Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Barang Yang Dicari
Gudang itu berdiri di pinggir kota, jauh dari lalu lintas utama dan jauh dari ingatan orang-orang yang masih percaya bahwa kejahatan selalu bersembunyi di tempat gelap. Bangunannya tua, temboknya berlumut, dan bau besi karat bercampur oli tua menyambut sejak pintu besi ditutup dari luar.
Suara gedebuk pintu itu masih terngiang di kepala Feni ketika ia diseret masuk.
Ia didudukkan di kursi besi tanpa sandaran empuk. Kedua tangannya diikat ke belakang, cukup kencang untuk membuat pergelangan tangannya mulai mati rasa, tapi tidak sampai melukai—cara profesional, dingin, dan terlatih.
Lampu neon di atas berkedip pelan.
Feni menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak mau tunduk. Ia pernah membayangkan skenario terburuk sejak malam di rumah Bunda Erlang. Namun kenyataan tetap terasa jauh lebih kejam.
Di depannya, seorang pria berdiri. Tubuhnya tinggi, jaket hitamnya rapi, wajahnya biasa saja—tipe orang yang mudah dilupakan jika berpapasan di jalan. Justru itu yang membuatnya menakutkan.
“Kamu tenang sekali,” ujar pria itu, suaranya datar.
Feni mengangkat kepala. “Aku sudah menyerahkan yang kalian cari.”
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekat ke meja lipat di sudut ruangan, membuka ritsleting jaketnya, lalu mengeluarkan sebuah benda kecil.
Boneka.
Warnanya pucat, jahitannya nyaris tak terlihat. Jika tidak tahu rahasianya, tak ada yang akan mengira di dalam benda sekecil itu tersimpan sesuatu yang cukup berharga untuk membunuh.
Flashdisk itu.
Pria tersebut membuka ritsleting kecil di punggung boneka, menarik keluar USB mungil itu dengan dua jari. Gerakannya pelan, seolah sedang memegang barang rapuh.
“Inilah sumber semua masalah,” gumamnya.
Feni menelan ludah. Dadanya terasa kosong saat benda itu tak lagi berada dalam penguasaannya. Sejak ia menemukannya, hidupnya tak pernah benar-benar kembali normal. Rima tertembak. Andre berubah lebih dingin. Erlang makin protektif—dan ia sendiri menjadi sasaran.
“Sekarang apa?” tanya Feni pelan.
Pria itu mengangkat pandangannya. Tatapannya tajam, menembus. “Sekarang kami pastikan tidak ada kejutan.”
Ia menyerahkan flashdisk itu kepada seorang pria lain yang baru muncul dari balik bayangan. Posturnya lebih besar, wajahnya keras, tatapannya tanpa emosi.
“Kirim ke pusat,” perintahnya singkat.
Pria besar itu mengangguk dan pergi tanpa sepatah kata.
Feni memperhatikan punggungnya hingga menghilang di balik pintu lain. Setiap langkah pria itu terasa seperti detik yang menghitung mundur sesuatu yang belum ia pahami.
“Kalian sudah dapat datanya,” kata Feni, suaranya bergetar tapi tegas. “Aku nggak tahu apa-apa lagi. Lepaskan aku.”
Pria pertama tersenyum tipis. Senyum yang tidak mengandung simpati.
“Masalahnya bukan soal apa yang kamu tahu,” jawabnya. “Tapi soal apa yang bisa kamu katakan.”
“Aku bahkan nggak tahu isinya!” bantah Feni. “Aku cuma—”
“—menjadi orang yang menyimpannya,” potongnya. “Dan itu cukup.”
Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada tamparan.
Feni terdiam. Ia teringat pesan singkat di ponselnya malam itu. Kami hanya ingin barang itu. Kebohongan. Mereka selalu ingin lebih.
“Siapa yang kalian lindungi?” tanyanya lirih. “Siapa yang takut sama isi flashdisk itu?”
Pria itu menatapnya lama. Terlalu lama.
“Nama itu,” katanya akhirnya, “tidak akan menyelamatkanmu.”
“Jadi memang ada,” Feni berbisik.
Tidak ada jawaban.
Pria itu melangkah menjauh, meninggalkan Feni sendirian dengan suara lampu neon dan pikirannya sendiri. Dalam sunyi itu, satu kesadaran mengendap perlahan: flashdisk itu bukan akhir. Ia hanya awal.
Dan orang yang memilikinya… akan menentukan siapa yang hidup dan siapa yang menghilang.
...****************...