Dikhianati oleh murid yang paling ia percayai, Asura, sang Dewa Perang, kehilangan segalanya. Tubuhnya musnah, kekuatannya hilang, dan namanya dihapus dari dunia para Dewa. Namun, amarah dan dendamnya terlalu kuat untuk mati.
Ribuan tahun kemudian, ia terlahir kembali di dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk mistis bukan lagi sebagai Dewa yang ditakuti, melainkan seorang bocah miskin bernama Wang Lin.
Dalam tubuh lemah dan tanpa kekuatan, Wang Lin harus belajar hidup sebagai manusia biasa. Tapi jauh di dalam dirinya, api merah Dewa Asura masih menyala menunggu saatnya untuk bangkit.
“Kau boleh menghancurkan tubuhku, tapi tidak kehendakku.”
“Aku akan membalas semuanya, bahkan jika harus menantang langit sekali lagi.”
Antara dendam dan kehidupan barunya, Wang Lin perlahan menemukan arti kekuatan sejati dan mungkin... sedikit kehangatan yang dulu tak pernah ia miliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumun arch, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Yang Belum Padam
Malam itu, Wang Lin berbaring di atas ranjang jerami yang kasar. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi yang paling menyakitkan bukanlah luka fisik melainkan kenyataan bahwa dunia ini sama kejamnya seperti yang dulu ia tinggalkan.Ia menatap langit-langit, napasnya pelan, dan seulas senyum pahit muncul di wajahnya.
“Ternyata... bahkan setelah ribuan tahun, dunia tak banyak berubah,” gumamnya pelan.
Darah Dewa Asura yang mengalir dalam dirinya masih terasa bergetar, seperti bara api yang tak mau padam. Ia menutup mata, mencoba untuk tidur, tapi dalam kegelapan itu, suara-suara samar mulai terdengar.
Suara jeritan.
Suara pedang beradu.
Suara pengkhianatan.
Bayangan masa lalunya datang lagi saat pengikut yang paling ia percaya menancapkan tombak ke dadanya.
“Guru... maafkan aku, tapi dunia hanya punya tempat untuk satu Dewa!”
Suara itu menghantam jantung Wang Lin seperti belati. Ia terbangun mendadak, napasnya terengah, keringat dingin membasahi wajahnya. Tangannya mengepal erat, dan di matanya kilatan merah samar muncul.
“Aku akan menemukanmu… di dunia ini atau dunia mana pun,” ucapnya lirih.
Namun saat itu juga, ia mendengar langkah kaki dari luar. Pintu bambu sederhana terbuka pelan. Seorang gadis muda dengan rambut panjang hitam masuk sambil membawa mangkuk kayu.
“Kau belum tidur?” tanyanya lembut.
“Tubuhmu belum sepenuhnya sembuh, Wang Lin.”
Gadis itu bernama Mei, anak dari tabib desa yang menolongnya waktu ia ditemukan pingsan di tepi hutan.
Wang Lin menatapnya sekilas, lalu tersenyum samar.
“Terima kasih… sudah repot-repot.”
Mei menatapnya dengan mata cemas.
“Tadi siang... aku dengar mereka memukulmu lagi. Kenapa tidak melawan saja?”
Wang Lin terdiam.
Kalimat sederhana itu menusuk jauh ke dalam pikirannya. Kalau ia mau, ia bisa menghancurkan seluruh desa ini hanya dengan satu jentikan jari. Tapi... itu bukan dia yang sekarang. Ia bukan lagi Dewa Asura.
“Tidak semua pertempuran perlu diselesaikan dengan darah,” jawabnya akhirnya.
Mei menunduk, mengerti sebagian tapi tidak semuanya. Ia hanya mengangguk pelan, lalu beranjak pergi.
Setelah pintu tertutup, Wang Lin menatap tangannya sendiri. Api merah samar masih berputar di ujung jarinya, seperti menunggu perintah. Tapi saat ia mencoba mengendalikannya, api itu lenyap begitu saja.
“Masih terlalu lemah...” bisiknya.
