Delia Aurelie Gionardo hanya ingin mengakhiri pernikahan kontraknya dengan Devano Alessandro Henderson. Setelah satu tahun penuh sandiwara, ia datang membawa surat cerai untuk memutus semua ikatan.
Namun malam yang seharusnya menjadi perpisahan berubah jadi titik balik. Devano yang biasanya dingin mendadak kehilangan kendali, membuat Delia terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Sejak malam itu, hidup Delia tak lagi sama—benih kebencian, dendam, dan rasa bersalah mulai tumbuh, mengikatnya kembali pada pria yang seharusnya menjadi "mantan" suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadia_Ava02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBMS - Bab 22 Pulanglah
Entah sudah berapa hari yang mereka lewati, dan berapa malam yang harus Devano lalui untuk selalu kembali menyesali perbuatannya.
Disampingnya Liam menatap jalanan yang mulai berdebu di luar jendela mobil, suaranya serak ketika melapor.
"Hari ini sudah kota keempat yang kita datangi, Tuan… Tadi pagi Nyonya Risa bilang keadaan Kakek Arthur semakin memburuk."
Devano tidak menjawab. Tatapannya kosong menembus kaca mobil. Sudah empat bulan pencarian tak henti-henti. Semua jaringan pelacak, orang-orang yang ia bayar. Namun tak satu pun membuahkan hasil. Tidak ada satu titik pun yang menunjukkan di mana Delia berada.
Tubuh Devano semakin kurus, rahang yang dulu tegas kini tampak menonjol, kantung matanya menghitam. Kemeja yang dikenakan kusut, rambutnya acak-acakan. Ia sudah tak memikirkan penampilan, hanya satu hal yang terus memenuhi kepalanya, Delia dan anak mereka.
Entah sampai kapan pencarian ini berakhir. Tapi Dev yakin, ini adalah hukuman yang pantas ia terima karena pernah menyia-nyiakan seseorang yang paling berharga dalam hidupnya. Dalam hati ia berjanji, sekali saja ia menemukan Delia lagi, ia tak akan pernah melepaskannya.
"Ini kota terakhir Liam... mungkin setelah ini kita akan pulang. Aku akan mencari petunjuk lebih banyak, sebelum kita kembali mencari Delia," ujar Dev.
Liam di belakang kemudi melirik lewat kaca spion sambil mengangguk. "Baik Tuan,"
Liam adalah saksi dimana begitu hancur dan tak berdayanya Dev saat ini. Tapi nyatanya usaha dan penyesalan pun belum mampu membuat mereka berdua kembali dipertemukan.
Liam hanya berharap, jika dikota yang baru ini mereka akan menemukan kebenaran Delia. Ia tak bisa lagi melihat Dev lebih hancur dari ini. Bahkan pria itu sampai bersujud dan menangis diatas pusara kedua orangtua Delia. Ia tak bisa lagi melihat keluarga Henderson lebih kacau dari sekarang.
"Kita akan berusaha lebih keras lagi untuk mencarinya, Tuan," ucap Liam yakin.
Devano hanya mengangguk pelan, matanya tetap kosong. Mobil itu kembali melaju meninggalkan kota kecil yang terasa asing, menempuh jalan panjang entah ke mana lagi.
***
Sementara itu, di sebuah rumah sakit besar di pusat kota, keadaan Kakek Arthur semakin memburuk. Ruang ICU itu sunyi kecuali bunyi "bip-bip-bip" teratur dari monitor jantung. Selang dan kabel alat medis menempel di tubuh tua itu. Mama Raisa dan Papa Bryan duduk di sisi ranjang, wajah mereka letih.
Sejak Devano pergi mencari Delia, Papa Bryan-lah yang menggantikan posisinya memimpin perusahaan. Ia berusaha sekuat tenaga menjaga agar semua tetap berjalan meski hatinya sendiri dirundung resah.
"Semoga mereka cepat pulang…" gumamnya lirih sambil menatap wajah sang ayah.
Kakek Arthur terus saja menyebut nama Delia dalam tidurnya yang setengah sadar. "Delia… Delia…" bisiknya lemah. Ia sangat ingin bertemu cucu kesayangannya itu, seakan nyawanya bergantung pada pertemuan itu. Mama Raisa menggenggam tangan ayahnya, air mata menitik.
Akhirnya Mama Raisa tak sanggup hanya duduk diam. Ia berdiri, mengusap matanya, lalu memutuskan sesuatu. "Aku tidak bisa begini terus. Kalau semua jaringan tidak bisa menemukan keberadaan Delia, aku sendiri yang akan mencari."
Langkahnya tegas menyusuri koridor rumah sakit menuju ruang dokter Alvan. Dokter muda itu baru saja selesai memeriksa pasien ketika Mama Raisa datang. Wajahnya terkejut melihat wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu.
"Dokter Alvan," suara Mama Raisa bergetar, "saya ingin bicara empat mata."
