Perjalanan hidup Kanaya dari bercerai dengan suaminya.
Lalu ia pergi karena sebuah ancaman, kemudian menikah dengan Rafa yang sudah dianggap adiknya sendiri.
Sosok Angela ternyata mempunyai misi untuk mengambil alih harta kekayaan dari orang tua angkat Kanaya.
Selain itu, ada harta tersembunyi yang diwariskan kepada Kanaya dan juga Nadira, saudara tirinya.
Namun apakah harta yang di maksud itu??
Lalu bagaimana Rafa mempertahankan hubungannya dengan Kanaya?
Dan...
Siapakah ayah dari Alya, putri dari Kanaya, karena Barata bukanlah ayah kandung Alya.
Apakah Kanaya bisa bertemu dengan ayah kandung Alya?
Lika-liku hidup Kanaya sedang diperjuangkan.
Apakah berakhir bahagia?
Ataukah luka?
Ikutilah Novel Ikatan Takdir karya si ciprut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadira Sadar
Nadira sadar pada pagi yang sunyi.
Matanya terbuka perlahan, seolah cahaya terlalu berat untuk diterima sekaligus. Langit-langit putih ICU tampak asing, tapi detak monitor di sampingnya terasa… menenangkan. Ia bernapas. Itu hal pertama yang ia sadari.
Hal kedua: ia sendirian.
Tidak ada wajah yang ia kenal. Tidak ada suara keluarga. Hanya perawat dengan langkah terukur yang datang, memeriksa, lalu pergi tanpa banyak bicara. Setiap kali Nadira mencoba bertanya, jawabannya sama—lembut, tegas, tak memberi celah.
“Belum boleh menerima tamu.”
“Belum sekarang.”
“Tenang dulu.”
Di luar pintu ICU, pengamanan tetap rapat. Bukan penjagaan rumah sakit biasa—ini penjagaan yang sengaja dibuat tak terlihat. Nama Nadira tidak muncul di papan informasi. Jam kunjungan untuk kamar itu “ditunda”. Bahkan dokter penanggung jawabnya diganti dua kali—atas alasan medis yang terdengar sah.
Nadira merasakan ada sesuatu yang tidak biasa.
Ia mencoba menggerakkan tangan. Berat. Ada selang, infus, dan—di pergelangan tangannya—bekas memar lama yang membuat ingatannya berdenyut. Potongan-potongan muncul tanpa urutan: lorong putih, suara tegang, satu nama yang membuat dadanya sesak.
Kanaya.
Nama itu meluncur dari bibirnya nyaris tanpa suara. Monitor sedikit bergetar.
Perawat yang masuk menatapnya lebih lama dari biasanya. “Kamu ingat sesuatu?”
Nadira menggeleng pelan. “Aku… tahu aku tidak boleh bertemu siapa pun,” katanya lirih. “Tapi seseorang… menungguku.”
Perawat itu tersenyum tipis—senyum profesional yang menyembunyikan pesan. “Saat waktunya aman, kamu akan bertemu orang yang tepat.”
Nadira menatap pintu ICU yang tertutup rapat. Ia tidak tahu mengapa ia dijaga seperti ini. Ia hanya tahu satu hal: ia adalah kunci, dan semua orang takut kunci itu diputar terlalu cepat.
Di tempat lain, Rafa menerima laporan singkat.
“Pasien sadar,” kata Ardi. “Stabil, tapi masih isolated. Tidak ada akses. Termasuk untuk Kanaya.”
Rafa mengangguk. “Biarkan. Jangan paksa. Keselamatan dulu.”
“Dia menyebut nama Kanaya,” tambah Ardi.
Rafa terdiam sejenak. “Berarti waktunya mendekat… tapi belum sekarang.”
Di balik pintu ICU, Nadira memejamkan mata. Ia merasa dilindungi—namun juga dikurung oleh sesuatu yang belum ia pahami. Di dadanya, firasat itu menguat: ketika pintu ini akhirnya dibuka, kebenaran akan ikut masuk.
Dan untuk pertama kalinya sejak sadar, Nadira memahami alasan ia belum boleh ditemui siapa pun:
Bukan karena ia lemah.
Melainkan karena dunia di luar pintu itu belum siap.
Pengamanan rumah sakit itu berubah kendali tanpa suara.
Di permukaan, tak ada yang tampak berbeda. Seragam tetap sama. Jadwal jaga berjalan normal. Nama-nama di daftar keamanan tidak berubah. Bahkan anak buah Prayuda yang sejak awal ditempatkan di sekitar ICU masih merasa mereka menguasai situasi.
Padahal kenyataannya, mereka sudah berada di dalam lingkaran Rafa.
Ardi mengaturnya perlahan—bukan dengan konfrontasi, melainkan asimilasi.
Satu petugas digeser jadwalnya “sementara” karena alasan keluarga.
Satu akses kartu diperbarui dengan sistem baru—yang kuncinya dipegang tim Rafa.
Satu laporan keamanan disederhanakan, dipotong detail pentingnya, lalu diarahkan ulang.
Anak buah Prayuda tetap berjaga,
tapi apa yang mereka lihat, dengar, dan laporkan… sudah difilter.
Di ruang kontrol, seorang teknisi—orang Rafa—menggeser slider kecil di layar. Kamera ICU tetap menyala, tapi feed yang dikirim ke luar hanyalah rekaman tertunda. Cukup meyakinkan. Cukup aman.
“Target stabil,” laporan keluar.
