NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 Bangunlah, Ayah ...!

“Ah … sialan …!” Teriakan Laura memenuhi seluruh ruangan. Bahkan seorang wanita yang saat ini ada di dapur pun bisa mendengarnya dengan jelas.

Kedua tangannya sedang memegang cangkir teh di tangannya. Mendengar teriakan Laura, keningnya mengerut dan bergegas keluar.

“Kenapa lagi?” tanyanya santai sambil duduk di atas sofa, menyilangkan kakinya.

“Kenapa lagi kau bilang? Enteng sekali kau bertanya seperti itu, sedangkan di sini aku yang mempertaruhkan diriku. Kau hanya menunggu di sini, menyeduh teh, dan duduk dengan cantik seolah kau tidak mau tahu apa yang sudah aku alami.”

Wanita itu menyibakkan rambut panjangnya, menyeringai licik. “Tanpa aku, apakah kau pikir bisa melangkah sejauh ini? Kau lupa siapa yang mendukung dan memberimu semua dana untuk melakukan apa yang kau ingkan? Sekarang, masih berani bicara seperti itu padaku? Kupikir kau sudah tidak ingin membalas dendam lagi dan merelakan jantung keponakanmu.”

“Baiklah, baiklah. Ya, kau yang berkuasa. Sebenarnya tujuanku tidak sepenuhnya gagal.” Laura mendengus, melipat tangan di dada.

“Jadi, anak itu sudah mati, atau masih hidup?”

“Dia sudah mati sebelum aku tiba. Sayang sekali, padahal aku ingin merobek dadanya dan mengambil jantungnya dengan tanganku sendiri. Tapi ternyata dia sudah mati! Saat aku tiba, mereka sudah melepas semua alat di tubuhnya dan menutupi dia dengan kain putih. Sialnya lagi, mereka tahu aku penyusup dan aku sempat kelabakan karena mereka. Tapi … ya, kau menyelamatkanku dengan orang-orang yang kau kirim itu.”

“Dan kau tahu?” Laura melanjutkan lagi, duduk di sisi wanita itu dengan wajah puas. “Saat aku kabur, itu tepat ketika Eve juga datang ke sana.”

“Kau membunuhnya?” Wanita itu menoleh, matanya berkilat dengan penasaran.

“Untuk apa aku membunuhnya? Jika aku membunuhnya, lalu apa gunanya kematian anaknya itu. Aku ingin melihat mereka meratapi kematian anaknya dan merasakan bagaimana kehilangan orang yang mereka sayangi.”

“Bagus. Aku tidak berharap kau akan mengacaukan rencanaku.” Wanita itu tersenyum miring, tampak seperti iblis yang sedang merasuki jiwanya.

“Tapi … aku berhasil membunuh calon anaknya. Dia keguguran!” Laura tertawa keras dan puas.

Shania yang sejak tadi mendengar, entah dia mengerti atau tidak dengan pembicaraan mereka juga ikut tertawa. Dia sedang dalam kondisi mental yang buruk. Akibat dari apa yang terjadi di kapal pesiar waktu itu membuat dia depresi berat. Hingga sekarang.

Tapi melihat Laura tertawa, dia juga ikut tertawa seolah mengerti dan ikut merasa puas.

“Apa yang kau tertawakan?” Laura membentaknya, melempar bantalan sofa tepat ke wajah Shania.

Shania langsung menunduk dengan wajah muram dan sedih.

“Wanita gila sepertinya masih mau kau pelihara? Memang apa yang bisa dia lakukan untukmu?” Wanita di sisi Laura memandang Shania dengan jijik. Dia tidak pernah mendengar mengenai Shania ini, juga tidak tahu kenapa Laura sampai memboyongnya kemari.

“Dia memang gila, tapi aku pernah berhutang budi padanya. Saat Alex membunuh Kakakku di pelabuhan dulu, aku bersembunyi dan dia datang membawaku pergi. Dia juga memberiku tempat tinggal dan memberiku makan. Ya, meskipun pada akhirnya dia juga menggunakanku, tapi tujuan kita sama. Jika tidak, aku juga tidak sudi membawanya sampai ke sini. Memelihara orang gila hanya menyusahkan.”

Wanita di sisi Laura itu mengangkat sudut bibirnya, mengulas senyum tipis. “Kau tahu balas budi juga.”

“Kau pikir aku apa? Aku juga tahu mana orang yang pernah berbuat baik padaku.”

“Bagaimana dengan Alex? Bukankah dia sudah terlalu banyak berbuat baik padamu?”

“Jangan pernah mengatakan hal itu padaku! Aku hanya memiliki kebencian yang tak akan pernah membuatku puas sampai dia kehilangan semua miliknya.” Laura menunjuk wanita itu, lalu bangkit dan kembali tertawa seperti orang gila masuk ke kamarnya.

“Aku puas sekai hari ini …!” teriak Laura dari sana.

Wanita di sisi Laura tadi hanya tersenyum miring, lalu ikut berdiri dan masuk ke kamarnya meninggalkan Shania begitu saja.

…..

Satu minggu berlalu sejak kejadian itu. Namun Alex masih terbaring dengan mata tertutup, seolah terperangkap dalam tidur yang tidak memberi tanda. Tak seorang pun tahu kapan ia akan bangun — atau apakah ia akan pernah bangun kembali.

