NovelToon NovelToon
Menghapus Senja

Menghapus Senja

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Percintaan Konglomerat / Cintamanis / Romansa pedesaan
Popularitas:206
Nilai: 5
Nama Author: Mia Lamakkara

Akira, cinta masa kecil dan satu-satunya cinta di hati Elio. Ketika gadis itu menerimanya semua terasa hangat dan indah, layaknya senja yang mempesona. Namun, di satu senja nan indah, Akira pergi. Dia tidak perna lagi muncul sejak itu. Elio patah hati, sakit tak berperih. Dia tidak lagi mengagumi senja. Tenggelam dalam pekerjaan dan mabuk-mabukan. Selama tiga tahun, Elio berubah, teman-temannya merasa dia telah menjadi orang lain. Bahkan Elio sendiri seolah tidak mengenali dirinya. Semua bermula sejak hari itu, hari Akira tanpa kata tanpa kabar.
3 tahun berlalu, orag tua dan para tetua memintanya segera menikah sebelum mewarisi tanah pertanian milik keluarga, menggantikan ayahnya menjadi tuan tanah.Dengan berat hati, Elio setuju melamar Zakiya, sepupunya yang cantik, kalem dan lembut. Namun, Akira kembali.Kedatangan Akira menggoyahkan hati Elio.Dia bimbang, kerajut kembali kasih dengan Akira yang perna meninggalkannya atau tetap menikahi sepupu kecilnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mia Lamakkara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Senja Yang Hilang

Senja itu, Akira menghilang tiba-tiba tanpa aba-aba, meninggalkan Elio dengan satu pertanyaan yang tak pernah terjawab: kenapa?

Elio masih ingat jelas, hari itu sama seperti hari-hari sebelumnya. pagi itu, dia berangkat ke sawah lewat depan rumahnya Akira. Gadis pujaannya itu duduk di teras, senyum kecil saat mata mereka bertemu, lalu menghilang di balik tikungan lorong. Tetangga biasa, teman SMA, dan—untuk Elio—cinta pertama yang tak pernah ia akui. Cinta yang dilihatnya tumbuh dari kanak-kanak sampai remaja dan rasa itu juga tumbuh bersamanya. Gadis tomboy yang acuh, lugas, polos dan kadang manja. Cinta yang tumbuh dari kanak-kanak hingga tawa polos di bandes-bandes dan tersemai di setiap senja.

Elio tidak khawatir saat Akira tak muncul keesokan harinya, mungkin ada urusan. Ponselnya tidak aktif, mungkin lobet atau bahkan rusak karena hal itu juga perna terjadi sebelumnya. ponselnya rusak karena tidak sengaja jatuh dari rumahnya, rumah panggung setinggi 3 meter.

Tapi dua hari, tiga hari, seminggu… Akira seolah lenyap dari dunia. Rumahnya sunyi, jendela-jendela tertutup rapat. Kakaknya juga tidak perna datang bergabung dengan yang lain saat sore hari seperti biasanya.

Elio mondar-mandir ke rumah Akira, bertanya pada ibunya yang hanya menggelakkan kepala, "Tidak tahu, Nak. Akira pergi entah kemana." Wajah tua itu kebingungan dan... kehilangan sepertinya.

Tapi senja terus datang, tanpa Akira.

Sejak saat itu, Elio tidak menyukai senja seperti dia membenci kepergian Akira yang membawa serta hatinya. Dia tidak lagi punya waktu luang duduk bercengkrama di bandes-bandes depan lorong rumah saat senja bersama teman-teman dan tetangganya yang rutin berkumpul, berhenti datang ke bandes-bandes. Dia memilih menghabiskan waktu di sawah, menyibukkan diri atau menyeruput kopi di rumah-rumah sawah sambil menatap matahari tergelincir.

Sebagai anak tuan tanah yang memiliki puluhan hektar sawah, dia digembleng berkubang lumpur sejak kecil, berangkat pagi buta dan kembali di sore hari.

