Ini bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang pengkhianatan tak berujung, tentang pengorbanan dan harapan yang gagal untuk dikabulkan.
Angelika Sinnata. Cantik, anggun, berparas sempurna. Sayangnya, tidak dengan hatinya. Kehidupan mewah yang ia miliki membuat dirinya lupa tentang siapa dirinya. Memiliki suami tampan, kaya dan penuh cinta nyatanya tak cukup untuk membuat Angelika puas. Hingga ia memilih mengkhianati suaminya sendiri dengan segala cara.
Angelina Lineeta. Cantik dan mempesona dengan kesempurnaan hati, sayangnya kehidupan yang ia miliki tidaklah sesempurna Angelika.
Pertemuan kembali antara keduanya yang ternyata adalah saudara kembar yang terpisah justru membuat Angelina terjebak dalam lingkaran pernikahan Angelika.
Apa yang Angelika rencanakan? Dan mengapa?
Lalu, apa yang akan terjadi dengan nasib pernikahan Angelika bersama suaminya? Akankah tetap bertahan?
Ikuti kisah mereka...!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Pagi yang Berbeda.
Angelina mengeliat pelan pada keesokan harinya, mengerjapkan mata sembari mengusap pelan wajahnya, lalu mengedarkan pandangan dan melihat mentari pagi masih belum terlihat dari tirai kamar yang ia tempati. Pandangan Angelina beralih ke sisi tempat tidur di mana Alan terbaring, masih terlelap dengan tangan yang melingkar erat di lengannya.
Senyum lembut segera terbentuk di bibir Angelina, tangannya terulur mengusap lembut wajah tampan dari bocah yang sudah menemani harinya sejak pertukarannya bersama Angelika. Wajah Leon versi bocah menurut penilaiannya. Dan entah mengapa, ia sudah menyayangi bocah itu layaknya putra sendiri.
Dengan gerakan sangat hati-hati, Angelina melepaskan tangannya dari Alan, memastikan bocah itu tidak terbangun dari tidurnya, lalu melangkah ke kamar mandi untuk membasuh wajah sebelum keluar kamar.
"Selamat pagi, Nyonya Muda."
Langkah Angelina terhenti tepat di tangga terakhir di lantai bawah saat seorang pelayan menyapa sembari membungkukan badan.
"Apakah Anda membutuhkan sesuatu, Nyonya?" tanyanya sopan.
Angelina menatap pelayan itu dalam diam selama beberapa saat sebelum memberikan jawaban,
"Bisakah kamu mengantarku ke dapur?" pintanya lembut.
Wajah pelayan itu terangkat cepat, menatap Angelina yang dia pikir adalah Angelika dengan tatapan heran. Ia tahu, jika majikannya mengalami amnesia yang mana ingatan majikannya itu hilang sebagian, dan sangat bisa dipahami jika majikannya itu tidak mengingat di mana letak dapur. Tetapi, yang menjadi pertanyaannya adalah; untuk apa majikannya pergi ke dapur? Dan sejak kapan majikannya bagun sepagi ini bahkan sebelum matahari terbit?
"Mari saya antar, Nyonya," si pelayan berkata sopan, tak lupa ia membungkukkan sedikit badanya saat akan memimpin jalan.
Angelina mengangguk, mengikuti langkah wanita yang ia perkirakan memiliki usia sama dengan dirinya. Setelan maid yang wanita itu kenakan, cara wanita itu berbicara serta bersikap, membuat Angelina sedikit mengerti pekerjaan sebagai pelayan di rumah keluarga kaya bukanlah hal mudah. Perlu penguasaan etika yang ia sendiri tidak memiliki banyak pemahaman tentang itu.
Suasana pagi di dapur yang sebelumnya tenang seketika berubah begitu Angelina tiba di dapur. Tiga orang yang sebelumnya tengah disibukkan dengan pekerjaan serempak menghentikan pekerjaan mereka, menatap sosok Angelina dengan tatapan heran yang sudah berulang kali Angelina terima.
"Apakah Anda membutuhkan sesuatu, Nyonya?"
Suara tanya bernada sopan itu menarik perhatian Angelina untuk menoleh, hanya untuk menemukan sosok penuh seorang pria paruh baya dengan penampilan berbeda melangkah mendekat.
"Saya kepala pelayan di rumah ini, Nyonya," ujarnya memperkenalkan diri saat Angelina menatapnya.
"Aku ingin membuat sesuatu untuk putraku, apakah aku boleh menggunakan dapurnya sebentar?" ucap Angelina.
'Klontang!'
Suara benda jatuh terdengar tepat setelah Angelina menyelesaikan kalimatnya.
"Apa yang baru saja Nyonya katakan? Putraku?"
"Membuat sesuatu?"
"Apakah telingaku sedang bermasalah pagi ini?"
"Sepagi ini datang ke dapur hanya untuk itu? Apakah keadaan Nyonya separah itu?"
