Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.
Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.
Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.
Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Lelang Fengyu
Begitu Xu Hao melangkahkan kakinya melewati gerbang kota, sebuah pemandangan baru terbentang di hadapannya. Kota Fengyu ternyata jauh lebih ramai dari yang ia bayangkan. Jalan utama yang membentang lurus dari gerbang ke pusat kota terbuat dari batu-batu besar yang rata, licin berkilau karena dilapisi semacam formasi pelindung agar tidak mudah rusak. Di sisi kanan dan kiri jalan, bangunan-bangunan menjulang dengan atap melengkung khas arsitektur kuno, dihiasi lentera-lentera merah dan jimat pelindung yang berkilau samar. Bau dupa, minyak goreng, daging panggang, dan obat-obatan spiritual bercampur menjadi satu, memenuhi udara kota ini dengan aroma yang asing namun penuh kehidupan.
Orang-orang berlalu-lalang tanpa henti. Xu Hao melihat berbagai macam manusia, mulai dari rakyat biasa berpakaian lusuh yang membawa keranjang bambu penuh sayuran, hingga para pedagang kaya yang mengenakan jubah sutra berwarna cerah dengan cincin batu roh di jari mereka. Di antara keramaian itu, terlihat pula banyak kultivator yang auranya menekan. Ada yang membawa pedang terbang di punggung, ada yang memelihara binatang buas spiritual kecil sebagai peliharaan, dan ada juga yang duduk dengan santai di teras restoran lantai dua sambil menenggak arak spiritual. Dari atas, suara tawa keras dan lantunan kecapi kadang terdengar, seolah kota ini bukan hanya tempat berdagang, melainkan juga pusat hiburan.
Di sepanjang jalan utama, pedagang kaki lima membuka lapak dengan penuh semangat. Ada yang menjual jimat pelindung, ada yang menawarkan pil obat dalam botol giok kecil, ada pula yang menjajakan senjata sederhana yang berkilau samar karena ditempa dengan sedikit energi spiritual. Seorang kakek tua dengan pakaian sederhana bahkan terlihat menjual tusuk sate daging binatang spiritual yang aromanya begitu harum hingga membuat perut Xu Hao sedikit keroncongan. Suara tawar-menawar terdengar di mana-mana, bercampur dengan teriakan pedagang yang berusaha menarik perhatian para pembeli.
Xu Hao berhenti sejenak di pinggir jalan, matanya tajam mengamati setiap sudut kota. Qi merah pekat yang ada di dalam tubuhnya masih berdenyut pelan, namun ia berusaha menekannya agar tidak terlihat mencolok. Ia tahu betul bahwa kota sebesar ini pasti dipenuhi orang-orang kuat, dan ia tidak boleh membuat masalah hanya karena kecerobohan.
Setelah beberapa langkah, Xu Hao mendekati sebuah lapak sederhana di mana seorang pedagang paruh baya dengan perut buncit duduk di belakang meja kayu. Pedagang itu menjual beberapa kantong kecil berisi bubuk obat, akar kering, dan biji spiritual. Xu Hao mengamati sebentar lalu bertanya dengan suara rendah.
“Di mana aku bisa menjual tanaman spiritual?”
Pedagang itu mendongak, matanya sempat menilai Xu Hao dari atas hingga bawah. Dari pakaian Xu Hao yang sederhana dan wajahnya yang masih muda, jelas ia bukan penduduk kota ini. Pedagang itu sempat mengernyitkan dahi, seolah ingin menertawakan kepolosan Xu Hao, namun tatapan dingin di mata Xu Hao membuatnya menelan kembali ejekan yang hampir keluar. Akhirnya ia terkekeh kecil, lalu menjawab.
“Kalau kau ingin menjual tanaman spiritual, tempatnya bukan di pinggir jalan seperti ini. Kota Fengyu punya rumah lelang besar. Semua barang berharga, mulai dari tanaman langka, senjata spiritual, hingga pil tingkat tinggi, biasanya dijual di sana. Namanya Rumah Lelang Fengyu. Kau hanya perlu pergi lurus ke arah pusat kota, nanti kau akan melihat sebuah bangunan tinggi dengan atap hitam dan simbol burung fenghuang emas di pintunya. Itulah rumah lelang. Penjaganya ketat, tapi kalau kau membawa sesuatu yang berharga, mereka pasti akan menerimamu.”
Mata Xu Hao berkilat tipis saat mendengar nama itu. Rumah lelang. Itu berarti ia tidak hanya bisa menjual tanaman spiritual, tetapi juga bisa menilai harga pasar, bahkan mungkin menemukan benda-benda langka yang ia perlukan di masa depan. Ia mengangguk singkat pada pedagang itu, lalu berbalik tanpa banyak bicara. Pedagang paruh baya itu sempat melirik punggung Xu Hao dengan tatapan penasaran.
