NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:430
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 — Anomali Muncul Lagi

MALAM sudah nyaris sempurna melingkupi setiap sudut kolam renang dengan kegelapan. Bulan redup menggantung rendah di barat—membuat bayangan pekat gedung lantai dua menutupi sebagian besar area kolam. Satu-satunya cahaya hanya dari lampu portabel di depan tribun. Tapi lampu itu terasa terlalu kecil untuk melawan selimut malam.

Davin memindai suhu dan kelembapan. Suhu normal di angka dua puluh delapan derajat Celsius—masih menyimpan panas dari siang hari. Tapi kelembapannya tinggi—di atas tujuh puluh lima persen.

Dia meminta Elisa untuk mengarahkan IR thermometer ke tiga titik.

Elisa menembakkan laser merah ke lantai dua gedung tua di sebelah kanan. Lubang menganga itu tampak menyeramkan. Dia mengerutkan kening ketika melihat angka termometer bergerak turun.

Dua puluh tujuh… dua puluh enam…. dua puluh lima….

Elisa melirik Davin dengan gugup. “Suhunya… drop,” bisiknya tanpa bisa menyembunyikan getaran dalam suaranya.

Dia menggeser tembakan laser merah ke ruang pompa air. Suhunya masih stabil di angka dua puluh tujuh derajat Celsius. Tapi suhu ruang loker juga drop ke angka dua puluh lima derajat.

Semua menoleh ke arah Tari.

Tari tersenyum hambar. Wajahnya terlihat tenang. Tapi matanya tidak.

“Kalian pengen aku bilang apa?” ujarnya. “Bahwa ada hantu di situ? Aku nggak ngerasa apa-apa. Tapi kalau aku jadi Rayan, aku nggak akan ke gedung tua itu.”

Rayan mengangkat alis. Gampang ditebak, kata-kata Tari yang bernada wanti-wanti justru seperti dorongan bagi dirinya.

“Oke, berarti gue akan mulai dari lantai dua itu,” ujarnya. “Lalu ke ruang pompa air. Baru ke ruang loker.”

BRAKKK!

Sebuah benda jatuh. Suaranya memecah keheningan malam.

Mereka semua menoleh serentak ke arah gedung lantai dua. Tanpa sadar Elisa merapat ke samping Davin.

Davin terus mengamati SRD dan EMF detector. Sama sekali tak ada lonjakan medan elektromagnetik. Garis gelombang di SRD juga tetap bergerak konstan. Seakan menegaskan bahwa di sekitar tribun “aman.”

Rayan bergegas menyiapkan drone. Drone itu adalah hasil modifikasi gila Davin—dengan rangka serat karbon custom rakitan sendiri, dilengkapi kamera 4K bawaan, modul infrared mini, dan sensor EMF portabel yang tertanam di bawah bodi. Sensor itu mampu membaca fluktuasi medan elektromagnetik secara real-time, lalu mengirimkan datanya ke tablet di tangan Sasha bersamaan dengan feed video dari kamera drone. Lampu LED mini high-intensity dengan sudut sorot sempit terpasang di bagian depan, cukup terang untuk menembus gelap di gedung tua tanpa menyilaukan lensa. Sasha hanya memantau visual dan grafik EMF di tablet—siap memberi peringatan jika muncul anomali. Drone itu sudah menjadi andalan Davin dalam riset lapangan—menggabungkan kemampuan eksplorasi visual dan pemindaian energi yang tak kasatmata.

Rayan menekan tombol power di punggung drone. Lampu indikator berkedip cepat. Lalu dia menghidupkan RC di tangannya sambil melirik Sasha yang bersiap memantau feed video di tablet.

WrrrRRRRRRRrrrrr…

Suara baling-baling mini itu mulai berputar cepat. Awalnya seperti bisikan nyamuk lalu membesar jadi dengung nyaring yang terasa menusuk telinga. Udara di sekelilingnya bergetar. Debu dan serpihan daun kering di lantai terangkat—berputar pelan seperti lingkaran debu kecil di bawah drone.

Drone naik perlahan—menyapu udara dengan gerakan stabil. Lampu LED merah di ekornya berkedip pelan—menjadi titik cahaya mungil di tengah gelap. Suara dengungnya mulai menjauh—seperti seekor tawon raksasa yang melayang di udara.

Davin berdiri di belakang Sasha—ikut mengamati grafik medan elektromagnetik di layar tablet. Matanya fokus pada garis yang bergerak datar. Tapi konsentrasinya sedikit terganggu karena aroma rambut Sasha yang anehnya membuat pikirannya jadi melayang.

Seharusnya tadi Elisa saja yang memegang tablet. Dengan begitu, dia tidak perlu berada sedekat ini dengan Sasha. Tapi sekarang semua logika di kepalanya seperti tumpah-tindih karena denyut halus di dada yang tak ada hubungannya sama sekali dengan sensor EMF.

