NovelToon NovelToon
Dinikahi Cowok Cupu

Dinikahi Cowok Cupu

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Asma~~

​Calya, seorang siswi yang terpikat pesona Rion—ketua OSIS tampan yang menyimpan rahasia kelam—mendapati hidupnya hancur saat kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan Aksa. Aksa, si "cowok culun" yang tak sengaja ia makian di bus, ternyata adalah calon suaminya yang kini menjelma menjadi sosok menawan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asma~~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Tamparan itu terasa begitu menyakitkan, bukan hanya di fisik Aksa, tapi juga di hatinya. Namun, Aksa hanya diam, membiarkan Calya pergi. Calya berlari ke keluar kamar dan meninggalkan apartemen Aksa, ia menjatuhkan badannya didinding lift, wajahnya tersembunyi di balik tangannya.

​"Bajingan! Kurang ajar! Brengsek!" umpat Calya berulang kali. Tangannya memukul dinding itu, melampiaskan amarahnya yang meluap. Ia tidak bisa melupakan bagaimana Aksa menciumnya, seolah ia adalah miliknya. Hatinya yang semalam mulai luluh kini kembali mengeras. Ia bersumpah, ia tidak akan pernah memaafkan Aksa.

Calya masih dalam lamunanya dan kembali merebahkan dirinya di kasur besar miliknya.

​Beberapa jam kemudian, suara ketukan di pintu menginterupsi amarahnya. "Calya, bangun, Sayang. Mama tunggu di bawah," suara mamanya terdengar lembut, tapi tegas.

​"Iya, Ma," jawab Calya, suaranya parau. Ia bangkit, wajahnya terlihat lelah dan sembab. Ia tahu apa yang akan terjadi hari ini. Ia harus memilih gaun pengantin. Gaun yang akan mengikatnya selamanya dengan pria yang ia benci.

​Ia turun dari kamarnya, berjalan gontai, pandangannya lurus ke depan. Namun, langkahnya terhenti. Ia melihat sosok yang ia benci duduk di sofa ruang tamu. Aksa. Pria itu tampak tampan dengan kemeja putih dan celana jeans, tetapi bagi Calya, ia hanyalah sosok yang menghancurkan hidupnya.

​Aksa menoleh, tatapannya bertemu dengan tatapan Calya. Calya bergidik, ia tidak ingin berlama-lama melihat Aksa. Ia berbalik, hendak kembali ke kamarnya.

​"Calya, jangan begitu," suara mamanya terdengar, ia menghentikan langkah Calya. "Kenapa kamu kembali? Ayo, kita berangkat sekarang."

​"Aku enggak mau, Ma," bisik Calya, suaranya bergetar. "Aku enggak mau pergi sama dia."

​"Calya, sudah. Kamu harus ikut. Ini demi kamu," kata mamanya, suaranya tidak bisa dibantah. Ia menarik tangan Calya, membawanya ke depan Aksa. "Ayo, Nak Aksa. Kita berangkat."

​Aksa bangkit, ia melihat wajah Calya yang dipenuhi kebencian. Hatinya terasa sakit, tapi ia tahu ia harus melakukan ini. Ia harus membuat Calya menerima dirinya.

Di dalam mobil, suasana terasa sangat kontras. Di kursi depan, suara Aksa dan Amelia terdengar riang. Amelia tertawa lepas, dan Aksa menanggapi setiap ceritanya dengan senyum dan perhatian. Aksa sengaja duduk di depan, membiarkan Calya duduk sendirian di belakang, berharap itu akan memberi Calya ruang untuk menenangkan diri.

​"Jadi, Bunda Aksa sudah di butik, Nak?" tanya Amelia.

​"Iya, Tante. Beliau bilang, lebih baik menunggu di sana saja. Tante dan Calya bisa langsung pilih-pilih nanti," jawab Aksa, suaranya sopan dan lembut.

​"Wah, calon mantu Tante ini memang perhatian sekali," puji Amelia, membuat Aksa tersenyum tipis.

​Di kursi belakang, Calya hanya bisa membuang muka ke jendela. Hatinya panas mendidih, mendengar percakapan yang begitu "akrab" itu. Ia melihat pantulan wajah Aksa dari kaca spion, melihat senyumnya yang sempurna, dan itu membuatnya semakin muak. Bagaimana bisa dia bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi? pikir Calya. Semalam dia menciumku, memaksaku, dan sekarang dia sok asik dengan mamaku? Rasanya aku ingin sekali mengeprek kepalanya itu!

​Rasa benci itu membakar dadanya. Ia kembali membayangkan ciuman itu, tamparan yang ia berikan, dan betapa tak tahu malunya Aksa setelah itu.

​Tiba-tiba, mata Aksa melirik ke kaca spion, menangkap wajah Calya yang dipenuhi amarah. Aksa mencoba memecah keheningan yang tegang.

​"Calya, lo mau dengerin lagu? Gue putarin ya?" tawar Aksa, suaranya tetap ramah.

