Sera, harus kehilangan calon anak dan suaminya karena satu kecelakaan yang merenggut keluarganya. Niat ingin berlibur malah menjadi petaka.
Sera bersedih karena kehilangan bayinya, tapi tidak dengan suaminya. Ungkapannya itu membuat sang mertua murka--menganggap jika Sera, telah merencanakan kecelakaan itu yang membuat suaminya meninggal hingga akhirnya ia diusir oleh mertua, dan kembali ke keluarganya yang miskin.
Sera, tidak menyesal jatuh miskin, demi menyambung hidup ia rela bekerja di salah satu rumah sakit menjadi OB, selain itu Sera selalu menyumbangkan ASI nya untuk bayi-bayi di sana. Namun, tanpa ia tahu perbuatannya itu mengubah hidupnya.
Siapakah yang telah mengubah hidupnya?
Hidup seperti apa yang Sera jalani setelahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini ratna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lio Demam
Di sebuah warung makan sederhana, sepasang suami istri Ane dan Joko mereka sibuk melayani pelanggan mereka. Apalagi di jam saat makan siang, warung milik mereka akan didatangi banyak pembeli.
Joko, sedang mengantarkan dua piring pesanan pelanggannya, tiba-tiba dari jauh ia melihat Sera, berjalan ke arah warungnya sambil menyeret kopernya.
"Sayang! Itu Sera," ujar Joko sedikit berteriak.
"Sera, bukankah dia bekerja?"
"Entahlah, tapi dia ada di sini. Bawa koper juga."
Mendengar nama koper, membuat Ane langsung mendekat ke arah suaminya. Mereka mengintip Sera, dibalik jendela yang langkahnya kini semakin mendekat ke arah mereka.
Sera, menyeret koper memasuki warung ayah ibunya. Joko dan Ane pun segera menghampiri, yang kebetulan tidak ada lagi pelanggan yang datang.
"Sera?" panggil sang ibu, Sera hanya meliriknya sekilas lalu menuju meja di ujung sudut. Salah satu meja yang pernah ditempati Darren.
"Sera, bukannya kamu harus bekerja? Kenapa ada di rumah?" tanya Ane, curiga.
"Aku sudah dihentikan," jawab Sera santai
"Apa!" Mata Ane, melebar sempurna padahal sebelumnya dia sudah membanggakan Sera, kepada tetangga juga mantan besannya.
"Kamu melakukan kesalahan atau apa? Kamu dari dulu kalau kerja tidak pernah benar."
"Ibu! Kenapa harus menyalahkanku. Aku difitnah, mereka menuduhku mencuri tanpa bukti lalu memecatku."
"Tapi kamu tidak mencuri, kan?"
"Ya, tidaklah Bu. Bukankah Ibu dan Ayah selalu mengajarkan aku untuk selalu jujur. Kapan aku jadi pencuri, yang ada aku yang selalu dicuri."
"Dicuri apa?" tanya Ane, melirik Sera, dengan intens.
Sera, menoleh lalu menjawab dengan senyuman. "Mencuri hatiku Ibu."
"Aish, dasar!" Ane, menjitak kepala Sera. "Disaat seperti ini kamu masih saja bisa bercanda," sambung Ane. Joko hanya tertawa. Sedangkan Sera, mengusap-usap kepalanya.
"Ya, demi menghibur hati Ibu. Aku sudah dipecat, itu artinya aku kehilangan uangku, money Ibu ... money ku."
"Memang, ya keluarga kita tidak pernah ditakdirkan untuk kaya. Entah, kutukan dari siapa hidup kita selalu gagal. Kamu sudah mendapat gaji yang tinggi tapi tetep dipecat, adikmu ... ingin ikutan audisi model, tapi belum apa-apa sudah di eliminasi. Sepertinya .... memang hanya warung ini harta satu-satuya kita." Ane, mulai mengeluh kehidupannya.
Sera, mengusap lembut punggung ibunya, dan bilang jika ia akan mencari pekerjaan lain.
"Makanya Bu, sama anak jangan galak-galak. Doakan yang baik-baik jangan mengumpat terus."
"Kamu ini!" sentak Ane
"Bu, bangunlah di sepertiga malam, lakukan salat malam lalu doakan aku semoga mendapatkan jodoh pria yang kaya."
"Pria yang kaya, akhirnya tetep miskin juga," sindir Ane, mengingat pernikahan Sera, dengan mendiang suaminya dulu. Dia diusir sang mertua dan kembali ke orang tuanya.
