Huang Yu, seorang juru masak terampil di dunia fana, tiba-tiba terbangun di tubuh anak petani miskin di Sekte Langit Suci—tempat di mana hanya yang bertubuh suci kuno bisa menyentuh elemen. Dari panci usang, ia memetik Qi memasak yang memanifestasi sebagai elemen rasa: manis (air), pedas (api), asam (bumi), pahit (logam), dan asin (kayu). Dengan resep rahasia “Gourmet Celestial”, Huang Yu menantang ketatnya kultivasi suci, meracik ramuan, dan membangun aliansi dari rasa hingga ras dewa. Namun, kegelapan lama mengancam: iblis selera lapar yang memakan kebahagiaan orang, hanya bisa ditaklukkan lewat masakan terlezat di alam baka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jasuna28, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 – Rasa yang Pecah, Rasa yang Bertahan
Langit di atas Akademi Rasa seperti terbakar. Warna merah menyala berpadu dengan gemuruh rasa yang kacau. Para murid berlarian, tak lagi mampu mengendalikan emosi mereka. Beberapa pingsan, beberapa lainnya terjebak dalam mimpi buruk rasa yang membuat mereka menangis, tertawa, dan meronta tanpa arah.
Nian berdiri di tengah pusaran kekacauan itu, mencoba mengendalikan simbol kedelapan yang terus menyala terang di punggungnya. Tapi semakin ia mencoba, semakin rasa itu memberontak.
"Tenangkan dirimu!" seru Bao yang muncul dari reruntuhan dinding akademi.
Wajahnya kotor, tubuhnya terluka, namun matanya masih menyala dengan keteguhan. Di belakangnya, Sari muncul dengan lengan terbakar rasa, namun tetap teguh memanggil Nian.
"Nian! Kau harus menyeimbangkan rasa itu! Kau bukan hanya pewarisnya… kau adalah penyalurnya!"
"Aku tak tahu caranya! Ini semua… terlalu banyak! Aku bisa merasakan semuanya! Rasa dari semua orang, dari semua klan, bahkan dari makhluk yang sudah tiada!"
"Justru itu kekuatanmu!" teriak Sari. "Jangan menolaknya! Rasakan! Terima semuanya sebagai bagian dari dirimu!"
Nian terdiam. Untuk pertama kalinya, ia tidak melawan rasa yang datang menghujam dirinya. Ia membuka dirinya sepenuhnya. Dalam sekejap, seluruh ingatan rasa dari ribuan tahun silam membanjiri pikirannya: cinta pertama dari seorang dewa rasa, pengkhianatan agung oleh Rasa Gelap, rasa haus kekuasaan dari para tetua rasa kuno.
Tubuhnya bergetar. Tapi kini, ia tidak runtuh.
"Aku… bukan hanya pewaris. Aku adalah wadah. Aku adalah jembatan."
Simbol kedelapan menyala lembut, mengubah warna langit menjadi biru keunguan. Perlahan, jeritan rasa mulai mereda. Para murid mulai sadar. Beberapa menangis dalam pelukan teman-teman mereka. Rasa kembali menemukan tempatnya.
Tapi saat ketenangan mulai kembali, suara dari bayangan hitam itu kembali terdengar.
"Kau pikir hanya dengan menyatukan rasa, masalah selesai?"
Warga Tanpa Rasa melangkah ke tengah lapangan. Tubuhnya kini membentuk wajah-wajah dari rasa yang dilupakan: wajah ibu yang ditinggal anaknya, wajah murid yang dikhianati gurunya, wajah kekasih yang tak pernah dianggap.
"Aku adalah rasa yang ditolak! Dan penolakan itu… akan kubayar dengan penghapusan semua rasa!"
Dengan satu hentakan, tanah retak. Aura hitam mengalir, menyerap rasa dari semua yang disentuhnya. Sari jatuh berlutut, matanya kosong.
"Aku… tidak bisa merasakan apapun."
Bao pun terdorong ke belakang. "Dia mengambil rasa kami!"
Nian melangkah maju. Tangannya memancarkan cahaya dari simbol kedelapan. Tapi serangan yang ia lancarkan ditelan begitu saja.
"Tak ada rasa yang bisa menyentuhku," ujar Warga Tanpa Rasa. "Karena aku adalah kekosongan."
Tapi Nian tersenyum tipis. "Kekosongan juga rasa. Dan selama ia diakui, ia bisa disentuh."
Dengan tenang, Nian menutup matanya. Ia membayangkan rasa pertama yang pernah ia kenal—rasa hangat dari ibunya yang sudah tiada, rasa lapar saat pertama kali mengemis, rasa marah ketika dianggap tak berguna, dan… rasa harapan.
Simbol kedelapan mulai mengembang menjadi lingkaran besar di udara. Ia menciptakan pusaran rasa yang perlahan-lahan menarik aura hitam ke dalamnya.
Warga Tanpa Rasa terkejut. "Apa yang kau lakukan?!"
"Aku tak menghancurkanmu. Aku memelukmu. Karena jika kau rasa yang dilupakan, maka tempatmu ada di sini, bersama rasa lainnya."
Aura hitam itu menjerit, menolak, meronta. Tapi semakin ia melawan, semakin kuat pelukan rasa Nian. Dalam kilatan cahaya terakhir, sosok Warga Tanpa Rasa menghilang. Tapi suara terakhirnya tetap menggema.
"Jika kau memeluk rasa gelap… suatu saat kau harus menanggung akibatnya…"
---
Langit kembali cerah. Akademi Rasa hancur sebagian, tapi orang-orangnya masih hidup. Rasa mereka kembali, meski tak utuh seperti sebelumnya. Namun dari kehancuran itu, lahir pemahaman baru.
"Kau menyatukan rasa, Nian," ucap ketua tetua. "Tapi ini baru awal. Dunia rasa tidak akan sama lagi."
Nian mengangguk. Ia menatap ke arah barat, tempat matahari mulai terbit.
"Biarkan rasa terus berkembang. Biarkan semua rasa punya tempatnya. Aku akan menjaganya."
Dan di bawah langit baru, simbol kedelapan bersinar lembut di punggungnya.