Hidupku begitu hancur saat malam yang tak diiginkan menimpaku. Sayangku pada keluarga baru, telah menghancurkan cinta pada pria yang telah merenggut semangat hidupku.
Hidup yang selama ini terjaga telah hancur dalam sekejap mata, hanya keserakahan pria yang kucintai. Namun pada kenyataanya dia tak memilihku, akibat cintanya sudah terkunci untuk orang lain.
Apakah hidupku akan hancur akibat malam yang tak diiginkan itu? Atau akan bahagia saat kenyataan telah terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekejamannya memusuhi
# FLASHBACK ON BAGIAN 8 #
Walau obat pereda nyeri sudah kuminum rutin, tapi rasa sakit pada tangan masih terasa, hingga kini menulis pelajaranpun sampai memakai tangan kiri. Tak ada kata tak bisa aku lakukan walaupun musibah telah datang menimpaku, sebab sudah sejak dipanti asuhan diri ini telah diajarkan untuk bisa mandiri.
"Tangan kamu kenapa, Karin?" tanya teman kelas.
"Cuma luka kecil saja," jawabku....
"Oh, semoga cepat sembuh," cakap tem.....an mendo'akan.
"Terima kasih."
"Iya."
Pelajaran demi pelajaranpun telah usai kami jalani, hingga waktu bel berbunyipun telah datang. Rasa perut yang melilit sakit akan rasa mules telah melangkahkan kakiku untuk cepat-cepat masuk kedalam toilet, hingga rasa lapar yang sempat mendera untuk makan dikantinpun sampai tak jadi.
"Wah ... wah, pucuk dicinta ulampun tiba. Ternyata tak payah buang-buang tenaga diriku mencarimu, ternyata kamu telah datang sendiri untuk berhadapan denganku," sapa kak Yona yang kelihatan ingin melakukan sesuatu padaku.
"Maksudnya apa ya, kak Yona?" tanyaku tak mengerti.
Mata kak Yona sudah memperhatikan semua orang-orang yang keluar masuk dari toilet. Terlihat kak Yona telah memberi kode dengan cara mengerakkan kepala, supaya teman-temannya segera menutup rapat dan mengkunci pintu toilet saat semua orang sudah tidak ada alias sepi dalam toilet.
"Pegang tangannya," suruh kak Yona memerintah pada teman-temannya.
Aku yang kebingungan kini hanya bisa pasrah, saat teman kak Yona sudah memegang mengkunci tangan kanan dan kiriku secara kuat.
"Kamu ngak usah pura-pura bodoh," cakap kak Yona yang sudah mencengkram pipiku secara kuat.
"Aku beneran ngak tahu, kak. apa yang kamu maksud sebenarnya?" jawabku jujur.
"Alaah, kamu itu memang sok jago akting. Asalkan kamu tahu, Adrian sudah memarahi dan membenciku akibat ulah kamu yang kemarin tersiram air panas," jelas kak Yona yang kelihatan kesal.
"Aku beneran ngak tahu itu, kak. Kalau kak Adrian ternyata sudah sampai segitunya pada kamu, jadi maaf dan lepaskanlah aku jika memang ada salah padamu," pintaku memohon.
"Tak semudah itu, haaah!" jawab kak Yona.
"Apa maksudmu, kak?" tanyaku yang tak mengerti.
"Aku sudah memperingatkanmu untuk tak berbuat ulah sama aku, tapi apa nyatanya sekarang? Adrian telah membenciku gara-gara kamu. Dasar perempuan murahan, aku akan berbuat lebih kejam dari pada ini, haaah! Rasakan ini," ucap kak Yona emosi yang kini menekan kuat-kuat tanganku yang terluka.
"Aww ... aaaaa ... sakit kak ... aaaaaa, lepaskan kak ... awww!" pintaku meringis kesakitan, akibat luka tangan rasanya begitu mengiris berdenyut sampai ke tulang.
"Ini belum seberapa dibandingkan dengan sakit hatiku, paham!" ancamnya yang kian menekan kuat tangan.
"Aaaaa ... paham ... paham ...aaaawwww," suaraku tertahan memejamkan mata, sebab sakit tangan sudah tak tertahan lagi.
Airmata seketika menetes tanpa henti, dengan mulut tanpa mengeluarkan suara sama sekali, dikarenakan mulut tertutup rapat menahan sakit. Lama sekali tangan ditekan kuat, diiringi sorot mata tajam kak Yona yang kelihatan benar-benar marah padaku.
