araya.
Drttt....
Diangkat!
"Halo, Rifan. Maaf karena aku telat melakukan panggilan," ucap Araya merasa bersalah.
Rifan tersenyum. "Ngga papa, bagsimana makanan yang ku kirimkan apakah enak?"
Araya mengangguk dengan senang. "Aku benar-benar berpikir keras. Bagaimana cara menghabiskan semua makanan yang kamu berikan."
Rifan terkekeh. "Dan ... sekarang kamu lagi di dapu?"
Araya mengangguk. "Aku ingin mencuci piring."
Rifan menyandarkan ponselnya di tumpukan buku, ia tersenyum. "Lakukanlah, aku juga akan memulai apa yang ingin ku kerja," ucapnya.
Araya memgangguk, menyandarkan ponselnya di dinding yang mengarah ke wastafel. Ia pun mulai berjalan.
Namun, hal itu membuat Rifan terkejurt, benar-benar terkejut. Bagaiman tidak, ternyata Araya hanya menggunakan celana pendek sepaha sepertinya dan menggunakan baju di atas pusar. Bentuk tubuhnya jadi terlihat di mata Rifan.
Araya tidak sadar akan hal itu, lagipula dia sudah biasa berpakaian seperti ini.
"Astaga, apa yang kamu lihat Rifan!" gerutunya kesal.
Pemuda itu menarik beberapa lembar berkas yang akan dia kerjakan dan pahami. Hal seperti ini sudah biasa bagi Rifan, memandang beberapa surat yang berikan hal hal penting perusahaan dan bisnis baru yang baru saja dia keluarkan.
Selesai mencuci piring, Araya mengambil ponselnya kemudian berjalan ke arah. Gadis itu menyandarkan ponselnya pada bantal lain.
"Rifan, sudah malam apa kamu masih belum tidur?" tanya Araya dengan suara serak.
Rifan melirik ke arah layar, ia sudah menatap wajah Araya yang nampak mengantuk. Pemuda itu tersenyum. "Tidurlah. Perintahnya.
Araya mengangguk sebelum akhirnya mengakhiri panggilan yang membuat Rifan langsung melototkan matanya. Pemuda itu meraih ponselnya.
"Kenapa panggilannya di matikan?" ucapnya tidak bersemangat.