Dia tak sadar bahwa Sasha pun ikut merasa terganggu. Biasanya, dia bisa menertawakan Davin yang kadang gugup atau salting. Tapi kali ini, justru dadanya sendiri terasa berdetak lebih cepat. Kehangatan tubuh Davin di balik punggungnya, jarak yang begitu dekat, dan kesunyian di antara dengung baling-baling drone membuatnya sulit menertawakan apa pun. Untuk pertama kalinya, mereka berdua salting—tanpa berani saling menoleh.

Sasha berusaha fokus pada layar tablet. Feed video di layar bergerak menuju gedung tua.

Dengan halus benda mungil itu melayang memasuki rongga jendela. Cahaya lampu LED kecil menyapu lantai yang berdebu. Partikel debu berputar di udara, ikut terseret pusaran angin dari baling-baling.

Begitu melewati ambang jendela, Rayan memiringkan stik kanan RC perlahan. Drone berputar sembilan puluh derajat searah jarum jam. Gerakannya sangat halus—nyaris tanpa hentakan—membuat bayangan kursi-kursi terbalik di lantai memanjang lalu menghilang saat cahaya bergeser.

Rayan tidak hanya memburu sumber suara "BRAKKK" yang memecah keheningan tadi. Tapi dia sekaligus mengarahkan drone untuk merekam setiap sudut bekas kafe di lantai dua itu—mengambil angle dramatis yang nanti bisa dipakai sebagai b-roll. Setiap frame yang dia rekam seolah dirancang untuk membuat penonton merinding, bahkan sebelum mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi di tempat itu.

Drone melayang setinggi dua meter. Lampu depannya menyorot dinding retak penuh grafiti. Cahaya bergerak seperti kuas cat di atas kanvas gelap—menyapu dari kiri ke kanan—memperlihatkan pintu yang setengah terbuka.

Rayan menghentikan gerakan halus drone di tengah ruangan. Balok cahaya tetap lurus ke depan, lalu perlahan tubuh drone berputar setengah lingkaran berlawanan arah jarum jam. Sasha yang memegang tablet bisa melihat setiap sudut berganti di layar seperti mata yang memeriksa ruangan dengan kewaspadaan penuh.

Feed video di tablet sempat bergetar—dua frame pecah seperti gigi gerigi—lalu normal lagi. Sasha merapatkan tablet ke dada, jempolnya tak sadar menekan ikon zoom.

“Dev, ada anomali,” bisiknya tanpa menoleh. Napasnya sedikit memburu.

“Ya, cukup signifikan,” sahut Davin singkat.

Tari ikut bergerak ke samping Sasha. Dia tak heran melihat lonjakan grafik medan elektromagnetik. Dia merasa gedung tua itu lebih parah dari ruang loker.

Naya dan Elisa berdiri kaku. Mereka enggan memandang lantai dua. Tapi berpaling ke sudut lain pun sama saja—gelap, sunyi dan menekan. Pandangan mereka akhirnya kembali ke arah cahaya lampu LED drone yang bergerak pelan di dalam bayang-bayang gedung tua. Sorot itu berayun ke kiri dan kanan menembus celah-celah debu di udara. Dari jarak mereka, tak ada apa pun yang jelas terlihat—hanya rasa waswas yang makin mengental setiap detiknya.

Pelan, drone menurunkan ketinggian sambil sedikit memutar sumbu—membentuk spiral sempit. Cahaya menelusuri lantai yang dipenuhi pecahan kaca, lalu berhenti tepat di atas sebuah kursi besi yang roboh.

Rayan menahan posisi. Hanya suara “ngggghhh” halus dari baling-baling yang terdengar. Lampu menyinari pintu gelap di sudut ruangan, seolah mengundang sesuatu untuk keluar dari sana.

Tiba-tiba—KREEEEKK…

Dari arah luar, suara pintu besi ruang pompa air terdengar berderit panjang seperti dipaksa terbuka dari dalam.

Mereka spontan menoleh ke sumber suara itu. Rayan nyaris kehilangan fokus hingga drone berputar sedikit tak terarah.

Sasha menahan napas. Matanya bergeser cepat dari tablet ke arah ruang pompa yang gelap.

Elisa mencengkeram lengan Naya. Tapi Naya sendiri tanpa sadar makin erat memegang case baterai.

Grafik EMF di tablet berubah datar. Tapi grafik EMF di tangan Tari sempat tersentak, lampu indikator berkedip sekali—lalu kembali ke nol. Seakan ada sesuatu yang melintas dekat tribun.

Davin dan Tari saling bertukar pandang.

Semua alat mendadak tenang. SRD masih belum berubah. Feed EMF di tablet lurus seperti detak garis mati. Namun indera Davin seperti berteriak. Tengkuknya serasa ditarik ke arah pintu besi—seolah mata yang tak terlihat sedang menatap balik.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!