Sera, langsung diam ketika mendapat sindiran keras dari sang ibu.
Suasana, cukup tenang dan Sera mau naik ke ke kamarnya. Ane dan Joko pun mau kembali ke dapur, memasak untuk pelanggannya. Namun, tiba-tiba ... tangisan Essa, mengejutkan mereka semua.
Sera, Ane, dan Joko langsung menoleh ke arah pintu di mana Essa, berada. Gadis itu paling cengeng, jika menangis suaranya paling histeris.
"Essa, kenapa dengan dia?" Ane berkata sambil melangkah keluar. Sera, dan Joko pun mengikuti dari belakang.
Setibanya di depan, mereka semua tercengang melihat seluruh pakaian Essa, basah karena lumpur.
"Essa, kamu nyemplung di mana hah?" Kamu, tahu tidak seragammu hanya satu-satunya, jika kotor begini bagaimana besok sekolah?"
"Ibu, kalau bicara senaknya. Ngapain aku nyemplung ke comberan, kayak kurang kerjaan aja," sanggah Essa.
"Lalu kenapa bajumu kotor begini? Nangis lagi!"
"Tadi, sepulang sekolah ada mobil lewat depan Essa, dia nginjak lumpur eh ... kena baju deh."
"Terus nangisnya karena apa?"
"Huhuu ...." Essa, tambah nangis membuat Sera, nyengir. "Essa, gak dapet hadiah Ibu, dari Chiki yang Essa, beli."
"Ya Tuhan! Cuman gara-gara itu? Ini anak, ya semuanya bikin malu." Ane berkata dengan mata menyala.
"Sekarang juga, naik ke atas jangan bikin malu di sini!"
"Sayang!" tegasnya kepada Joko, seolah meminta Joko untuk membawa anak-anaknya ke atas. Joko, segera menuntun Essa, yang merajuk meminta makan lebih dulu, dan Sera, ia menyeret kopernya lagi ke atas.
Ane, dibuat pusing oleh kedua putrinya sekarang, sampai ia tidak bisa berkata Semua, pelanggan menyaksikan sudah pasti akan menjadi bahan gunjingan.
Di atas Sera, memasuki kamarnya. Ia merebahkan tubuh di atas kasur kecilnya sembari menatap langit-langit kamar yang tampak polos dan kucel. Wajarlah, entah sudah berapa tahun keluarganya menempati rumah itu.
Sera, sudah sangat senang ketika mendapat pekerjaan. menjadi ibu susu, gajinya yang lumayan tinggi, berharap bisa merenovasi rumah orangtuanya. Essa, pun harus membayar ganti rugi pernikahannya, karena sang mertua meminta maharnya dikembalikan.
Sera, terlonjak ia bangun dari tidur setelah mengingat perjanjian kontrak dengan Maudy, sayangnya Sera, tidak menyimpan surat kontraknya. Ia tidak tahu, apa uang yang sudah Maudy kasih harus dikembalikan? Padahal sebagian sudah ia pakai untuk bayar ganti rugi dan menambah modal usaha ibunya.
"Aku, harus yakinkan lagi Nyonya Maudy, aku tidak bisa seperti ini. Enak saja, aku tidak melakukan kesalahan tapi harus menerima hukumannya."
"Sepertinya aku harus hubungi Nyonya Maudy lagi."
Sera, hendak mengambil ponselnya tetapi dadanya tiba-tiba berdenyut. P*y*d*r*nya sudah bengkak, dan keras, mungkin ASInya sudah banyak, dan ini waktunya Lio menyusu.
"Lio," ucapnya demikian, Sera tiba-tiba teringat Lio, air susunya mulai merembes membasahi bagian dadanya, Sera, segera mengambil alat pompa untuk memompa air susunya yang langsung ia masukkan ke dalam botol.
Sementara di tempat lain, tangisan Lio memenuhi seisi rumah. Maudy, sudah mulai kesal karena tangisan Lio tidak mereda, ditambah bayi itu baru saja menjalani imunisasi yang membuat Lio semakin rewel.
"Mama, sini biar aku saja yang tenangkan Lio."
Darren, mengambil alih tubuh Lio dari ibunya. Namun, tangisan Lio tidak juga berhenti.
"Lio, ini Papa, sayang ... kamu tenang, ya, bentar lagi susunya datang." Darren, meminta Nia untuk membuatkan sufor, walau sudah Maudy ingatkan bahwa Lio, alergi protein susu sapi.
