NovelToon NovelToon
Once Mine

Once Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Percintaan Konglomerat / Obsesi / Romansa / Slice of Life / Dark Romance
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Just_Loa

Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.

Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.

Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.

Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.

"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"

Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

To Face Him

Pagi itu, wajah Sara masih tampak pucat. Tapi setidaknya, matanya tak lagi semerah kemarin.

Setidaknya, malam tadi ia bisa tidur.

Tidak nyenyak memang. Tapi cukup untuk tak bermimpi buruk.

Obat kecil dari dokter itu masih bekerja. Dan pagi ini… itu lebih dari cukup.

Rambutnya digerai sederhana, sedikit ikal di ujungnya, dan sweater tipis abu-abu membungkus tubuhnya yang kurus. Meski langkahnya masih pelan dan ragu, ada sesuatu yang berubah dari caranya membuka laptop. Lebih tenang. Seolah ia mulai menerima kenyataan bahwa hidupnya tak akan lagi sama, dan satu-satunya cara untuk selamat... adalah menata ulang semua dari tempat di mana ia terdampar.

Sara menatap layar. Laporan mingguan dari tim butik muncul rapi. Beberapa desain dikirim untuk revisi, dan agenda Fashion Week di Milan kini tinggal dua minggu lagi.

Ia menggulir file demi file. Memastikan dirinya kembali.

Bukan hanya sebagai istri Nicko Velmier, gelar yang masih terdengar asing meski sudah sah tapi sebagai pemilik Solea, butik yang pernah ia bangun dari luka dan mimpinya.

Setelah sesi panggilan dengan timnya di Paris, ia menutup laptop perlahan. Kepalanya masih terasa berat, tapi ada keputusan yang mulai mengendap dalam benaknya.

Langkahnya membawanya keluar kamar.

Di dapur, Sofia sedang membereskan meja. Aroma herbal samar mengambang di udara, lembut dan menenangkan, seperti kebiasaan wanita paruh baya itu yang tak pernah meninggalkan satu pun detail kecil dari kehidupan penthouse ini.

Sara duduk tanpa banyak bicara. Hanya diam, lalu menerima secangkir teh hangat dari Sofia.

“Tidur lebih nyenyak, Nona?” tanya Sofia pelan.

Sara mengangguk. “Lumayan.”

Sofia tersenyum kecil, lalu kembali pada pekerjaannya.

Beberapa menit berlalu. Lalu Sara bertanya, tanpa mengangkat wajahnya dari cangkir, “Nicko… pulang jam berapa biasanya?”

Sofia sedikit terkejut, tapi menyembunyikannya dengan baik.

Ia menyeka ujung meja dengan lap bersih sebelum menjawab, “Akhir-akhir ini, selalu pukul sembilan malam.”

Sara hanya mengangguk tipis.

Sofia melanjutkan, suaranya tetap lembut. “Sebelum Nona tinggal di sini… beliau jarang pulang. Seringkali baru tiba tengah malam. Bahkan tidak pulang sama sekali.”

Satu helaan napas lepas dari dada Sara. Tapi ia tak menanggapi.

“Sekarang,” Sofia meneruskan, “setiap malam… beliau ada di ruang kerja. Dan... selalu di rumah saat pagi. Sarapan. Kopi. Rutinitas yang baru mulai terjadi sejak anda di sini.”

Sara menunduk, menyembunyikan tatapan yang tak ingin dibaca.

“Sebelumnya…” lanjut Sofia pelan, “beliau tidur di kamar atas. Kamar yang sekarang Nona tempati. Tapi sejak hari pertama Nona datang… beliau jarang  masuk lagi ke sana.”

Kata-kata itu menggantung. Tak berat, tapi cukup untuk membuat dada Sara kembali terasa sempit.

Bukan karena makna kata-kata itu sendiri, tapi karena betapa kerasnya Nicko menolak menyerah, dengan caranya sendiri yang terlalu tenang.

Sara mengangkat cangkir, menyesap sedikit. Tapi aroma teh itu kini terasa hambar. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Tapi satu hal jelas. Ada sesuatu yang mengusik. Dan itu tak akan berhenti jika ia terus diam.

Butik itu adalah satu-satunya ruang yang masih terasa miliknya.

Tapi kini, semua kendali ada di tangan pria itu.

Semuanya.

Dan kalau ia ingin tahu lebih banyak… kalau ia ingin memastikan bahwa usahanya tidak dijadikan alat mainan dalam obsesi Nicko maka ia harus datang sendiri.

Menghadapinya.

****

Langkah Sara menuruni anak tangga pelan. Ia mengenakan coat panjang dua warna yang membingkai tubuh rampingnya, turtleneck putih, dan rok pensil bermotif kotak kecil. Sepasang ankle boots ivory melindungi langkahnya, sementara rambutnya tergerai lembut, membingkai wajah tenang yang tampak tak tersentuh.

Tapi justru karena itulah, ia mencuri perhatian.

Wajahnya hanya dipulas lipstik merah muda pucat, tanpa alas bedak, tanpa bayangan mata, tanpa apapun yang menutupi kulitnya yang masih tampak lelah.

Kecantikan yang tidak berusaha memikat, justru lebih sulit untuk diabaikan.

Sara menemukan Rafael sedang berdiri di ruang tamu, tengah berbicara singkat dengan salah satu staf rumah. Pria tinggi itu menoleh saat mendengar langkahnya, dan nyaris berhenti sejenak saat melihat sosok wanita yang kini berdiri di hadapannya.