“Anak muda itu… auranya aneh. Seperti bukan kultivator biasa.” gumamnya pelan, sebelum kembali melayani pembeli lain.
Sementara itu, langkah Xu Hao meninggalkan lapak pedagang paruh baya terasa mantap, namun dalam diam ia menyadari sesuatu yang membuat bulu kuduknya sedikit berdiri. Di antara kerumunan orang yang lalu lalang, ada beberapa kultivator yang menoleh dengan tatapan dingin. Mata mereka berkilat seolah ingin menembus pakaian sederhana Xu Hao, mencari tahu rahasia yang ia sembunyikan dalam tubuhnya. Ada aura penuh rasa ingin tahu, ada juga tatapan penuh kecurigaan, bahkan sebagian terasa seperti tatapan serigala lapar yang mencium aroma daging segar.
Xu Hao tidak menggubris mereka. Baginya, semua itu hanyalah gangguan kecil. Ia sudah bertekad. Selama tidak ada yang benar-benar menghalangi jalannya, ia tidak akan menoleh ke belakang. Qi merah di dalam tubuhnya tetap ia tekan rapat-rapat, agar tidak menjadi pemicu masalah yang tidak perlu.
Semakin jauh ia berjalan, semakin megah bangunan yang menjulang di hadapannya. Saat akhirnya sampai di ujung jalan utama, Xu Hao mendongak menatap sebuah bangunan besar yang berbeda dari semua yang ia lihat sebelumnya. Pilar-pilar batu hitam berdiri kokoh, dihiasi ukiran burung fenghuang emas yang seolah hendak terbang dari permukaan batu. Papan nama besar menggantung tepat di atas pintu gerbang yang terbuka lebar, bertuliskan tiga karakter besar dengan tinta emas yang berkilau. Rumah Lelang Fengyu.
Bangunan itu seperti pusat perhatian seluruh kota. Kerumunan orang keluar masuk tanpa henti. Ada yang berpakaian mewah, ada yang sederhana, namun tidak seorang pun terlihat ragu melangkah masuk. Dari dalam terdengar samar suara teriakan lelang, tepuk tangan, serta bau harum dupa yang menenangkan.
Xu Hao mengernyit pelan. Matanya melirik dua orang penjaga yang berdiri tegak di samping pintu. Mereka mengenakan baju zirah ringan berwarna perak, masing-masing memegang tombak panjang yang ujungnya memantulkan sinar matahari sore. Wajah mereka kaku, tanpa senyum, dan tatapan matanya penuh kewaspadaan. Xu Hao bisa merasakan, meski mereka hanya penjaga, kekuatan mereka tidak rendah.
Ketika Xu Hao melangkah mendekat, tiba-tiba suara logam beradu terdengar nyaring. Kedua tombak itu disilangkan tepat di depan pintu masuk, menghalangi jalannya. Xu Hao berhenti sejenak, alisnya terangkat. Suara salah satu penjaga terdengar dingin.
“Pergi. Tempat ini bukan untukmu.”
Tidak ada pertanyaan, tidak ada penjelasan. Hanya pengusiran yang kasar.
Xu Hao menatap lurus ke arah mereka. Suaranya tenang, namun jelas.
“Aku datang untuk menjual tanaman spiritual. Mengapa aku diusir tanpa alasan?”
Kedua penjaga itu saling pandang, lalu salah satunya berkata dengan nada meremehkan.
“Tunjukkan tanaman itu. Kalau memang benar, baru kami pertimbangkan. Kalau tidak, jangan buang waktu kami.”
Xu Hao menolak mentah-mentah. Ia tidak bodoh. Menunjukkan barang berharganya di depan umum hanya akan mengundang malapetaka.
“Barangku tidak bisa kuperlihatkan di sini. Jika rumah lelang ini memang punya aturan, biarkan aku masuk dan mengurusnya di dalam.”
Penjaga itu wajahnya merah dan langsung memaki. “Kau hanya bocah miskin yang entah darimana. Apa pantas bicara besar di depan Rumah Lelang Fengyu?”
Yang satu lagi bahkan sudah tidak menahan diri. Tombaknya diarahkan langsung ke dada Xu Hao, gerakan cepat disertai tekanan aura.
Refleks, Xu Hao mengangkat tangannya. Pukulan ringan dilepaskan, namun Qi merah yang terkandung membuat tombak itu terpental ke samping dengan bunyi keras. Suara benturan logam melawan kekuatan murni membuat orang-orang di sekitar menoleh, sebagian berbisik penasaran.
Wajah kedua penjaga memerah karena marah.