Darren, tidak peduli ia bersikeras memberikan susu itu untuk Lio, karena Darren pikir Lio tidak boleh tergantung kepada Sera.
"Tuan, ini susunya."
Nia datang membawa sebotol susu, Darren, mengambilnya lalu ia berikan kepada Lio. Akan tetapi, bayi itu tidak menerimanya sama sekali.
"Lio, dengarkan Papa, kamu harus suka susu ini."
"Darren, hentikan!" Maudy, menatapnya marah. "Mama, tidak suka kamu maksa-maksa Lio. Sudah , Mama bilang hanya Sera yang bisa menyusui Lio."
"Ini sementara saja Mah, besok Darren akan cari ibu susu yang lain."
"Kamu pikir mudah? Darren, Mama sudah pusing mencari ibu susu untuk anakmu, dan kemarin Mama sudah tenang karena ada Sera, sekarang ... kamu usir dia, dan buktinya kamu tidak bisa menenangkan Lio."
"Cukup Mama. Darren, tidak mau membahas wanita itu lagi."
"Terserah kamu saja, Mama sudah capek. Sekarang, kamu tenangin anakmu sendiri."
Maudy, marah yang langsung keluar dari kamar Lio. Darren, menghela nafas berat, sambil berusaha menenangkan Lio. Sementara, Nia wanita itu hanya diam, tatapannya terlihat sedih melihat Lio yang sekarang.
"Nia!"
"Iya, Tuan."
"Ambilkan kompresan untuk Lio, Lio demam!"
"Iya, Tuan!"
Nia, langsung berlari keluar mencari obat kompres untuk Lio. Sementara, Maudy, dia tidak bisa diam saja melihat cucunya yang sekarang, Lio baru saja diimunisasi ia takut Lio mengalami demam hebat, sehingga Maudy kembali ke kamar untuk melihatnya.
"Darren, Lio demam?"
"Iya, Mama."
"Sini, biar Mama." Maudy, memangku Lio lalu menidurkannya di atas kasur. Suara Lio semakin serak, yang disebabkan oleh tangisannya yang tak kunjung henti.
Tidak berselang lama, Nia datang membawa obat demam untuk Lio, bersamaan dengan itu Inah pun datang, yang tergopoh-gopoh.
"Nyonya! Ini ada titipan susu untuk Lio," katanya yang memberikan satu buah kotak kepada Maudy.
Darren, menoleh. "Dari siapa Bi?"
"Mm ... anu ... dari Sera," jawab Inah demikian. Darren, hendak mengambil tapi Maudy, sudah lebih dulu mengambil kotak itu. Ia tidak mau jika Darren membuang susu pemberian Sera.
Saat dibuka, ada enam botol susu beserta surat yang terselip di dalamnya. Maudy, membiarkan dulu suratnya yang langsung mengambil botol itu, lalu ia berikan kepada Lio.
Tangisan Lio, mulai reda, bayi itu kembali tenang sambil menyedot susunya. Biasanya, Lio harus menyusu langsung tetapi sekarang Lio meminumnya walau itu dari botol, mungkin karena rasanya yang sama. Lio, sudah tahu rasa ASI dari ibu susunya.
"Seranya mana Bi?" tanya Maudy.
"Bibi gak ketemu Nyonya, dia menitipkannya kepada security."
Darren, langsung diam. Maudy, menatap putranya itu kesal sambil berkata, "Kamu lihat, kan Darren. Sera, masih ingat dengan Lio, tapi kamu ... sebaiknya kamu cari tahu dulu jangan asal menuduh."
Darren tetap diam.
Sementara Maudy, langsung membaca surat yang ada dalam kotak. Dalam surat itu Sera, menuliskan jika ia akan mengirimkan ASI nya setiap hari untuk Lio, tidak hanya itu ada kata-kata terakhir yang membuat Maudy tertawa. Seketika sedihnya berkurang setelah membaca pesan dari Sera.
"Nyonya, untuk uang yang sudah Anda berikan saya, harap Nyonya tidak memintanya lagi, maaf Nyonya tapi saya sudah menggunakan uang itu saya tidak bisa mengembalikannya."
Darren menatap heran ibunya yang tersenyum sendiri. Namun, tiba-tiba senyumnya memudar, Lio mendadak kejang-kejang membuat semua orang panik.
"Mama, Lio!"
"Lio!"
...----------------...
Up lagi nanti sore
Jangan lupa like, vote, komentarnya