Ia tahu, kekuatannya belum pulih bahkan satu persen dari masa lalunya. Tapi firasatnya berkata, dunia tempatnya terlahir kembali ini menyimpan sesuatu yang besar, sesuatu yang bisa membangkitkan kembali kekuatan Dewa Asura yang tertidur.
Dan malam itu, di balik sunyi desa kecil itu…
Langit di kejauhan memunculkan kilatan merah darah.
Sebuah tanda… bahwa kekuatan kuno mulai terbangun kembali.
Langit malam berubah aneh. Awan hitam berputar perlahan di atas pegunungan jauh di utara, seolah menyembunyikan sesuatu di balik kegelapan. Wang Lin menatapnya dari jendela kamarnya yang reyot, matanya menyipit tajam.
“Itu… bukan cahaya biasa.”
Ada getaran samar yang menjalar melalui udara, sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh makhluk yang pernah menjadi Dewa. Jantung Wang Lin berdetak lebih cepat. Kekuatan itu… terasa familiar.
Kekuatan dari dunia lamanya.
Ia menutup matanya, mencoba merasakan lebih dalam. Dan seketika, kilasan ingatan menyerbu pikirannya tentang medan perang, darah, dan sinar merah Asura yang pernah mengguncang langit.
Namun kali ini, getaran itu datang dari arah lain, seolah ada seseorang atau sesuatu yang sedang membangkitkan kekuatan serupa.
“Apakah… ada yang mencoba menghidupkan kekuatan Asura selain aku?” gumamnya lirih.
Belum sempat ia merenung lebih jauh, suara langkah tergesa datang dari luar. Pintu kamar terbuka, dan Mei muncul dengan wajah panik.
“Wang Lin! Kau juga melihatnya, kan? Langit… langitnya menyala merah!”
Wang Lin menoleh perlahan. “Tenang. Itu mungkin hanya badai petir yang aneh.”
“Tidak!” Mei menggeleng cepat.
“Ayahku bilang, cahaya itu pertanda buruk. Dulu, ketika Gunung Kuno meletus, langitnya juga memerah seperti itu. Beberapa orang hilang tanpa jejak.”
Wang Lin terdiam. Ia tahu itu bukan kebetulan.
“Kalau begitu, mungkin sudah saatnya aku melihatnya sendiri,” ucapnya pelan, lalu berdiri.
Mei menatapnya khawatir. “Kau mau ke luar malam-malam begini? Kau belum sembuh.”
“Aku sudah cukup sembuh untuk berjalan,” jawab Wang Lin tenang. “Jangan khawatir, aku akan kembali sebelum fajar.”
Sebelum Mei sempat menahan, Wang Lin sudah melangkah keluar, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Suara serangga malam bergema pelan di antara pepohonan, tapi di udara ada sesuatu yang lain, bau logam, samar-samar seperti bau darah.
Ia melangkah menuju hutan di utara, mengikuti cahaya merah di langit. Setiap langkahnya terasa aneh seolah bumi bergetar menyambutnya.
“Semakin dekat…,” bisiknya.
Tak lama, ia tiba di tepi lembah tua. Di sana, di tengah kabut merah, ia melihat batu besar dengan ukiran kuno yang memancarkan sinar samar. Simbol yang terukir di sana ia mengenalnya.
“Simbol Dewa Asura…” napas Wang Lin tercekat. “Tidak mungkin…”
Sebelum ia bisa mendekat, suara berat terdengar dari balik kabut.
“Akhirnya… pewaris darah merah itu datang juga.”
Suara itu dalam dan bergema, seolah keluar dari ribuan mulut sekaligus. Wang Lin menegakkan tubuhnya, matanya berkilat merah.
“Siapa kau?” tanyanya tegas.
Dari balik kabut, muncul sosok berjubah hitam dengan mata merah menyala. Udara di sekitarnya bergetar menakutkan.
“Kami… penjaga warisan Dewa Asura. Dan kau, bocah, seharusnya sudah lama tidur. Dunia ini belum siap menyambut kebangkitanmu.”
Wang Lin tersenyum tipis.
“Kalau dunia belum siap, maka biarlah dunia belajar beradaptasi denganku.”