​Calya tidak menoleh. Ia hanya menjawab dengan dingin, "Enggak usah."

​Amelia yang menyadari perubahan sikap Calya, langsung menoleh ke belakang. "Calya, kok jawabnya begitu? Sopan sedikit, Nak."

​"Aku lagi enggak mood, Ma," jawab Calya, tanpa melihat ibunya.

​"Ya, tapi kan Aksa nawarin," desak Amelia, tak suka dengan sikap putrinya.

​"Terserah," gumam Calya, kembali menatap keluar jendela.

​Aksa hanya bisa tersenyum masam, mengerti bahwa usahanya untuk memperbaiki suasana sia-sia. Hatinya terasa perih melihat Calya yang begitu membencinya, namun ia bertekad untuk tidak menyerah. Ia tahu, butuh waktu bagi Calya untuk melihatnya.

Semburat senja membasuh langit, mewarnai butik Azzahra Couture dengan nuansa jingga yang hangat. Di dalam mobil, Calya sudah tak sabar. Namun, bukan karena bahagia, melainkan karena ia ingin segera menyelesaikan "drama" ini. Ia melesat keluar, tak peduli pada Aksa dan Amelia, ibunya, yang masih duduk di dalam.

​"Sabar, Aksa," ucap Amelia lembut, mengelus lengan putranya. "Calya memang begitu. Pernikahan ini bukan keinginannya, jadi kamu harus maklum."

​Aksa menghela napas. Hatinya perih. Ia tahu, pernikahan ini adalah hasil perjodohan. Ia juga tahu, Calya membencinya setengah mati. Namun, ia tidak pernah berhenti berharap Calya bisa membuka hati.

​Di dalam butik, Bunda Aksa menyambut Calya dengan senyum merekah. "Calya!" Ia memeluk calon menantunya erat. "Ya ampun, kamu cantik sekali! Bunda sudah siapkan beberapa gaun yang cocok untukmu."

​Calya tersenyum kaku. Pujian itu terasa hambar. Ia hanya ingin semua ini cepat berakhir. Mereka pun segera masuk ke ruang ganti, meninggalkan Aksa yang hanya bisa menunggu dengan tatapan kosong.

​Satu jam berlalu. Calya keluar dengan gaun pertama, berwarna putih tulang dengan detail payet rumit. "Bagaimana, mah? Ini bagus, tante?" tanyanya, nada suaranya terdengar dingin dan tanpa semangat. Namun yang menjawab bukan sang mama ataupun bunda Aksa

​Aksa menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Hmm, payetnya terlalu ramai, Sayang. Kamu jadi terlihat tenggelam," jawab Aksa, suaranya pelan

.

​Wajah Calya langsung muram. Bukan karena sedih, melainkan karena kesal. Ia kembali masuk, dan beberapa menit kemudian muncul lagi dengan gaun yang berbeda. Kali ini modelnya lebih simpel, dengan potongan mermaid yang menonjolkan lekuk tubuhnya.

​"Gimana yang ini, mah, tante?" yang kedua kalinya aksa menyaut. "Terlalu pas badan, Sayang. Kamu akan sulit bergerak saat nanti salaman dengan tamu," ucapnya, nadanya masih sama, lembut dan hati-hati.

​"Kamu ini maunya apa sih?" Calya mulai terpancing emosi. "Yang tadi terlalu ramai, yang ini terlalu ketat. Kamu mau mengerjaiku? lagian aku tanya mama sama tante bukan lo" sewot Calya

Amelia dan bunda aksa hanya berusaha melerai keduanya mereka tampak merasa lucu dengan interaksi Aksa dan Calya.

​"Bukan begitu, Calya. Aku cuma mau yang terbaik buat kamu," Aksa mencoba menenangkan.

​Setelah lima kali mencoba gaun, kekesalan Calya memuncak. Setiap kali ia keluar, Aksa selalu punya alasan untuk menolak. Terlalu vintage, terlalu banyak pita, warnanya kurang cerah. Calya merasa dipermainkan. Ia yakin, Aksa sedang mencari cara untuk membuatnya menderita.

​"Aksa, sialan kamu! Kamu mau membatalkan pernikahan ini, ya? bagus kalau begitu" Calya membentak, suaranya bergetar menahan amarah. "Atau jangan-jangan kamu ingin aku tidak terlihat cantik di hari pernikahan kita? Agar orang tahu betapa malangnya nasibku menikah denganmu?"

​Aksa terdiam. Ia menatap calon istrinya, matanya berkaca-kaca. Ia tahu, ia sudah keterlaluan. Ia sengaja mencari-cari kesalahan pada setiap gaun, karena ia tidak ingin Calya memakai gaun-gaun itu.

​"Calya, dengarkan aku," ucap Aksa, mendekat. "Aku... aku sudah memimpikan gaunmu dari lama. Aku tahu gaun yang paling cocok untukmu."