Suara bisikan saling bersahutan kini menyusul, tetapi Angelina memilih mengabaikannya. Ia justru membawa langkahnya menuju meja counter dapur tanpa menunggu jawaban. Mengingat percakapannya bersama Alan tempo hari membuat Angelina tidak ingin diributkan dengan bagaimana ia harus bersikap di rumah yang baru saja ia datangi, dan memilih untuk bersikap layaknya seorang Angelika meski tidak sempurna.
"Aku selalu ingin sarapan pancake, tapi pelayan di rumah tidak pernah membuatnya," ucap Alan kala itu saat kembali datang berkunjung ke rumah sakit usai sekolah.
"Kenapa tidak meminta pelayan untuk membuatnya?" tanya Angelina heran. "Bukankah di rumah ada pelayan yang siap untuk membuatkan apapun yang kamu minta?"
"Karena... " sejenak Alan ragu untuk memberikan jawaban, kepalanya kembali tertunduk menyembunyikan rasa takut yang masih tersisa.
"Katakanlah. Mommy janji tidak akan marah lagi," ucap Angelina lembut.
"Karena Mommy marah saat aku meminta menu lain pada pelayan."
Jawaban itu akhirnya lolos dari bibir Alan, menghantam relung hati Angelina untuk kesekian halinya. Kedua tangannya kembali merengkuh tubuh kecil Alan ke pelukannya.
"Mommy minta maaf. Beri Mommy kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Setelah keluar dari rumah sakit, Mommy akan membuatkan pancake untukmu," janji Angelina.
"Sungguh?" kedua mata Alan mengerjap penuh harap.
"Janji," ucap Angelina.
Alan kembali tersenyum, bahkan lebih lebar dari sebelumnya. Rasa takut yang sebelumnya mengikat kuat di wajah bocah itu perlahan terkikis, menciptakan hubungan baru yang keduanya tidak sadari.
Gerakan cekatan Angelina dalam mengaduk adonan, memanggang, membalik dan menggunakan semua peralatan dapur membuat mereka yang melihanya kembali tercengang. Satu waktu pandangan mereka tertuju pada wajah Angelina seolah mencari jawaban, detik berikutnya tertuju ada bagaimana tangan Angelina bergerak begitu terampil hingga dalam waktu singkat hidangan pancake sederhana namun menggugah selera kini sudah terhidang di meja.
"Aku? Membuatkan makanan untuk bocah ini? Tidak sudi."
Kalimat yang dulu sering mereka dengar, kini berbanding terbalik dengan apa yang mereka lihat kala mereka menyaksikan sendiri bagaimana Angelina membawa hidangan pancake itu ke meja dibantu salah satu pelayan.
"Terima kasih," ucap Angelina.
Lagi, untuk kesekian kalinya keanehan dalam diri majikan mereka bertambah banyak seiring waktu. Sejauh yang mereka ingat, majikan mereka tidak pernah mengucapkan kata 'terima kasih ataupun maaf'. Tetapi pagi ini semua berbeda, bahkan mereka diminta langsung oleh Angelina untuk mencicipi apa yang sudah Angelina buat sementara Angelina kembali ke kamar untuk membangunkan putranya.
"Sayang..." Angelina memanggil lembut sembari mengusap kepala sang putra.
Alan mengeliat setelah beberapa kali panggilan, mengerjap singkat, lalu membuka kedua matanya dan mendapati senyum lembut sang ibu menyambutnya di pagi hari, pagi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Mommy sudah bangun?" tanya Alan dengan suara parau, satu tangannya mengucek mata, lalu menguap.
"Ayo bangun dan bersihkan dirimu, Mommy akan meminta pelayan untuk menyiapkan pakaian sekolahmu," ucap Angelina.
"Aku sudah bisa melakuannya sendiri, Mom," sahut Alan seraya turun dari tempat tidur dengan kantuk yang masih tersisa. "Pelayan sudah menyiapkan pakaianku sesuai jadwal sekolah setiap harinya, jadi aku tidak perlu bantuan untuk bersiap di pagi hari."
Angelina terdiam, tidak menyangka jika bocah berusia lima tahun di depannya memiliki pola pikir serta sikap yang lebih dewasa dari usia seharusnya.
"Angelika sangat beruntung," batin Angelina tersenyum.
Angelina bahkan kembali mendapat penolakan saat ia ingin membantu bocah itu di kamar mandi, menumbuhkan senyum kagum pada bocah itu. Hingga, ia memilih untuk kembali ke kamarnya sendiri, berniat untuk membersihkan diri, tetapi juga berharap jika pria yang menempati kamar itu belum terjaga dari tidurnya.
Sayangnya, hal itu hanyalah angan yang tidak terkabul saat Angelina berada di dalam, ia justru mendapatkan kejutan yang tidak terduga.
. . .
. . . .
To be continued...