"Sudah Yona ... sudah, kasihan dia. Lihat! Dia tanpa henti terus menangis," sela ucap teman kak Yona yang mungkin merasa iba padaku.
"Haaah, diam kalian!" bentak kak Yona sambil melempar telapak tanganku kuat.
"Kamu jangan marah, Yona. Kami hanya ingin memperingatkan kamu saja, sebab jika luka perempuan ini tambah parah maka Adrian akan curiga dan bisa-bisa nanti Adrian akan tambah marah dan membenci kamu," simbatan teman yang lain yang masih sibuk memegangi tanganku.
"Benar juga apa yang kalian katakan. Ingat Karin, kamu jangan pernah bicara masalah ini kepada Adrian. Kalau sampai Adrian tahu, kamu akan tahu apa yang akan aku lakukan padamu? Yang pastinya hidupmu tidak akan tentram dan akan kubuat menyesal seumur hidup, mengerti!" ancam kak Yona yang mencegkram pipiku kembali.
"Mengerti, kak!" jawabku lemah yang masih berurai airmata dengan tersedu-sedunya.
"Ayo kita tinggalkan perempuan si cengeng ini, sebelum semua orang mengetahuinya," ajak kak Yona pada teman-temannya, ingin meninggalkan diriku sendirian.
"Bener Yona, ayo!" simbatan temannya.
Saat mereka bertiga sudah hilang dari pandaganku, kini aku mencoba berdiri dari posisi yang sempat terduduk akibat tak kuasa menahan derita yang barusan terjadi. Langkah mencoba tergesa-gesa berjalan, untuk mencari tempat agar segera menumpahkan segala kejadian yang menimpaku tadi. Nampak sekali saat aku berjalan tergesa-gesa, didepan nampak kak Adrian sedang bercengkrama dan tertawa riang bersama teman-temannya. Tanpa peduli jika diriku bersimpangan dan ditanyai kak Adrian, langkah terus saja maju dengan cara berjalan cepat-cepat untuk mencari tempat aman menghindari semua orang.
"Karin ... hei Karin?" panggil kak Adrian saat diriku melewatinya bergitu saja.
Mulut terdiam tanpa ada jawaban, dengan kaki terus saja berjalan berlarian kecil untuk secepatnya pergi.
"Hei Karin berhenti kamu ... hei Karin berhenti. Apa kamu ngak dengar, berhenti kamu!" ucap kak Adrian memanggil yang kini tengah mencengkal bahuku agar aku berhenti melangkah.
"Kamu kenapa? Apa ngak dengar aku tadi memanggil kamu?" tanya keluh kak Adrian.
"Aku ngak pa-pa dan aku tadi dengar. Maaf kak, aku ada urusan yang buru-buru aku kerjakan, jadi lepaskan aku!" jawabku ambigu sambil menundukkan kepala.
"Kamu kenapa sih? Angkat kepala kamu," suruhnya yang mulai curiga.
"Maaf kak, aku harus pergi!" jawabku yang kini berusaha pergi.
Tanpa halangan oleh kak Adrian lagi, kini aku berusaha berjalan kabur meninggalkan kak Adrian.
"Kamu kenapa sih? Aku belum selesai ngomong, berhenti disitu ngak!" ancam kak Adrian saat berdiri terpaku.
Sebab takut jika kakak angkat akan marah, langkah akhirnya mengalah juga untuk berhenti. Tanpa terasa pipi telah basah oleh airmata, hingga dengan cepat-cepat tangan langsung mengusapnya biar kak Adrian tak mengetahuinya.
"Katakan? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya kak Adrian lagi yang kini menghampiriku yang tengah berdiri mematung.
"Aku sudah bilang, kak. Bahwa aku baik-baik saja," jawabku berbohong.
"Jangan bohong kamu. Muka kamu kelihatan sekali sangat acak-acakkan, cepetan kamu katakan dengan jujur, apakah ada orang yang berbuat usil padamu?" tanya interogasi kak Adrian.
"Beneran ngak kenapa-napa dan ngak ada," kekuh jawabku.
"Hei Karin, bagaimana kabar kamu?" ucap kak Yona yang tiba-tiba datang merangkul bahuku mencoba sok akrab.