"Silahkan masuk, nyonya," Alvan mempersilakannya masuk.
Aroma antiseptik bercampur kopi hangat memenuhi ruang kecil itu. Mama Raisa duduk, menatapnya dengan sorot mata penuh harap. "Dokter Alvan… Saya mohon, beritahu saya di mana Delia sekarang?" tanyanya langsung. "Saya yakin Anda tahu sesuatu tentang keberadaannya."
Alvan menarik napas panjang. Ini bukan pertama kalinya pertanyaan itu diajukan.
"Saya sungguh tidak tahu apa-apa, Bu…" jawab Alvan.
Mama Raisa menggenggam kedua tangannya sendiri, mencoba menahan gemetar. "Kamu seorang dokter, menolong nyawa pasien adalah sebuah tanggung jawabmu. Demi keadaan ayah saya… demi Kakek Arthur… dan demi nasib Delia diluar sana, tolong, jujurlah. Beritahu saya di mana Delia sekarang. Saya mohon…" suaranya pecah di akhir kalimat.
Alvan terdiam. Kata-kata itu menusuk hatinya. Ia teringat kembali sumpah yang diucapkan saat pertama kali menjadi dokter, melindungi kehidupan, menolong sebisa mungkin. ..
Wanita itu juga menceritakan tentang Devano yang terus mencari Delia, penyesalan yang tak pernah berhenti. Semuanya ia dengar dari Mama Raisa kini, langsung, dengan tangisan seorang ibu.
"Hanya kami, keluarga yang Delia miliki saat ini nak Alvan. Jika bukan kamu yang merawatnya, lalu siapa lagi.. diluar sangatlah berbahaya bagi seorang wanita hamil seperti Delia" ujar mam Raisa sendu.
"Bu…" Alvan mengusap wajahnya, berusaha menyusun kata-kata. "Sebelum Delia pergi, memang dia sempat menemui saya. Dia datang kerumah saya hanya untuk pamit. Tapi sungguh… dia tidak memberitahu saya kemana dia akan pergi. Tidak satu kota pun disebutkan. Semua dia rahasiakan."
Mama Raisa menutup mulutnya, menahan isak. "Tapi dia sehat, kan?" tanyanya nyaris berbisik.
Alvan mengangguk pelan. "Ya. Saat terakhir bertemu dia sehat. Itu saja yang bisa saya pastikan."
Keheningan merayap di antara mereka. Detik jam dinding terdengar begitu jelas. Alvan merasakan pergulatan dalam dirinya. Demi tangis seorang ibu. Demi nyawa yang tengah berjuang… batinnya berkata.
Akhirnya, ia meraih ponsel di meja. "Saya akan mencoba menghubungi nomornya lagi," ucapnya lirih. "Mungkin kali ini dia akan menjawab."
Mama Raisa menatapnya penuh harap, kedua tangannya terkatup erat di pangkuan. Di luar jendela, hujan tipis mulai turun, menandai hari baru, hari yang mungkin akan membawa kabar, atau justru semakin memperpanjang penantian.
***
Di jalan raya diperbatasan kota tujuan berikutnya, Devano duduk terdiam di dalam mobil, ponselnya di genggaman. Nomor yang sama terus ia tekan setiap hari, dan setiap kali hanya suara operator yang menyahut. Matanya yang merah menatap layar tanpa fokus. Dalam hati ia berkata pada diri sendiri, "Delia… kumohon. Pulanglah. Aku minta maaf, dan aku berjanji tidak akan pernah melepaskanmu lagi."
Liam melirik tuannya. "Yakinlah Tuan, jika semua orang memiliki kesempatan," ucapnya perlahan, mencoba memberi semangat. "Mungkin hari ini ada keajaiban."
Mobil itu terus melaju menembus hujan tipis, membawa mereka ke tujuan berikutnya yang belum pasti.
Dev jangan jadi di paksa Delia nya
di bujuk secara halus dunk🤭
kasih maaf aja Del tapi jangan cepat² balikan lagi ma Dev
hukumnya masih kurang 🤣
Akui aja toh kalian kan sudah bercerai
biar Dev berjuang samapi titik darah penghabisan 🤭
semangat ya Dev awal perjuangan baru di mulai
kak sekali² cazy up dunk kak🤭🤭
Biar bisa lihat cicit nya
semua butuh waktu dan perjuangan 🤭🤭
Siksa terus Dev dengan penyesalan 🤗🤗🤗
Makan to rencana mu yg berantakan 😏😏
Ayo Dev Nikmati penyesalan mu yg tak seberapa 😄😄
jangan pakai acara nangis Bombay ya Dev 🤣🤣🤣
biar nyesel to Dev
bila perlu ortu Dev tau kalau mereka sudah cerai dan bantu Delia buat sembunyi
soalnya mereka pasti senang kalau tau bakalan punya cicit sama cucu🤭🤭
tunggu karma buatmu ya Dev 😏😏