NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.2k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Para Pemangsa

Malam di Kawah Besi Hitam tidak pernah benar-benar gelap. Cahaya magma dari dasar kawah memantul ke dinding tebing, menciptakan keremangan merah darah yang abadi.

Di dalam barak regu umpan, dengkuran lelah para budak mengisi udara. Xiao Bao tidur meringkuk di sudut, memeluk lututnya yang masih gemetar karena trauma.

Liang Wu duduk bersila dalam bayangan.

Dia tidak bisa tenang.

Kulit tembaga di lengannya terasa gatal. Di bawah permukaan kulit yang keras itu, dia bisa merasakan aliran darahnya berpacu, panas dan mendesak.

Lapar.

Itu bukan keinginan. Itu kebutuhan. Inti Cacing Api yang dia makan kemarin telah habis diserap, digunakan untuk mengubah struktur kulit lengannya. Sekarang, sisa tubuhnya—dada, punggung, kaki—terasa "lemah" dan "lembek" jika dibandingkan dengan tangannya. Ketidakseimbangan ini menyiksa.

Liang Wu berdiri. Dia mengenakan pakaian kerjanya yang penuh debu arang, menutupi kulit tembaganya. Dia menyelipkan parang karatannya di pinggang, dan membawa serta beberapa kantong bubuk feromon yang dia curi dari gudang logistik saat kekacauan pembagian jatah makan tadi sore.

Dia melangkah keluar barak tanpa suara, menggunakan Langkah Bayangan Tikus.

Penjaga malam di pos pemantauan sedang mabuk atau tidur. Mereka tidak peduli jika ada budak yang berkeliaran di sekitar kawah, asalkan tidak mencoba naik ke bibir kawah untuk kabur. Lagipula, siapa yang cukup gila untuk mendekati lubang magma di malam hari?

Liang Wu bergerak menuju Sektor 9.

Itu adalah area terowongan tua yang sudah ditinggalkan karena dianggap "kering" dari bijih besi, tapi masih hangat. Tempat sempurna untuk sarang Cacing Api.

Dia masuk ke dalam mulut gua yang gelap. Panas langsung menyergapnya, tapi kali ini, kulit tembaganya menyerap panas itu dengan nyaman, seolah dia sedang pulang ke rumah.

Liang Wu berjalan masuk sekitar dua ratus langkah. Dia berhenti di sebuah persimpangan terowongan.

Dia membuka kantong feromon. Dia tidak menaburkannya ke tubuhnya kali ini—itu tindakan bunuh diri jika dia sendirian.

Sebaliknya, dia menaburkan bubuk itu ke sebongkah batu besar di tengah jalan. Lalu dia memanjat dinding gua, mencengkeram celah-celah batu dengan jari-jarinya yang sekuat catut besi, dan bergelantungan di langit-langit gua seperti kelelawar raksasa.

Dia menunggu.

Satu jam berlalu.

Srekk... Srekk...

Suara sisik bergesekan dengan batu terdengar.

Seekor Cacing Api muncul dari kegelapan. Ukurannya sedikit lebih kecil dari yang dia bunuh kemarin, mungkin setara Pengumpulan Qi Tingkat 5.

Makhluk itu mendesis, mencium aroma manis feromon di batu. Ia mendekat, menjulurkan lidah bercabangnya, menjilati batu itu.

Sekarang.

Liang Wu melepaskan cengkeramannya.

Dia jatuh bebas dari langit-langit.

BUM!

Dia mendarat tepat di punggung cacing itu.

Monster itu memekik kaget, tubuhnya meronta liar, mencoba melempar penunggangnya. Ekornya yang berduri menyabet-nyabet udara.

"Diam!" geram Liang Wu.

Dia mencengkeram sisik punggung cacing itu dengan tangan kirinya. Jari-jari tembaganya menembus sela-sela sisik keras itu, mencengkeram daging di bawahnya. Cengkeraman itu begitu kuat hingga darah hijau menyembur.

Tangan kanan Liang Wu, yang memegang parang karatan, menghujam ke bawah.

Dia tidak menebas sembarangan. Dia mengincar celah di antara lempeng pelindung kepala cacing—titik di mana sistem saraf makhluk itu terhubung ke otak.

Crak!

Parang itu menancap dalam.