Eve yang baru pulih masih bergulat dengan duka yang tak berujung. Kepergian Damien meninggalkan lubang besar di dadanya; kepergian calon bayinya menambah parit lain di luka itu; dan kini suaminya pun terbaring tak sadarkan diri.

Tubuh Eve tidak kunjung pulih sepenuhnya. Beberapa kali ia jatuh pingsan karena kekurangan darah; asam lambungnya kambuh; perutnya sering bermasalah. Nic sudah menyarankan agar ia dirawat, namun Eve menolak — ia bersikukuh menunggu Alex membuka matanya.

Hari ini badannya terlalu lelah. Ia tertidur di tempat tidur samping brankar Alex, lutut ditekuk dan tangan menjadi bantal, napasnya pelan seperti orang yang kehabisan tenaga namun tidak rela melepaskan harapan.

Daisy pulang dari sekolah dengan langkah yang lebih ringan hari ini. Bersama Edgar, ia menyelinap ke sisi Ayahnya, berjalan pelan agar tidak membangunkan Ibunya yang tertidur.

Setelah berhari-hari menolak sekolah karena takut ucapan teman-temannya, hari ini ia pulang dengan sesuatu yang menyerupai keberanian.

Ia duduk di tepi brankar, menatap wajah Alex yang dingin. Suaranya kecil tapi penuh harap ketika ia mulai berbicara.

“Ayah, bagaimana kabarmu hari ini? Kau tahu, aku baru pulang sekolah. Sekarang aku tidak takut lagi ke sekolah. Aku bilang ke teman-temanku kalau kau tidak jahat. Kau ayah terbaik di dunia. Kalau ada yang mengatakan hal buruk soal Ayah, aku akan memukul mereka sampai mereka menangis.”

Sunyi menjawabnya. Alex tak bergerak. Kata-kata Daisy menggantung di udara, memantul di dinding kamar perawatan yang sepi.

Daisy menunduk, air matanya jatuh tanpa bisa dihentikan. Ia meraih tangan Ayahnya dan menggenggamnya erat, seolah cengkeraman itu bisa membangunkannya.

“Ayah, kenapa kau tidak mau bangun? Kau masih marah padaku? Aku minta maaf. Aku janji tidak akan lari ke jalan lagi kalau marah. Aku minta maaf karena mengatakan hal-hal kasar. Aku tidak benci Ayah. Tolong jangan marah lagi. Bangunlah, Ayah …!”

Isak tangis pecah. Daisy menangis tersedu-sedu, semua penyesalan dan rasa bersalahnya tumpah dalam suara kecil itu.

Dari tempat tidurnya, Eve mendengar setiap kata tadi. Hati yang sudah rapuh itu runtuh berkeping-keping mendengar permohonan anaknya.

Ia bangkit perlahan, langkahnya goyah, lalu mendekat. Tanpa berkata banyak, Eve memeluk Daisy, menahan tubuh kecil itu di dadanya.

“Ayah tidak marah padamu, Daisy. Jangan menangis ….” Eve mengusap kepala Daisy, menyeka air mata di pipi anak itu dengan lembut.

“Kalau Ayah tidak marah, kenapa dia tidak mau bangun, Bu?” Daisy menengadah, wajahnya basah oleh air mata, terdengar sedih sekali. “Tolong, katakan pada Ayah untuk segera membuka matanya. Aku merindukannya ….”

“Aku juga merindukannya, Sayang. Sabar ya … Ayahmu masih butuh waktu untuk pulih.” Eve mengusap punggung Daisy perlahan dan mencium pelipisnya.

Saat matanya berpindah ke wajah Alex, sesuatu yang kecil namun berarti terjadi — kelopak matanya berkedip, jemari yang selama ini kaku bergeming sedikit.

“Alex?” Eve melepas pelukan, suaranya tercekat sekaligus berharap. Ia merunduk, memperiksa suaminya lebih dekat. “Alex, kau dengar aku?”

Daisy mendongak dengan napas tertahan. “Ayah, kau sudah bangun?” Mata Alex membuka perlahan, menyesuaikan diri pada cahaya. Wajah Eve dan Daisy muncul, buram lalu semakin jelas. Bola matanya menatap mereka bergantian, lambat namun penuh fokus.

“Ayah … aku merindukanmu. Aku sangat merindukanmu, Ayah!” Daisy melepas diri dari Eve dan merunduk, memeluk Ayahnya. Kepalanya menempel di lengan Alex. “Ayah, aku minta maaf! Aku janji tidak akan mengatakan hal buruk lagi. Aku tidak membencimu! Tolong jangan tidur lagi—aku tidak mau kehilanganmu.”

Alex masih belum membuka mulut. Eve yang panik sekaligus lega, segera memanggil Nic.

Nic datang bersama seorang perawat, langkahnya cepat namun terkontrol. Setelah pemeriksaan singkat, Alex memanggil dengan suara berat, nyaris berbisik: “Nic … aku perlu bicara denganmu.”

Nic agak terkejut, tapi melihat tatapan Alex yang serius, ia menunduk dan berkata dengan hati-hati pada Eve, “Bisa keluar sebentar? Aku perlu memeriksanya lebih teliti.”

Eve mengangguk—mengerti. Ia membawa Daisy keluar, duduk menunggu di koridor dengan napas yang masih tercekat.

Begitu pintu tertutup, Nic menatap Alex. “Baiklah … sekarang kau bisa bilang. Kau terlihat bingung, Alex.”

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!