“Berani sekali kau melawan penjaga Rumah Lelang Fengyu!”
Xu Hao menatap mereka tajam, suaranya tenang namun menusuk. “Jika aku diserang, apakah aku tidak boleh membela diri?”
Mendengar itu, salah satu penjaga tertawa terbahak, nada suaranya penuh ejekan.
“Hahaha… membela diri? Anak miskin sepertimu bahkan tidak pantas berbicara soal pembelaan diri.”
Xu Hao menarik napas dalam, lalu berbalik.
“Kalau begitu aku tidak perlu menjual barangku di sini.”
Namun baru saja ia hendak melangkah pergi, salah satu penjaga melompat dan mendarat di depannya, tombaknya menutup jalan.
“Jangan harap kau bisa datang dan pergi sesukamu. Kau pikir Rumah Lelang Fengyu bisa dipermainkan begitu saja?”
Wajah Xu Hao mengeras. Amarah mulai membara di dadanya. Qi merah pekat dalam tubuhnya bergejolak liar, hampir meledak keluar.
“Kalian sangat keterlaluan.”
Udara di sekitarnya bergetar halus, membuat beberapa pejalan kaki mundur takut-takut. Namun sebelum ketegangan itu benar-benar pecah, sebuah suara berat terdengar dari arah pintu.
“Pelanggan… tolong jangan marah.”
Xu Hao menoleh cepat. Dari dalam, seorang pria paruh baya melangkah keluar. Rambutnya hitam dengan sedikit uban, pakaian hitam gelapnya rapi, dan sorot matanya tajam seperti elang. Tatapan pertamanya jatuh pada kedua penjaga itu, lalu beralih ke Xu Hao. Suara pria itu tegas dan tidak bisa dibantah.
“Mulai hari ini, kalian berdua di berhentikan. Jangan pernah lagi menginjakkan kaki di Rumah Lelang Fengyu. Tidak menghargai pelanggan berarti menghancurkan aturan dasar kami. Rumah Lelang Fengyu tidak pernah memandang rendah siapa pun yang datang.”
Wajah kedua penjaga itu pucat. Mereka ingin membantah, namun tatapan tajam pria paruh baya itu membuat kata-kata mereka terhenti di tenggorokan. Dengan raut penuh dendam, mereka akhirnya pergi tanpa berani menoleh lagi.
Suasana di sekitar sedikit mereda. Beberapa orang yang menonton tampak berbisik, kagum sekaligus terhibur dengan kejadian itu.
Pria paruh baya itu lalu menundukkan tubuhnya sedikit, sikapnya penuh hormat.
“Maaf atas ketidaknyamanan yang kau alami, teman muda. Jika tidak keberatan, segala urusan penjualan bisa kau percayakan langsung padaku.”
Xu Hao menatap pria itu sebentar. Wajahnya yang sebelumnya tegang mulai melunak.
“Baiklah. Lagipula kau sudah mengusir kedua bajingan itu. Itu sudah cukup membuatku puas.”
Pria paruh baya itu tertawa kecil, nada suaranya hangat. “Teman muda ini jujur sekali dengan perasaannya. Menyenangkan bertemu orang sepertimu.”
Xu Hao hanya tersenyum tipis tanpa menjawab.
Pria itu lalu memberi isyarat dengan tangan, mempersilakan Xu Hao masuk.
“Silakan. Mari kita lanjutkan pembicaraan di dalam. Rumah Lelang Fengyu selalu terbuka bagi siapa pun yang membawa niat baik.”
Xu Hao mengangguk sekali, lalu melangkah masuk mengikuti pria paruh baya itu. Di balik pintu besar yang terbuka lebar, suasana jauh lebih megah menantinya.
Langkah kaki Xu Hao terhenti sejenak ketika memasuki aula utama rumah lelang. Dari kejauhan, matanya langsung menangkap pemandangan panggung besar yang diterangi oleh puluhan lampu batu roh berwarna biru pucat. Cahaya itu berkelip lembut, memantulkan kilau pada perhiasan, artefak, dan botol giok yang dipamerkan. Aroma rempah halus bercampur dengan wangi dupa spiritual menyebar di udara, membuat suasana seolah sakral, padahal di baliknya hanyalah nafsu manusia terhadap harta dan keuntungan.
Di atas panggung, seorang wanita cantik dengan gaun merah menyala sedang memamerkan sebuah pedang giok berwarna hijau zamrud. Suaranya melantang, setiap kata mengandung teknik retorika yang membuat para tamu terbuai. Tepuk tangan, seruan kagum, dan suara tawar-menawar menggema di seluruh aula. Para tamu duduk di kursi bertingkat melingkar, sebagian besar berpakaian indah, menunjukkan status mereka sebagai bangsawan, pedagang besar, atau kultivator yang memiliki backing kuat.