Cacing itu mengaum, memuntahkan cairan asam dari mulutnya. Cairan itu memercik ke bahu Liang Wu.

Sesss...

Baju Liang Wu berlubang seketika. Kulit bahunya (yang belum bermutasi sempurna) melepuh dan berasap. Rasa sakitnya tajam, tapi Liang Wu tidak melepaskan pegangannya.

"Mati!"

Liang Wu memutar parangnya di dalam luka, mengaduk otak monster itu. Dia menyalurkan Qi Emas-nya melalui bilah besi, meledakkan organ dalam kepala cacing.

Tubuh monster itu kejang sekali lagi, lalu lemas.

Liang Wu melompat turun. Dia terengah-engah. Bahunya perih, tapi dia tersenyum.

Tanpa membuang waktu, dia membedah perut cacing itu. Dia merogoh ke dalam organ panas yang berbau busuk itu.

Dapat.

Inti Cacing Api. Masih berdenyut hangat.

Liang Wu tidak ragu. Dia membersihkannya sekilas dengan ujung bajunya, lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Kletuk.

Dia mengunyahnya.

Gelombang panas meledak di perutnya. Kali ini, karena dia sudah pernah merasakannya, tubuhnya lebih siap. Qi Api yang liar itu tidak lagi mengamuk tanpa arah, melainkan dipandu oleh keinginan Liang Wu menuju bagian tubuh yang dia inginkan: Bahu dan Dada.

"Lagi..." racau Liang Wu, matanya memerah. "Aku butuh lagi."

Dia tidak berhenti di situ.

Malam itu, Liang Wu membunuh tiga ekor Cacing Api di Sektor 9.

Setiap kali dia membunuh, dia memakan intinya.

Tubuhnya terasa seperti tungku pembakaran. Kulit di dadanya mulai mengeras dan berubah warna menjadi merah gelap. Rasa sakit dari transformasi ini membuatnya nyaris gila, tapi dia menahannya dengan menggigit gagang parangnya hingga kayu itu hancur.

Saat fajar hampir menyingsing, Liang Wu menyeret langkahnya keluar dari Sektor 9.

Dia berhenti sejenak.

Ada sesuatu yang aneh.

Di ujung terowongan Sektor 9, di balik tumpukan batu runtuhan tempat dia membunuh cacing ketiga, dia merasakan hembusan angin.

Angin dingin.

Ini tidak mungkin. Kawah ini adalah sistem tertutup yang panas. Angin hanya bisa masuk dari atas bibir kawah. Jika ada angin dingin dari dalam tanah... itu berarti ada jalan tembus ke tempat lain. Atau ada rongga besar di bawah sana yang tidak tersentuh magma.

Liang Wu mendekati runtuhan itu. Dia menyingkirkan beberapa batu dengan tangan tembaganya.

Di balik batu-batu itu, ada celah sempit yang gelap. Angin itu berhembus dari sana. Dan angin itu membawa bau yang berbeda.

Bukan bau belerang. Bukan bau besi.

Bau... dupa tua?

Jantung Liang Wu berdegup kencang. Dupa? Di dasar neraka ini?

Dia ingin masuk dan memeriksa, tapi gong pagi sudah terdengar samar dari kejauhan. Waktunya habis. Jika dia tidak kembali ke barak sekarang, Mandor akan curiga.

Liang Wu menutupi kembali celah itu dengan batu-batu. Dia menandai lokasinya dalam ingatan.

"Aku akan kembali," bisiknya.

Dia berlari kembali ke barak, menyelinap masuk tepat sebelum para budak lain bangun.

Dia berbaring di dipannya, berpura-pura tidur. Keringat hitam berbau racun keluar dari pori-porinya.

"Saudara Tie..." suara Xiao Bao terdengar mengantuk. "Kau bau hangus lagi."

Liang Wu membuka matanya di balik caping. Dalam kegelapan, mata itu berkilat dengan cahaya merah redup yang perlahan memudar.

"Mimpi buruk, Xiao Bao," jawab Liang Wu serak. "Mimpi tentang api."

Tapi itu bukan mimpi.

Di bawah bajunya, kulit dadanya kini sekeras baju zirah tembaga. Dan di dalam benaknya, dia merencanakan ekspedisi selanjutnya. Ke celah berangin itu.

Rahasia apa yang disembunyikan Sekte Besi di perut gunung ini?

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!