"Cinta itu buta, itulah mengapa aku bisa jatuh cinta padamu." -Langit Senja Pratama-
"Tidak, kamu salah. Cinta itu tidak buta, kamu saja yang menutup mata." -Mutiara Anindhita.
.
Ketika cinta jatuh di waktu yang tidak tepat, lantas apa yang mesti kita perbuat?
Terkadang, sesuatu yang belum sempat kita genggam, justru menjadi yang paling sulit untuk dilepaskan.
Follow IG @itayulfiana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SETIA — BAB 16
POV Tiara
Setelah selesai dengan Anika, aku pindah duduk di samping Mas Arkan, yang terbaring kritis di ranjang ICU bersebelahan dengan kekasihnya. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara.
"Mas, aku minta maaf jika selama ini aku ada salah," kataku dengan suara lembut. Aku menatap Mas Arkan, berharap dia bisa mendengar suaraku.
Aku mengambil jeda sejenak, mengumpulkan kata-kata yang tepat.
"Aku salut dengan kesetiaanmu kepada Anika, Mas. Tapi aku juga merasa sedih dengan sikapmu yang membuatmu terjebak dalam situasi ini. Seharusnya, kamu turuti saja kemauan Anika, toh selama 9 tahun kita bersama, kita berdua juga tidak pernah saling mencintai. Kebahagiaanmu ada padanya, bukan padaku. Jadi seharusnya kamu lepaskan saja aku agar kalian bisa hidup bahagia bersama, tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Mengenai orang tua kita, aku rasa mereka bisa mengerti jika kita berdua coba bicara baik-baik dan memberi mereka pemahaman."
Aku menekan tangan Mas Arkan dengan lembut, berharap dia bisa merasakan kehadiranku dan mendengar semua apa yang aku katakan.
"Mas, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sudah merelakan kamu untuk Anika," kataku, air mataku menetes. "Aku harap kalian berdua bisa segera bangun, karena kehidupan bahagia tanpa penghalang yang kalian damba-dambakan selama ini sudah menanti."
Aku menatap Mas Arkan lekat. "Kamu harus kuat, Mas. Anika membutuhkan kamu. Di dunia ini, dia tidak punya siapa-siapa selain kamu. Soal Ardhan, kamu tidak perlu khawatir, akan kupastikan dia tidak akan pernah kekurangan kasih sayang sedikit pun. Lagi pula, meski pun nanti kita bercerai, aku juga tidak akan pernah melarangmu untuk bertemu dengan anak kita. Aku, kamu, Anika, kita semua bisa menjalin hubungan baik setelah ini," kataku, suaraku penuh harap.
Tiba-tiba, monitor jantung Mas Arkan mulai berbunyi, menandakan bahwa kondisinya semakin kritis. Aku melihat detak jantung Mas Arkan perlahan menjadi lemah dan mulai lurus pada monitor. Seketika aku menjadi panik, aku merasa jantungku ikut berhenti berdetak bersamanya.
"Ma-Mas? Mas Arkan, jangan pergi! Anika membutuhkan kamu!" kataku, suaraku bergetar. "Ardhan juga masih sangat membutuhkanmu, tolong jangan pergi secepat ini, Mas."
Dokter dan perawat segera datang untuk memeriksa kondisinya. Mereka mulai melakukan CPR dan memberikan obat-obatan untuk menstabilkan kondisinya.
Aku terus menatap Mas Arkan, berharap dia bisa sembuh seperti sedia kala. Tubuhku rasanya membeku di tempat, air mataku keluar semakin deras menyaksikan para petugas medis berjuang menyelamatkan nyawanya.
"Ya Tuhan... selamatkan nyawa Mas Arkan. Selamatkan dia Ya Tuhan..." lirihku penuh harap.
Tak lama kemudian, monitor jantung Mas Arkan mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Aku akhirnya bisa menarik napas lega.
"Syukurlah, kondisinya mulai stabil," kata dokter, suaranya begitu menenangkan di telingaku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kak, ayo keluar sarapan."
Aku menggelengkan kepala. Posisiku baru bangun tidur di kursi tunggu ruang ICU. "Nanti aja, Rey, aku belum lapar."
Reyhan mendengus, kemudian duduk di sampingku. "Kak Tia kehilangan selera makan kenapa sih? Apa jangan-jangan yang kemarin itu hanya cerita penenang biar aku gak khawatir. Buktinya, semenjak kedua orang itu dirawat di sini, Kakak jadi malas makan. Kalau cuma makan sesuap dua suap terus minum air putih, mana bisa ada tenaga?"
Aku tersenyum sembari menepuk punggung adikku. "Gak gitu, Rey. Aku hanya sedang khawatir tentang kondisi mereka. Meski aku gak cinta sama Mas Arkan, tapi aku tetap merasa bersalah padanya dan Anika."
Reyhan memandangiku dengan mata tajam. "Ngapain sih merasa bersalah sama orang kayak gitu? Mereka kecelakaan itu bukan salah Kak Tia, bisa jadi itu balasan dari Tuhan atas perzin4han yang sudah mereka lakukan bertahun-tahun. Lagian, kalau mereka emang orang bener, pacaran dari TK terus putus menjelang kalian menikah juga gak bakalan selingkuh. Emang watak mereka aja yang lebih rendah dari bi****g, sang**n, gampang tergoda bisikan syaiton yang keparat."
"Hus, gak boleh ngomong gitu," tegurku. ucapan Reyhan benar-benar tidak sedap di telinga. "Bagaimana pun mereka, kita gak berhak menghakimi. Toh dosa ditanggung sendiri-sendiri nanti di akhirat."
Reyhan tak lagi mengatakan apa pun, tapi melihat ekspresinya, sepertinya dia sedang menggerutu dalam hati. "Ya udah, kalau gitu kita keluar cari makan sekarang." Aku bangkit dari posisiku dan menarik lengan Reyhan. "Mau sarapan di mana memangnya?"
"Belum tahu. Nanti kita cari yang enak," jawabnya.
Kami berjalan bergandengan menyusuri lorong rumah sakit menuju parkiran, sembari mengobrol hal-hal random yang tidak penting, guna mengalihkan pikrian sejenak dari 2 orang yang sedang dirawat di Ruang ICU sana. Dan tiba-tiba, suara seseorang yang memanggilku membuat kami berdua refleks menoleh ke arah sumber suara.
"Tiara!"