Udara seketika membeku. Batu-batu di sekitar mereka bergetar halus, dan di mata Wang Lin, api merah Asura kembali menyala kecil, tapi cukup untuk membuat tanah retak di bawah kakinya.
Untuk pertama kalinya sejak reinkarnasinya, Wang Lin merasakan darah lamanya berdenyut dengan kekuatan lama yang menakutkan.
Tanah di bawah kaki Wang Lin bergetar hebat. Api merah yang muncul dari tubuhnya berputar cepat seperti pusaran angin, membuat kabut di sekitarnya terhempas menjauh. Penjaga berjubah hitam itu terdiam sejenak, seolah menimbang sesuatu.
“Kau… benar-benar memiliki darah itu,” ujarnya lirih, suaranya bercampur antara kagum dan takut.
“Namun tubuhmu masih rapuh. Jika kau memaksanya, kau akan hancur sebelum waktumu.”
Wang Lin tersenyum samar. “Kau pikir aku takut hancur?”
Langkahnya maju perlahan. Setiap jejak kakinya meninggalkan bekas hangus di tanah.
“Dahulu… aku pernah dihancurkan seluruh alam semesta. Tapi aku tetap kembali.”
Kabut di sekitar mereka mendadak memadat. Penjaga itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan dari tanah muncul belasan bayangan hitam berbentuk manusia, dengan mata merah menyala. Mereka semua bergerak cepat, mengelilingi Wang Lin.
“Kau belum layak menyentuh warisan Asura,” kata penjaga itu. “Tunjukkan apakah darahmu benar-benar pantas!”
Bayangan-bayangan itu menyerbu serentak.
Wang Lin memejamkan mata sesaat. Ia merasakan denyut panas dari dalam dadanya, seperti lahar yang meledak. Saat membuka matanya lagi, kedua bola matanya berkilat merah terang.
“Asura Flame,bangkitlah.”
Ledakan energi merah menyambar udara. Dalam sekejap, bayangan pertama terbakar menjadi abu.
Namun setiap kali Wang Lin melepaskan kekuatannya, tubuh manusianya ikut bergetar hebat. Rasa sakit menjalar, darah menetes dari hidungnya.
“Tubuh ini… belum siap untuk menampungnya…” pikirnya sambil menahan napas berat.
Tapi ia tidak berhenti.
Rasa sakit itu justru membuatnya semakin sadar bahwa ia masih hidup, meskipun dunia telah menghancurkannya. Satu demi satu bayangan itu tumbang. Tapi ketika Wang Lin menatap penjaga utama, tubuhnya mulai melemah. Api merah di sekelilingnya memudar.
“Kau… terlalu memaksakan diri,” suara penjaga bergema lagi.
“Kekuatan sejati Dewa Asura bukan sekadar amarah. Ia adalah kehendak untuk bertahan… bahkan di antara kegelapan yang menelan segalanya.”
Tepat setelah kata-kata itu terdengar, penjaga itu mengangkat tangan dan menekan udara. Seketika, cahaya merah di tubuh Wang Lin padam, dan pandangannya menjadi gelap.
Ketika Wang Lin membuka mata, ia sudah berada di tempat yang berbeda. Langit berwarna kelabu, dan tanah di bawahnya seperti lautan darah beku.
Di kejauhan, berdiri sosok raksasa berapi, dengan enam tangan dan mata menyala merah menyilaukan.
“Kau akhirnya kembali, Dewa Asura,” suara itu berat dan bergema, mengguncang udara.
“Tapi untuk menjadi dirimu yang sejati… kau harus melewati ujian api ini.”
Wang Lin menatap sosok itu tanpa gentar, meskipun tubuhnya goyah.
“Ujian, ya?” gumamnya.
“Kalau ini jalan untuk menuntaskan dendamku… maka bakar saja aku sampai hangus.”
Api merah di sekeliling sosok raksasa itu menyala semakin besar, menelan seluruh pandangan Wang Lin.
Namun di tengah kobaran itu, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya,antara penderitaan dan tekad.
“Aku… Dewa Asura. Dan api ini… takkan pernah padam.”