Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 19.
Lounge kantor sore itu berkilau dengan cahaya jingga dari matahari yang hampir tenggelam di langit Dubai. Kaca tinggi memantulkan warna oranye keemasan, membuat ruangan terasa hangat sekaligus tenang. Kontras sempurna dengan ketegangan yang baru saja berakhir di ruang rapat utama.
Alena duduk di sofa panjang dekat jendela, di depannya ada segelas air putih dan laptop yang belum tertutup sepenuhnya. Meski tubuhnya tampak rileks, jari-jarinya masih sibuk mengetik laporan singkat. Itu adalah kebiasaan yang tak bisa hilang bahkan setelah menang besar hari ini.
Ia tersenyum kecil. Kemenangan itu seharusnya membuatnya lega, tapi justru membuat pikirannya kembali pada satu sosok.
Dan seolah semesta membaca pikirannya, langkah sepatu kulit terdengar mendekat. Langkah yang sudah sangat ia kenal.
Fadil muncul di ambang pintu lounge dengan kemeja putih yang lengan atasnya digulung hingga siku. Dasi sudah dilepas, dua kancing teratas terbuka memberi kesan santai yang hanya muncul ketika pria itu sedang bersama Alena.
Fadil duduk dan bersandar sedikit, jarak mereka nyaris tak ada. Aroma parfum kayu hangat yang khas dirinya langsung mengelilingi Alena, aroma yang selalu membuat jantung Alena kehilangan ritme.
Ia menatap layar laptop Alena, lalu menutupnya perlahan dengan satu tangan. “Cukup, jangan bekerja terus. Dunia... bisa menunggu sebentar.”
Alena menatapnya, separuh protes dan separuh menyerah. “Kau tahu kalau aku tidak bisa diam terlalu lama setelah proyek besar seperti ini.”
“Aku tahu, tapi aku juga tahu kamu sering lupa kalau kamu bukan robot.” Jawab Fadil lembut. Ia menatap wajah Alena, dengan tatapan yang membuat waktu terasa melambat.
Alena tersenyum seraya menatap balik. “Kau tahu, kadang aku heran bagaimana seseorang bisa terlihat se-formal di ruang rapat dan sekaligus santai seperti ini... lima menit kemudian.”
“Itu talenta alami milikku,” jawab pria itu cepat dengan senyum menggoda.
“Hmm... atau latihan dari banyak pengalaman?”
“Kalau yang ini,” Fadil mendekat sedikit lagi, “Aku belajar dari kamu.”
Alena menghela napas, lalu bersandar santai di sofa. “Kalau kamu terus bicara seperti itu, aku tidak yakin siapa yang sedang menggoda siapa.”
“Artinya... godaanku berhasil.”
Alena tertawa lagi.
Fadil menatap keluar jendela. “Kau tahu, waktu kau berdiri di depan ruangan tadi... aku tidak melihat desainer yang sedang bekerja. Aku melihat seseorang yang… benar-benar tahu siapa dirinya. Aku bangga padamu, bukan karena kamu menang. Tapi karena kamu tidak berubah... meski semua orang mencoba membuatmu ragu.”
Alena menatapnya dari sisi, suaranya lembut. “Dan aku bangga... karena kamu percaya padaku."
Fadil mengecup pelipis Alena perlahan, sebuah gerakan yang lebih seperti penghargaan daripada sekadar kasih sayang.
“Aku suka kita seperti ini, tidak perlu banyak bicara.... tapi semuanya terasa cukup.”
Alena memejamkan mata sejenak. “Aku juga suka.“
Beberapa menit berlalu hanya dalam diam dan sentuhan ringan di antara mereka.
Sore berubah menjadi senja, lalu menjadi bayangan lembut di ruangan.
“Jadi,” Fadil memecah keheningan, “Bagaimana kalau kita rayakan kemenangan ini malam nanti?”
“Rayakan?”
“Makan malam, di tempat favoritmu. Aku sudah reservasi sejak pagi...”
Alena menatap kekasihnya dengan kaget. “Kau yakin bukan untuk rapat dengan delegasi London?”
“Itu besok, malam ini hanya untuk kita. Dan jangan khawatir, aku sudah memberitahu sekretarisku... bahwa malam ini aku tidak bisa diganggu oleh siapa pun.”
Alena tertawa kecil. “Kau benar-benar sudah menyiapkan ini?”
“Sudah.”
“Padahal aku belum tahu hasil rapat tadi.”
“Keyakinanku padamu bukan sesuatu yang dimulai pagi tadi, Alena. Aku sudah tahu dari awal, kau akan membuat semua orang terdiam.” Fadil menautkan jemarinya pada jemari Alena.
Alena menatap jemari mereka yang saling bertaut. “Kau terlalu yakin.”
Fadil mengangkat dagunya sedikit, menatap wajah Alena yang disinari pantulan cahaya jingga terakhir sore itu. “Kalau aku boleh jujur, wajahmu... pemandangan terbaik hari ini.”
Alena tersenyum kecil. “Kau harusnya menatap langit, bukan aku.”
“Aku menatap langit setiap hari, tapi tidak ada yang menenangkan seperti saat menatapmu.”
Alena tertawa kecil, lalu mencubit lengan Fadil ringan. “Berhenti menggodaku.”
Fadil hanya tersenyum lembut, senyum yang menenangkan sekaligus menjerat.
Sore itu berakhir dengan mereka duduk berdampingan dalam diam yang hangat, di antara pantulan cahaya emas dan bayangan lembut kaca jendela.
Dunia di luar terus bergerak, tapi di lounge itu waktu seperti berhenti.
Langit sore tampak tenang, gurun yang luas berkilau lembut diterpa cahaya matahari yang menurun perlahan. Burung-burung beterbangan, menandai waktu menjelang senja. Fadil duduk di ruang kerjanya di rumah, menatap layar tablet berisi jadwal rapat. Namun, pikirannya sama sekali tidak di sana.
Hari itu, sesuatu yang lain membuat jantung Fadil berdegup lebih cepat dari biasanya.
Ia baru saja menerima pesan dari ibunya, Lady Eleanor Windsor, seorang wanita berdarah Inggris
[Fadil, I heard about her. I wish to meet the woman you chose.]
Pesan itu singkat, namun artinya besar. Ibunya ingin bertemu Alena, wanita pilihannya.
Fadil menatap kata-kata itu lama, bibirnya menegang. Ia tahu, ibunya bukan tipe wanita yang mudah jatuh hati. Namun ia juga tahu satu hal, ibunya berbeda dengan keluarga kerajaan yang lain. Ibunya pernah berkata padanya, 'Jika kamu mencintai seseorang, cintailah bukan karena siapa dia, tapi karena bagaimana kamu merasa bahagia saat bersamanya.'
Dan sekarang, ibunya sendiri ingin bertemu dengan Alena.
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/
Karena dianggap Lady Diana sering melanggar aturan selama menjadi istrinya Pangeran Charles...