"Maaf kak, aku harus pergi!" ucapku berusaha pamit, sebab tak ingin ada masalah yang melebar lagi.
"Hei Karin tunggu, kita belum selesai bicara!" teriak kak Adrian berusaha mencegahku lagi.
"Sudah, Adrian. Dia sendiri yang ingin pergi, lagian ngapain kamu repot-repot mau berbicara pada orang yang tak mau berbicara sama kamu," cakap kak Yona mencegah kak Adrian mengejarku, saat aku sudah jauh namun masih terdengar ditelinga atas ucapan mereka.
Bulir-bulir airmatapun sudah tak terbendung lagi yang terus saja mengalir dengan tangan berkali-kali sibuk untuk menghapusnya. Langkah kini telah berhenti disebuah gudang penyimpanan barang tak terpakai dari sekolah. Tangan sudah memukul-mukul kuat dibagian dada untuk menghilangkan rasa sesaknya, saat airmata dari sembari tadi tertahan tak bisa keluar.
"Ya Allah, dimanakah salahku? Kenapa aku yang baru merasakan rasa bahagia atas keluarga dan disayangi oleh kak Adrian, kini sudah pilu mendapatkan seorang musuh. Apakah aku ini memang orang yang tak pantas untuk bersama mereka? Aku begitu menyayangi kak Adrian, tapi kenapa sekarang ini diriku harus dihadapkan oleh kenyataan bahwa dia itu tak bisa kudekati dan gapai. Apakah ini sebuah jalan bahwa aku harus benar-benar menjauhi dia dengan jalan atas kehadiran kak Karin?" tanyaku dalam hati sambil masih sibuk menangis tersedu-sedu.
"Tak pantaskah aku yang miskin ini terlalu dekat dengan, kak Adrian? Tak pantaskah aku mendapatkan kasih sayang mereka, setelah sekian tahun aku tak mendapatkan kasih sayang dari siapapun, bahkan kedua orang tuaku sendiri? Apakah aku pantas menjadi orang sehina ini, sehingga orang yang menyayangiku semakin tak bisa kudekati? Oh tuhan, berikanlah petunjukMu apakah aku harus selalu terbelenggu tak mendapatkan kasih sayang dari orang lain, atau apakah aku harus bangkit dari keterpurukan yang menghadang? Maafkan aku kak Adrian, jika suatu saat nanti kita akan semakin jauh tak akrab lagi. Bukan aku tak mau, tapi ini semua demi kebaikan kita agar semua orang tak terluka termasuk diriku dan dirimu, i miss you, kak!" ucapku perih dalam hati saat berjanji, yaitu mulai saat ini tak akan banyak bicara dan akrab dengan kakak angkat.
Dert ... dert ... dert, gawai telah berbunyi yang sudah tertera nama kak Adrian melakukan panggilan. Namun tak serta merta langsung kuangkat, sebab sudah berjanji mulai detik ini akan menghindarinya.
Dert ... dert, untuk yang kedua kalinya kak Adrian telah melakukan panggilan. Ini adalah waktunya jam pelajaran telah selesai, mungkin dia sedang mencariku untuk segera mengajak pulang bersama-sama.
Panggilanpun telah terhenti, hingga kini jari-jari mencoba mengetik sesuatu, agar kakak angkat supaya cepat pergi meninggalkanku.
[Maafkan aku, kak. Aku lupa memberitahu kamu, bahwa hari ini ada tugas kelompok dirumah teman, jadi kak Adrian sekarang boleh pulang duluan tak usah menungguku]
Kling, sebuah pesan balasan dari kak Adrian kini telah masuk digawaiku.
[Beneran apa yang kamu katakan? Kenapa lama sekali tadi mengangkatnya? Tunjukkan alamatnya biar nanti kakak akan jemput kamu kesana]
[Iya kak, beneran aku sedang ada tugas kelompok dari sekolah. Maaf tadi tidak kuangkat, sebab aku tak tahu karena sedang berada ditoilet. Tak payah jemput kak, sebab tugasnya banyak sekali, pasti agak sorean pulangnya nanti. Biar nanti aku pulang naik taxi saja]
[Baiklah kalau begitu. Kamu hati-hati pulangnya nanti]
[Iya, kak]
Setelah berbalas pesan dengan kak Adrian, kini aku mau mengambil tas sekolah yang masih tertinggal dikelas.