Bukan karena pakaiannya. Bukan karena sikapnya.

Tapi karena… ekspresinya.

Wajah cantik itu terlalu tenang untuk seseorang yang sedang ketakutan, tapi terlalu pucat untuk disebut baik-baik saja.

“Aku ingin ke kantor Nicko sore ini,” kata Sara, suaranya pelan namun jelas. Tak ada permintaan. Hanya pernyataan yang tak memberi ruang untuk sanggahan.

Rafael mengangkat alis, tapi tidak bertanya.

Ia hanya memberi anggukan pendek, lalu berkata, “Baik. Saya siapkan mobilnya.”

Dan sepuluh menit kemudian, mereka meluncur ke Manhattan.

***

Mobil melaju dalam diam. Kota terlihat biasa di luar jendela, lampu-lampu, jalanan sibuk, dan langit yang mulai condong ke jingga tua. Tapi di dalam kendaraan itu, semuanya terasa terlalu senyap.

Sara duduk di belakang, dengan tangan yang menggenggam tas kecilnya terlalu erat.

Tak satu pun kata keluar dari bibirnya sepanjang perjalanan.

Sara hanya duduk diam, bersandar pelan pada kaca jendela mobil. Suara kota di luar samar terdengar, berbaur dengan detak jarum jam digital di dashboard. Tapi tidak satu pun suara mampu menenangkan hatinya yang berdenyut asing sejak ia memutuskan untuk pergi pagi ini.

Bayangannya terpantul samar di kaca. Wajahnya terlihat biasa. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang mencolok.

Matanya.

Bukan karena warna atau sorot yang tajam, melainkan sebaliknya.

Matanya kosong… tapi waspada. Seperti seseorang yang mencoba berdiri di atas tanah yang selalu longsor.

Beberapa kali, tangannya menggenggam pangkuannya sendiri. Lalu melepas. Lalu menggenggam lagi. Gerakan kecil itu terus berulang, seperti jeda napas antara ketakutan dan keberanian.

Ia sempat melirik ke arah cermin kecil di langit-langit mobil. Menatap bayangan wajahnya. Dan untuk sepersekian detik, ia ingin memintanya berhenti.

Rafael.

Sopir. Siapa pun.

Tapi ia tahu, ia tidak punya waktu lagi untuk lari.

Ia sudah sampai sejauh ini.

Ia harus melihat wajah pria itu, meski tubuhnya menggigil bahkan sebelum pintu lift terbuka.

Dari kursi depan, Rafael melirik sekilas ke kaca spion.

Ia tidak bicara.

Tidak berani.

Tapi tatapan pria itu jatuh pada bayangan Sara di belakang, dan ia bisa membaca isyarat itu dengan jelas.

Tangan perempuan itu gemetar.

Bukan karena dingin.

Karena kenangan.

Karena trauma.

Karena pria yang akan ia hadapi tak pernah benar-benar menjadi orang asing… tapi juga tak pernah sepenuhnya jadi rumah.

Rafael tak mengatakan apa-apa. Tapi rahangnya mengeras.

Sesuatu di dalam dirinya… ingin berbalik dan menarik Sara menjauh.

Namun ia bukan siapa-siapa dalam drama ini.

Ia hanya pelindung. Saksi diam dari obsesi yang terlalu halus untuk dilawan, terlalu dalam untuk dijelaskan.

Dan di sisi lain, Sara… menatap tangannya sendiri.

Ia mencoba bernapas. Tapi paru-parunya menolak.

Seolah tubuhnya sendiri bersekongkol dengan luka lama, menggagalkan keberanian yang baru saja ia bangun.

Dan bahkan sebelum ia sampai di lantai tempat Nicko berada, Tubuhnya sudah tahu.

Sudah bereaksi.

Sudah mengingat.

Bau tembakau samar yang dulu pernah membuatnya mual. Nada langkah berat yang membuatnya diam di tempat.

Sorot mata dingin yang selalu bisa meluluhlantakkan suara di tenggorokannya.

Dan kini, ia sedang menuju tempat itu. Dengan penuh kesadaran.

Ini adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan sisa dari hidupnya yang masih bisa ia klaim.

Butik itu.

Impian itu.

Dirinya sendiri.

Maka ia akan tetap melangkah. Meski dengan lutut lemas. Meski jantungnya terus berdegup seperti peringatan.

Karena tidak ada yang lebih menakutkan dari diam.

Dan kali ini… ia memilih untuk berbicara.

1
Mar Lina
akankah sara menerima cinta, Nathaniel
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
Just_Loa: siap kak trmakasih sdh mmpir 🧡
total 1 replies
Mar Lina
aku mampir
thor
Synyster Baztiar Gates
Next kak
Synyster Baztiar Gates
lanjutt thor
Synyster Baztiar Gates
Next..
Synyster Baztiar Gates
Bagus thor
iqbal nasution
oke
Carrick Cleverly Lim
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
Just_Loa: Hahaha makasih udah baca sampai malam! 🤍 Next chapter lagi direbus pelan-pelan biar makin nendang, yaaa 😏🔥 Stay tuned!
total 1 replies
Kuro Kagami
Keren, thor udah sukses buat cerita yang bikin deg-degan!
Just_Loa: Makasih banyak! 🥺 Senang banget ceritanya bisa bikin deg-degan. Ditunggu bab-bab selanjutnya yaa~ 💙
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!