Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Bertengkar
“Lepasin! Shanum mau dibawa ke mana!” sentak Shanum sembari mencoba menarik tangannya dari genggaman suaminya. Pandangan matanya pun mengedar ke arah mana pun dengan harapan mama mertua dan tunangan Ervan tidak melihat ia dan Ervan.
Mau bagaimana gadis itu tidak mau cari perkara dengan mereka. Hidupnya sudah mumet, tidak mau tambah mumet.
“Masuk!” titah Ervan dengan semakin menarik tangan Shanum saat pintu otomatis mobil mewahnya terbuka.
Mata gadis itu mengerjap, tubuhnya dipaksa masuk ke dalam. Dengan terpaksa ia masuk dan duduk di sana. Dan disusul oleh Ervan.
“Cepat jalan Rian, antar ke apartemen saya,” perintahnya dengan lirikan tajam saat istrinya melirik penasaran.
“Buat apa ke apartemen? Kalau mau bicara sebaiknya di sini aja. Shanum sedang bekerja, teman-teman Shanum pasti akan mencari Shanum,” sahut Shanum sebelum Rian yang menyahut.
“Tidak akan ada yang mencarimu, karyawan seperti kamu itu gampang dicari penggantinya kalau dipecat,” sindir Ervan dengan lirikan mengejeknya.
Pada saat itu mobil sudah melaju meninggalkan klinik Meidina. Kedua tangan Shanum yang berpangku di pahanya saling meremat erat, hatinya sudah bergemuruh, menahan gejolak yang sejak tadi ia tahan.
“Ya, memang banyak yang bisa menggantikan posisi Shanum, yang hanya karyawan rendahan di mata Anda, Pak Ervan. Tapi, perlu diketahui jika pekerjaan itu sangat berharga buat Shanum yang hanya seorang anak sopir, yang tidak memiliki status sosial tinggi, yang tidak mempunyai pendidikan tinggi seperti calon istri Anda!” tegas Shanum dengan lantangnya.
"Jangan berani-berani meninggikan suaramu, Shanum!"
...***...
Suasana di dalam mobil terasa seperti ruang tekanan tinggi. Sunyi, namun tidak ada yang tenang di sana. Rian yang duduk di balik kemudi mulai merasa sesak napas hanya karena mendengar suara bentakan dan sindiran yang saling bersahutan di belakangnya. Matanya lurus menatap jalanan yang, untungnya, siang itu tidak macet. Tapi tetap saja, satu jam terasa seperti seumur hidup dengan dua orang yang nyaris membunuh satu sama lain dengan kata-kata.
“Kalau bukan siapa-siapa, kenapa harus susah payah menyeret saya ke mobil begini?” sindir Shanum sinis, tangan kirinya menyeka pelipis yang berkeringat karena marah dan gerah. “Oh iya, mungkin karena saya istri sah yang perlu dijaga ‘harga dirinya’, padahal Bapak sendiri bilang pernikahan ini hanya formalitas.”
Ervan duduk bersandar dengan wajah tegang, satu tangan menggenggam lutut, satu lagi mengepal di sisi kursi. Pandangannya tajam ke depan, tapi tak menatap Shanum. “Kamu boleh bicara sesuka hati, tapi satu hal yang harus kamu pegang baik-baik, Shanum: selama kamu berstatus istri saya, kamu tidak berhak dekat dengan laki-laki mana pun. Termasuk yang tadi, si Adam itu.”
“Lucu ya,” Shanum mendengus tertawa miris. “Berstatus istri, tapi tidak pernah diperkenalkan sebagai istri. Tidak pernah diakui ke publik, tidak pernah diajak hadir di mana pun sebagai pendamping. Tapi giliran ngobrol sama orang, dilarang. Aturannya banyak sekali, Pak Ervan. Mendingan Bapak buka pesantren ketimbang nikah.”
Rian langsung batuk pelan di balik kemudi, canggung setengah mati.
“Apa kamu lupa siapa yang merengek minta saya tanggung jawab waktu itu?” tukas Ervan dingin. “Kalau saya menikahi kamu, itu karena saya menjaga martabat keluarga—bukan karena saya mencintai kamu, Shanum. Jadi jangan sekali-kali merasa lebih dari sekadar tanggung jawab. Paham?”