Xu Hao hanya melirik sekilas. Matanya tidak tertarik pada barang-barang yang dipamerkan, melainkan pada suasana di sekitarnya. Setiap senyum, setiap bisikan, setiap tatapan penuh perhitungan, semuanya ia catat dalam diam.
Pria paruh baya yang menemaninya melangkah ke samping, lalu sedikit menunduk sambil berbisik, "Mari, Teman Muda. Tamu sepertimu tidak pantas berdesak-desakan di keramaian. Aku sudah menyiapkan ruang khusus."
Xu Hao mengangguk pelan. Tanpa banyak bicara, ia mengikuti pria itu melewati lorong panjang di samping aula.
Lorong itu jauh lebih sepi dibanding ruang utama. Dindingnya dilapisi kayu berwarna gelap, ukiran naga dan awan mengalir di sepanjang sisinya. Cahaya batu roh yang dipasang pada sela-sela ukiran memancarkan sinar keemasan, menambah kesan elegan. Suara riuh lelang semakin menjauh, digantikan oleh keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara langkah mereka.
Setelah beberapa langkah, Xu Hao tiba-tiba membuka mulut. Suaranya tenang, tapi ada ketajaman dingin yang membuat udara terasa lebih berat.
“Kenapa kau memperlakukanku dengan sangat baik, Tuan? Jika hanya karena perlakuan dua penjaga di depan tadi, kau seharusnya tidak perlu melakukan hal berlebihan seperti ini.”
Pria paruh baya itu berhenti sejenak, lalu terdengar suara tawa rendah yang bergema sepanjang lorong. Tawanya bukan tawa lepas, melainkan tawa seorang pedagang kawakan yang terbiasa menyembunyikan maksud di balik wajah ramah.
"Teman muda," katanya sambil melirik sekilas ke arah Xu Hao, "instingmu sungguh tajam. Bahkan mampu menyadari maksud terselubung hanya dari perlakuanku yang sederhana."
Xu Hao menyipitkan mata. Ia menatap lurus ke depan, langkahnya tetap tenang. "Tentu saja aku tahu. Seseorang pernah mengatakan kepadaku, di dunia ini sangat jarang ada orang yang memiliki ketulusan murni dalam tindakannya. Jika seseorang memperlakukanmu dengan baik, pasti ada tujuan di baliknya. Tujuan itu, sudah pasti sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya sendiri."
Mata pria itu memancarkan sedikit cahaya kagum. Ia mengangguk dalam-dalam. "Benar sekali. Orang yang mengatakannya padamu itu pasti seseorang yang bijak. Tidak salah. Alasan aku memperlakukanmu dengan baik sederhana saja. Karena aku bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa dari dirimu."
Xu Hao berhenti sejenak. Tatapannya dingin, suaranya terpotong seperti bilah pedang. "Apa maksudmu?"
Pria itu tersenyum tipis, matanya menyipit seperti serigala yang sedang menilai mangsanya. "Tanaman spiritual berumur seratus tahun. Aku bisa merasakan baunya darimu. Energinya samar tapi jelas. Kau mungkin menyimpannya, atau baru saja berinteraksi dengannya. Itulah alasan aku memperlakukanmu dengan baik. Bukan karena belas kasihan, tapi karena aku ingin bisnis kita berakhir dengan baik."
Xu Hao menatap tajam. Suasana lorong seketika menegang. Untuk sesaat, udara terasa seperti membeku. Namun ia tidak menunjukkan emosi berlebihan. Ia hanya menurunkan suaranya dan berkata dingin, "Siapa kau sebenarnya?"
Pria itu merapikan pakaian hitamnya, lalu tersenyum anggun seolah sedang memperkenalkan dirinya dalam jamuan resmi. "Namaku Feng Yu. Aku adalah pemilik rumah lelang ini."
Xu Hao terdiam sebentar, kemudian mengangguk tipis. "Suatu kehormatan bisa berbisnis langsung dengan pemilik rumah lelang sebesar ini."
Feng Yu hanya tertawa kecil, lalu melanjutkan langkahnya. Ketika mereka sampai di ujung lorong, ia berhenti di depan sebuah pintu kayu merah tua yang dihiasi pola naga emas. Tangannya terulur, membuka pintu dengan gerakan ringan namun penuh wibawa.
"Kita sudah sampai," katanya sambil menoleh pada Xu Hao. "Silakan masuk. Mari kita bicara dengan lebih nyaman."
Xu Hao menatap pintu itu sejenak. Matanya menyipit, lalu ia mengangguk pelan. Dengan langkah mantap, ia melangkah masuk bersama Feng Yu.