​"Mimpi? Omong kosong!" Calya berbalik, tak mau menatapnya. "Kamu ini aneh. Kenapa tidak bilang dari tadi?"

​Aksa menghela napas. "Maaf. Aku ingin ini jadi kejutan. Ada satu gaun lagi di butik ini yang belum kamu coba. Gaun yang aku pesan khusus untukmu."

​Aksa berjalan ke sebuah ruangan tersembunyi, lalu membuka tirai beludru. Di sana, tergantung sebuah gaun yang membuat mata Calya membelalak. Gaun itu tidak se-mewah gaun-gaun lain. Gaun putih bersih dengan detail brokat sederhana namun elegan. Gaun itu tampak seperti gaun impian.

​"Ini... ini gaun yang kamu desain?" Calya bertanya, tak percaya.

​Aksa tersenyum. "Ini gaun impianku untukmu. Sederhana, tapi indah. Sama seperti dirimu."

​Calya menatap gaun itu, lalu beralih menatap Aksa. Jantungnya berdebar kencang. Bukan karena terharu, melainkan karena amarah yang memuncak. "Kamu gila, ya?" bisiknya tajam, suaranya bergetar menahan emosi. Ia muak dengan sikap Aksa yang sok romantis. Ia muak mendengar kata 'Sayang' yang terasa seperti racun di telinganya.

​"Aku tidak mau memakai gaun ini," Calya berucap tegas. "Aku tidak peduli kamu mendesainnya atau apa. Aku tidak akan pernah memakai apa pun darimu."

​Aksa terkejut. Senyumnya luntur. "Calya, ini gaun yang...".

​"Diam!" potong Calya, suaranya naik satu oktaf. Ia tidak peduli jika Bunda Aksa dan ibunya mendengar. "Aku jijik mendengar kamu memanggilku 'Sayang'. Kamu pikir kamu siapa? Andaikan tidak ada mama dan bundamu di sini, sudah aku pukul wajahmu!"

​Calya berbalik, berjalan cepat ke arah ganti. Ia memilih gaun yang paling ia benci, gaun berwarna emas dengan detail payet yang paling ramai. Gaun yang membuat Aksa berkata ia terlihat tenggelam. Gaun yang paling jauh dari kata "impian".

​Ia keluar dan menatap Aksa dengan tatapan penuh kebencian. "Aku akan memakai gaun ini. Ini gaun pilihanku. Kamu tidak bisa memaksaku."

​Bunda Aksa dan Amelia hanya bisa terdiam, tak berani ikut campur. Aksa menatap gaun yang dipilih Calya, lalu menatap Calya. Hatinya hancur. Ia tahu, Calya tidak hanya menolak gaun itu, tapi juga menolak dirinya.

Amelia dan Bunda Aksa melangkah mendekat, mengelus punggung Aksa secara bergantian. Suasana butik yang tadinya penuh harapan, kini diselimuti ketegangan dan kekecewaan.

​"Sabar, Nak," bisik Bunda Aksa, suaranya sarat akan rasa prihatin. "Calya hanya sedang bingung. Dia akan luluh juga."

​Amelia mengangguk, sorot matanya menenangkan. "Aksa, mama akan coba bicara dengan Calya. Mama akan minta dia memakai gaun pilihanmu. Mama yakin dia akan mengerti."

​Aksa tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan. Dadanya terasa sesak. Ia tahu, Calya tidak sedang bingung. Calya sangat jelas dengan perasaannya: ia membenci Aksa. Bahkan tawaran tulusnya untuk memberikan gaun impian pun ditolak mentah-mentah, digantikan oleh gaun yang ia pilih untuk menyakiti Aksa.

​"Terserah," jawab Aksa lirih, nyaris tak terdengar. "Pilih saja gaun yang dia mau." Ia sudah lelah. Ia tak sanggup lagi berdebat, apalagi memaksa. Ia hanya ingin semua ini segera berakhir.

​Calya keluar dari ruang ganti dengan gaun emas berpayet yang mencolok. "Mama, Bunda. Bagaimana gaun ini?" tanyanya, suaranya terdengar ceria, sangat kontras dengan ekspresi Aksa yang hancur. "Aku sudah putuskan akan pakai yang ini."

​Amelia tersenyum kaku. "Calya, sayang... gaun yang dipilih Aksa juga bagus, lho. Kenapa tidak dicoba?"

​"Ma, sudahlah," potong Calya cepat. "Gaun itu jelek. Aku sudah bilang, aku tidak akan pakai apa pun dari dia." Ia menekan kata 'dia' dengan penuh penekanan, membuat Aksa semakin menunduk.

​Bunda Aksa menghela napas. Ia menatap Aksa, lalu kembali menatap Calya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tahu, pernikahan ini tidak akan mudah bagi siapapun.

​Calya, dengan gaun emas yang mencolok, merasa menang. Ia berhasil membuat Aksa terlihat kalah di depan ibunya sendiri. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasa hampa. Kemenangan ini terasa kosong, sama seperti hatinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!