Dulu, Elio kembali lebih awal hanya untuk memiliki sedikit pertemuan dengan Akira di bandes-bandes lorong masuk rumahnya. seperti sudah menjadi tradisi rutin setiap sore, sekitar setengah lima, orang-orang akan berkumpul di bandes-bandes sambil menonton kendaraan lalu-lalang. Hal ini sudah dilakukan para pendahulu, bahkan sebelum bandes-bandes yang berupa tembok memanjang sekitar dua meter layaknya kursi panjang yang saling berhadapan di mulut lorong seluas tiga meter masih berupa balai-balai bambu dan jalan lorong masih tanah berlumpur. bandes-bandes ini juga terpisah tiga meter dari jalan utama sehingga kita. Waktu dimana, ponsel belum muncul di tengah-tengah mereka.

"Dulu, kita biasanya ngumpul dari jam empat, kadang kalau sudah panen dan kesibukan di sawah kurang, kami datang jam 3 disini." Cerita bapak-bapak pendahulu.

"Kadang kita bawa kopi atau pisang goreng dari rumah."

"Ya, waktu itu kendaraan masih jarang. paling banyak, ya becak."

"Jam 3 itu, waktu anak SMA pulang sekolah pakai becak. Kita tunggu disini buat cuci mata." Kenang para generasi 80an itu.

Elio biasanya nongkrong dengan teman-temannya di bandes-bandes seberang jalan dan Akira bersama teman-temannya di lorong samping rumah bibinya. Namun, sejak perasaannya tersambut, dia bergabung di bandes-bandes itu sembari mengobrol dan mencuri pandang ke arah Akira.

Sejak kepergian Akira, kebiasaan Elio juga berubah.

Dia akan kembali kerumah menjelang gelap. Membersihkan diri sebelum ke mesjid. Dia bukan pemuda alim, shalatnyapun tak rutin. Kalau sempat, dia akan berjemaah di mesjid kampung yang berjarak setengah kilo dari rumahnya. Kecuali bulan ramadhan, dia akan berusaha melakukan ibadah penuh dan tepat waktu.

Namun, dia mencoba menemukan Akira lewat doa-doanya dan keajaiban menjawab keresahannya.

Kembali dari mesjid, dia akan mengurung diri di kamarnya. Mendengar lagu-lagu lawas malaysia kesukaannya yang semuanya mengumandangkan rasanya patah hati dan perihnya kehilangan cinta. Semua orang di rumah telah menghafal kebiasaan Elio sejak 'patah hati'.

Suara adiknya, Enni, memecah hening. "Elio, makan malam!" panggilnya dari ruang dapur. Elio tak menjawab. Dia tahu Enni paham, sama seperti semua orang di rumah ini.

"Akira hilang, dan Elio belum bisa move on" . Semua orang tahu, dia masih menunggu.Menunggu kabar, menunggunya pulang atau sekedar menunggu alasan."Kenapa Akira pergi?."

Tapi kehidupan tak berhenti menunggu. begitupun dengan kehidupan Elio yang harus terus berlanjut. Dia perlu mengembangkan potensi dirinya untuk menjadi modal dalam mengelolah kekayaan keluarga. Melihat anaknya yang seolah kehilangan ruh, Suna, ibu Elio mulai cemas.

"Enni, apa kamu tidak punya teman yang bisa kamu kenalkan pada kakakmu? carilah yang agak mirip dengan Akira." Bisik Suna saat semua berkumpul di meja makan.

"Susah." Enni menyendok nasi. "Dia tidak mau menemui siapapun. Dia juga nggak mau jalan dengan kita-kita. Gimana caranya mempertemukan dia dengan gadis? kecuali ada gadis yang mau berkencan di sawah."

"Ya. Kak Elio mencurahkan segalanya sekarang sama sawah, sawah dan sawah. Dia bahkan menyeret kita semua bekerja sepanjang hari, sepanjang waktu di sawah." Enri menimpali sembari mengeluh.

Edo juga bicara. "Dia masih patah hati, apalagi yang harus kita lakukan?."

Suna hanya bisa menghela napas berat mendengar penuturan anak-anaknya tentang si sulung. Hanya si bungsu, Enzo yang tidak berkomentar apapun. Dia lebih khusyuk pada nasi dan pasarra bale di piringnya yang mengundang selera.