“Tidak ada aktivitas mencurigakan.”
Padahal di balik pintu ICU, perawat kepercayaan Rafa memastikan Nadira tenang, aman, dan tak tersentuh siapa pun.
Salah satu anak buah Prayuda mulai curiga. Terlalu sepi. Terlalu rapi.
“Kita aman?” bisiknya pada rekannya.
Rekannya mengangguk, yakin. “Kalau ada apa-apa, kita pasti tahu.”
Itulah kesalahan mereka.
Mereka tidak sadar bahwa yang memberi tahu kini bukan lagi pihak yang sama.
Di tempat lain, Ardi melapor singkat ke Rafa.
“Rumah sakit aman,” katanya. “Mereka masih berjaga, tapi kendali di tangan kita. Kalau Prayuda bertanya, yang sampai ke dia hanya kabar yang kita izinkan.”
Rafa mengangguk pelan. “Bagus. Jangan singkirkan mereka. Biarkan mereka merasa memegang kuasa.”
“Dan Nadira?”
“Biarkan dia pulih,” jawab Rafa. “Saat dia siap bicara… tidak ada satu pun telinga Prayuda yang mendengar lebih dulu.”
Di lorong ICU, seorang pria—anak buah Prayuda—berdiri tegap, menatap pintu tertutup itu dengan keyakinan palsu.
Ia tidak tahu bahwa sejak beberapa jam lalu,
ia bukan lagi penjaga.
Ia penutup mata.
Dan di balik lapisan pengamanan yang kini sepenuhnya berpihak pada Rafa,
Nadira beristirahat dengan napas stabil—
untuk pertama kalinya benar-benar aman.
Karena dalam perang yang sesungguhnya,
yang paling berbahaya
bukan penjaga bersenjata—
melainkan penjaga yang tak sadar sudah berganti tuan.
Kecurigaan itu muncul dari hal yang terlalu sempurna.
Prayuda Wicaksono menatap laporan harian dari rumah sakit—rapi, konsisten, tanpa anomali. Justru di situlah masalahnya. Dalam dunia yang ia kenal, ketenangan sejajar seperti itu tidak alami.
“Terlalu sunyi,” gumamnya.
Ia meminta laporan mentah. Bukan ringkasan. Bukan grafik. Catatan lapangan. Namun yang datang tetap sama—bahasa steril, frasa aman, tanpa detail kecil yang biasanya lolos.
Prayuda mengangkat telepon.
“Pastikan orang kita masih di sana,” katanya dingin.
“Masih, Pak,” jawab suara di seberang. “Shift lengkap. Akses terjaga.”
“Siapa yang pegang kontrol kamera?” tanya Prayuda.
“Hm… sistem pusat rumah sakit, Pak. Seperti biasa.”
Hening. Singkat. Mematikan.
Prayuda menutup telepon, lalu berdiri. Ia berjalan ke papan kaca di ruang kerjanya dan menulis satu kata besar dengan spidol hitam:
FILTER
Ia tahu pola ini. Bukan pengambilalihan kasar. Bukan pembersihan. Ini pengendalian dari dalam—membiarkan anak buahnya tetap berjaga, tapi memotong jalur makna. Mereka melihat, tapi tidak mengetahui.
“Rafa,” ucapnya pelan, seolah menyebut nama hantu.
Prayuda memanggil orang kepercayaannya. “Kirim tim independen. Bukan dari jaringan lama. Tanpa seragam. Tanpa akses resmi.”
“Untuk apa, Pak?”
“Untuk merasakan,” jawab Prayuda. “Bukan melihat.”
Ia menoleh ke jendela. “Kalau aku benar, rumah sakit itu sudah bukan milik siapa pun—kecuali orang yang mengatur apa yang tidak dilaporkan.”
Beberapa jam kemudian, tim independen itu kembali dengan kesimpulan yang membuat rahang Prayuda mengeras:
“Tidak ada pelanggaran, Pak. Tapi… semua terasa diarahkan. Seperti berjalan di koridor yang lurus tapi dindingnya memiringkan langkah.”
Prayuda tersenyum tipis—senyum orang yang akhirnya menemukan jejak.
“Baik,” katanya. “Kalau begitu, kita berhenti mendorong pintu.”
Ia menatap catatan terakhir, lalu menarik garis tebal.
“Kita ketuk orangnya.”
Prayuda tidak lagi fokus pada ICU. Bukan pada Nadira. Bukan pada penjaga. Ia memindahkan bidikan ke satu pusat gravitasi yang ia yakini mengatur semuanya dari jauh.
Rafa.
“Kalau rumah sakit itu benteng,” gumamnya,
“maka Rafa adalah kuncinya.”
Dan di saat kecurigaan itu mengeras menjadi keputusan, permainan memasuki bab baru—bukan lagi soal siapa yang berjaga di lorong, melainkan siapa yang berani muncul di cahaya.
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
kira2 gmn akhir dari kisah ini
hahh jd anak itu anak siapa alya kok bisa kanya sma barata dan kok bisa alya hamil hadeh kepingan puzel yg bener2 rumit tingkat dewa 🤣🤣🤣🤣
jawaban dr alya anak dia bukan kira2 kasih flash back nya kapan 🤣🤣🤣
jane apa.sih iki 🤣🤣🤣
ini cerita gak tembus retensi, keterlaluan si LUN itu gak bantu promosiin 😤😤😤
ini bukan genre konflik etika, tetapi horor/ misteri