Shanum menoleh cepat, menatap wajah suaminya dengan tatapan tak percaya. “Oh, Shanum paham, Pak. Sangat paham. Bahkan saya yang mengingatkan terus-menerus soal isi perjanjian itu. Tapi kalau Shanum cuma sebagai tanggung jawab, kenapa Bapak repot-repot larang saya Shanum bicara atau dekat dengan laki-laki lain? Bukankah dalam pasal tiga, ayat dua, dikatakan ‘masing-masing pihak berhak menjalani kehidupan sosial secara bebas dan tidak mengikat secara emosional?'” Shanum asal tebak isi surat perjanjian, dan sangat yakin pasti tertera.
“Bebas, iya,” desis Ervan, kini menoleh dan menatap Shanum penuh tekanan. “Tapi tidak berarti bebas mempermalukan saya di depan orang lain. Saya tidak akan diam kalau kamu berulah dan bikin saya terlihat bodoh.”
“Kalau takut dipermalukan, harusnya dari awal jangan nikah pura-pura, Pak. Eh, sebentar ... kenapa Pak Ervan takut dipermalukan, toh, tidak ada yang tahu kalau Pak Ervan menikah dengan Shanum, kan?” Shanum mengerjapkan matanya berulang kali.
“Kalau saya tahu kamu sekeras kepala ini, saya pikir ulang seribu kali.”
“Yah ... sayangnya Bapak sudah menikahi Shanum,” balas Shanum, lalu bersedekap.
Mobil akhirnya berhenti di pelataran apartemen mewah. Rian turun lebih dulu, membuka pintu belakang dengan hati-hati sambil berharap cepat-cepat selesai tugasnya hari ini. Ervan langsung turun, lalu kembali menarik tangan Shanum, yang sempat memberontak namun kalah tenaga.
“Lepas, Pak! Ini apartemen, bukan kantor polisi!” teriak Shanum dengan suara tertahan karena sadar ada petugas keamanan yang memperhatikan.
Ervan menggertakkan giginya. “Jangan bikin drama. Saya hanya ingin bicara.”
Tanpa menunggu jawaban, ia menyeret Shanum masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai 20. Penthouse. Tempat yang hanya bisa diakses dengan kartu khusus.
Begitu pintu lift terbuka, keduanya melangkah masuk ke ruangan luas berlangit-langit tinggi dengan dinding kaca yang memperlihatkan panorama kota. Tapi Shanum tidak terpukau. Ia langsung berdiri di tengah ruangan, tangan bertolak pinggang.
“Silakan bicara. Tapi setelah ini, Shanum harap Bapak tidak usah lagi datang-datang ke tempat kerja saya dan bersikap seolah punya kuasa atas hidup Shanum.”
Ervan melepas jasnya dan melemparkan ke sofa. Ia memutar lehernya, seolah sedang menahan emosi yang nyaris meluap.
“Kamu pikir saya senang melakukan semua ini?” katanya dingin. “Menikah dengan mantan kekasih adik saya sendiri? Menjaga nama keluarga sambil hidup dengan perempuan yang selalu membantah? Kamu pikir saya ingin berada di posisi ini?”
“Kalau tidak ingin, kenapa masih mempertahankan semua ini? Kenapa tidak ceraikan saja Shanum?” tantang Shanum.
Ervan terdiam sejenak. Sorot matanya menajam. “Karena semuanya belum selesai. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan saya bisa menceraikanmu setelah anak yang kamu kandung itu lahir?”
“Dan selama itu Shanum harus hidup seperti boneka yang tidak boleh tersenyum pada siapa pun?” Suara Shanum mulai bergetar, namun bukan karena takut—karena muak. Dan, tidak lagi peduli dengan posisi status yang ia minta tempo hari.
“Jangan bersikap seperti korban, Shanum. Kamu menandatangani surat itu. Kamu setuju dengan syaratnya.”
“Tapi Shanum tidak pernah setuju dengan sikap sok kuasa Bapak!” Shanum menunjuk wajah Ervan. “Bapak larang Shanum ini, Anda atur Shanum itu. Tapi Anda sendiri masih peluk-pelukan dengan tunanganmu yang satu itu di klinik! Dan, Shanum tidak mempermasalahkannya. Tapi kenapa Anda jadi mempermasalahkan Shanum!”
Seolah dipanggil namanya, tiba-tiba ponsel Ervan bergetar. Di layar terpampang nama Meidina.
Ervan mengerang pelan, lalu mengangkatnya.
“Iya, Mei.”
Bersambung .... ✍️
pokok nya paa klo Ervan macam2 lg ma Shanum,,jauhkan Shanum sejauh jauh nya utk menjaga kewarasan Shanum..dn biar Ervan bisa introspeksi diri...
bener2 gedeg aq ma Mr.Arogaaann 😬😬