Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 — Anak Paling Bersinar
Pagi di panti asuhan itu selalu riuh—tapi riuh yang hangat. Suara sendok membentur mangkuk, tawa anak-anak, dan langkah-langkah kecil yang berlomba. Di antara semua itu, satu suara terdengar paling jelas:
“Bu, aku bantu angkat ini ya.”
Aru, sepuluh tahun, berdiri sambil memeluk tumpukan handuk yang hampir lebih tinggi dari tubuhnya. Napasnya sedikit ngos-ngosan, tapi senyumnya lebar. Mata cokelatnya berbinar—mata yang sering membuat Nayara terdiam karena… terlalu mirip seseorang dari masa lalu.
“Aru, itu berat,” Nayara menegur, tapi suaranya lembut. “Ibu bisa sendiri.”
“Bisa, tapi lebih cepat kalau dua orang.”
Balasan Aru singkat, penuh logika polos yang kadang meruntuhkan pertahanan Nayara.
Ia mengangguk, menyerah. “Ya sudah, sini. Ibu ikut.”
Mereka berjalan berdampingan ke ruang laundry. Anak-anak yang lain menyapa Aru seperti menyapa kakak yang selalu bisa diandalkan.
“Kak Aru, nanti ajarin PR, ya!”
“Ru, habis sarapan kita main bola!”
“Aru, liat gambar aku!”
Aru cuma tertawa, melambaikan tangan. “Iya, iya, satu-satu. Jangan rebutan.”
Bocah itu bukan hanya menyatu dengan panti—ia seperti cahaya kecil yang membuat segalanya terasa lebih ringan.
---
Nayara memperhatikan dari belakang. Ada rasa hangat di dadanya, tapi juga… perih kecil yang tak pernah benar-benar hilang.
Kadang ia berjalan pulang melewati kaca dan melihat bayangan Aru di sampingnya—tingginya, cara ia menggaruk kepala saat bingung, cara ia menggigit bibir saat berpikir.
Mirip.
Sangat mirip.
Dan setiap kali kemiripan itu muncul, Nayara merasakan dua hal sekaligus:
bangga dan takut.
Bangga karena Aru tumbuh dengan hatinya sendiri, jujur, lembut.
Takut karena dunia di luar sana masih menyimpan satu nama yang berbagi darah dengannya.
Nama yang tidak boleh tahu apa pun.
Aru menoleh, mendapati Nayara melamun.
“Bu?”
Nayara tersenyum, sedikit kikuk. “Iya?”
“Ibu sedih ya?”
Anak itu menatapnya serius—menyedihkan bagaimana seorang anak berumur sepuluh tahun bisa membaca suasana secepat itu.
“Enggak kok.”
Nayara merapikan rambut Aru. “Ibu cuma mikirin nanti kamu sekolah. Katanya hari ini pengumuman beasiswa, kan?”
Mata Aru langsung berbinar lagi. “Iya! Tapi aku nggak yakin dapat…”
“Kenapa?”
“Soalnya banyak yang pintar. Terus… aku cuma anak panti.”
Nayara berjongkok tepat di depannya, memegang kedua bahunya.
“Aru,” katanya pelan, “kamu bukan ‘cuma’ apa-apa. Kamu anak yang baik, yang rajin. Dan kamu berhak dapat apa pun yang kamu perjuangkan.”
Aru menunduk—malu tapi senang. “Ibu ngomong kayak gitu bikin aku deg-degan.”
Nayara tertawa kecil. “Deg-degan itu bagus. Artinya kamu hidup.”
---
Di ruang kantor panti, Bu Lilis berdiri sambil memegang beberapa berkas. Ia tersenyum pada Nayara.
“Yara, ini ada nama anak yang lolos beasiswa pembinaan sains. Hebat sekali. Masih SD tapi bakatnya kuat.”
Nayara mengangguk sambil menyusun gelas.
“Aru termasuk?”
Bu Lilis menghela napas pelan.
Dan sebelum ia menjawab, Aru sudah melongok dari pintu. Nafasnya ngos-ngosan karena lari.
“Bu! Bu! Aku boleh lihat pengumuman?”
“Boleh, sayang. Sini.”
Aru mendekat. Tangannya sedikit gemetar—antara takut dan berharap.
Bu Lilis menyerahkan selembar kertas.
Aru menelusuri nama-nama itu satu per satu.
Lalu matanya berhenti.
Membesar.
“I… Ini nama aku?”
Suaranya pecah, seperti retak kecil yang bahagia.
Nayara langsung memeluknya. “Alhamdulillah… Alhamdulillah, Aru.”
Aru memegang kertas itu erat-erat seolah takut namanya menghilang.
“Bu… aku diterima. Aku beneran diterima…”
Anak-anak lain ikut bersorak, memeluknya, mendorongnya, tertawa riang.
Nayara mengusap kepala Aru, tapi dadanya menegang sedikit saat Bu Lilis berkata dengan nada samar:
“Dan yang menarik… beasiswa ini disponsori oleh donatur baru. Tidak mau disebutkan namanya.”
Aru masih sibuk berlari-lari kecil sambil memamerkan kertas beasiswanya kepada anak-anak lain.
Ruang panti penuh tawa—setidaknya sampai Bu Lilis membaca ulang email yang baru masuk.
“Eh…” gumam Bu Lilis, alisnya mengerut. “Ini aneh. Tadi aku kira donaturnya lewat lembaga mediatorship. Tapi mereka baru kirim email tambahan.”
Nayara menatapnya. “Email tambahan?”
“Katanya, perwakilan donatur ingin bicara langsung. Mereka sertakan nama lembaganya di akhir pesan.”
Nadim mendekat. “Nama lembaganya apa, Bu?”
Bu Lilis menggeser kacamatanya, lalu membaca pelan:
“Santoso Foundation.”
Dunia Nayara berhenti.
Jantungnya seperti ditarik ke dalam rongga yang hampa.
Nadim menoleh cepat—ia pun tahu nama itu terlalu familiar untuk hanya kebetulan.
“Bu… boleh saya lihat?” suara Nayara pecah setengah.
Bu Lilis menunjukkan layar.
Logo biru putih.
Nama lengkap lembaga.
SANTOSO FOUNDATION
Di bawahnya:
Direktur: Rafael Aditya Santoso
Tangan Nayara gemetar.
Itu bukan lagi dugaan.
Bukan lagi firasat.
Nadim menelan ludah keras-keras. “Kak… itu kan… nama—”
“Iya.” Nayara memotong, tapi suaranya hampir tidak keluar.
“Itu dia.”
Aru berlari kembali ke arah mereka, masih memeluk kertas beasiswanya.
“Ibu! Lihat! Nama aku ditulis rapi banget!”
Nayara tersenyum—senyum rapuh yang hanya setebal napas.
Namun sebelum ia bisa meraih tangan Aru, ponsel panti berbunyi.
Kali ini, bukan nomor tersembunyi.
Di layar terpampang jelas:
SANTOSO FOUNDATION – DIRECT CALL
Nadim mundur setengah langkah.
Bu Lilis tertegun.
Aru memandang penasaran. “Ibu? Siapa?”
Nayara menatap layar itu lama.
Punggungnya terasa dingin, seperti ada jejak seseorang yang akhirnya berhasil menemukannya…
… setelah sepuluh tahun ia menghilang tanpa jejak.