"Biarkan saja dulu. Selama itu tidak mengganggu pekerjaannya." Ernes, sang ayah bicara dan membuat anak-anaknya makan dalam diam. Meja makan sunyi. Di luar, senja kian meredup.

Suna juga diam-diam mengutuk suaminya yang gila kerja. Dia tidak peduli anaknya yang lagi sakit cinta yang hidup layaknya robot, tubuh tanpa ruh.

Ernest sendiri merasa, dia perlu memberi ruang dan waktu untuk Elio menyelesaikan sengketa hatinya. Bagaimanapun tegasnya Ernest, dia juga perna muda. Perna merasakan kehilangan pada hal yang diminatinya. Pernikahannya dengan Suna adalah pengaturan keluarga, itu sudah tradisi. Dia tidak yakin, ada cinta antara mereka. Dia hanya melakukan tanggungjawabnya sebagai suami dan seorang ayah. Memberikan nafkah, perlindungan dan kenyamanan.

Ernest muda sebenarnya agak tertarik dengan sepupunya namun tradisi keluarga membuat gadis itu menikah jauh dan dia sendiri harus meminang sepupu jauh dari pihak ayahnya. Meski dia enggan, Ernest tidak berdaya dihadapan para tetua. Untungnya, perasaannya pada sepupu kecilnya tidak sedalam cinta Elio pada Akira. Dia dengan mudah mengikis perasaannya dengan sepupunya dengan kesibukan kerja.

Dia sendiri memberikan toleransi pada pada anak-anaknya untuk menemukan jodoh mereka dengan syarat, pilihan mereka harus memenuhi kriteria menantu yang layak. Dia tidak mau anak-anaknya mengulang pengalamannya, menjadi tumbal tradisi keluarga meski dia sendiri banyak ditentang para tetua.

Latar belakang keluarga dan karakter, Akira sudah memenuhi kriteria yang diinginkannya. Karenanya, dia diam-diam merestui kedekatan Elio dengan gadis itu. Bahkan bersiap-siap membicarakan hubungan ke jenjang serius dengan anak sulungnya.Meurutnya, Hanya dengan dorongan tanggungjawab dan membahagiakan orang tercintanya, Elio akan berusaha lebih giat dan melampauinya.

Ketika semua orang hampir menuntaskan isi piringnya, Elio muncul. Tanpa bicara, tanpa ekspresi mengambil tempat di meja makan, makan dalam diam. Sekali lagi, meja makan sepi. Sesunyi rumah kosong yang terbengkalai.

Di waktu yang sama, di kota nun jauh dari desa tempat Elio, di tepi ibukota. Suasana semarak. Sekelompok wanita berbaur menjadi satu di halaman bangunan yang didominasi warna kuning, dengan cetakan huruf kapital tebal CPI. Tiga sosok sibuk melempar permen bercampur uang logam dari lantai dua. Akira berdiri di pinggir halaman menyaksikan kesenangan itu. Salah satu dari mereka menyenggolnya.

"Nggak ikut nyawer?." Wanita diakhir 30an menyenggol Akira yang menatap kegembiraan itu dengan senyum hambar.

"Besok kamu terbang juga, kan?! nggak usah terlalu tegang. Semua akan baik-baik saja." Mbak Maspuah salah satu ex Taiwan yang juga jadi negara tujuannya.

Akira mengembangkan senyumnya lagi. Menutupi kecemasan lain di hatinya.

"Besok, semua yang berangkat akan diberi kesempatan menghubungi keluarganya."

Senyum Akira kembali masam.

"Siapa yang akan kuhubungi."Pikirnya, sedang dirinya sendiri tengah dalam pelarian dari keluarga. Bayangan Elio melintas. Tanpa sadar dia menggeleng.

"Dia...itu tidak mungkin. Aku tidak bisa."Senyumnya semakin getir.

1
Kim Tyaa
semangat, jangan pernah nyerah untuk terus up ya thor.

Konsisten dan tetap percaya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!