NovelToon NovelToon
Sugar Daddy?

Sugar Daddy?

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Mafia / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Pengganti yang Tidak Pernah Memilih"

Tidak ada jam yang berdetak di aula itu—setidaknya begitu rasanya bagi Alya.

Waktu tidak bergerak maju, tidak juga mundur. Ia menggantung di udara, di antara kursi-kursi empuk berlapis kain mahal, di antara napas orang-orang yang menahan tanya, dan di antara lampu kristal yang tetap bersinar seolah tidak terjadi apa-apa.

Alya menatap tangannya sendiri.

Jari-jarinya saling bertaut terlalu erat, sampai kuku-kukunya menekan kulit. Ia tidak ingat sejak kapan ia duduk seperti ini. Ia hanya tahu satu hal: ia belum pernah merasa sekecil ini di tempat yang sebesar ini.

Di depan sana, altar masih berdiri utuh.

Bunga-bunga belum layu. Karpet merah belum digulung. Segalanya tampak siap—siap untuk sesuatu yang seharusnya sudah terjadi, tapi tidak pernah benar-benar dimulai.

Orang-orang mulai berbisik lebih bebas sekarang. Tidak lagi berusaha terlalu sopan. Beberapa tamu mencondongkan tubuh, mencoba melihat lebih jelas. Ada yang menoleh ke belakang, seolah berharap pintu besar itu akan terbuka kapan saja dan Evelyn akan muncul sambil tersenyum, meminta maaf karena terlambat.

Alya tahu itu tidak akan terjadi.

Ia tidak tahu dari mana keyakinan itu datang—mungkin dari cara musik berhenti terlalu lama, atau dari cara panitia bergerak dengan wajah pucat, atau dari satu fakta sederhana: tidak ada satu pun orang yang terlihat berharap lagi.

Zavian masih berdiri di altar.

Punggungnya lurus. Tangannya kini tidak lagi terlipat, melainkan jatuh di sisi tubuh. Ia tampak seperti seseorang yang menunggu badai, bukan seseorang yang berharap matahari kembali.

Alya ingin mengalihkan pandangan, tapi gagal.

Ada sesuatu yang menakutkan dari ketenangan itu.

Di rumah, Zavian selalu tenang. Di rapat, ia selalu tenang. Tapi ini berbeda. Ini bukan ketenangan yang lahir dari kendali—ini ketenangan seseorang yang sedang mengunci dirinya sendiri agar tidak runtuh di depan umum.

Alya menelan ludah.

*Ini bukan urusanku,* katanya pada diri sendiri.

Namun jantungnya tetap berdegup terlalu keras, seolah tahu bahwa ia tidak akan bisa pulang dari tempat ini sebagai orang yang sama.

Di sisi aula, beberapa anggota keluarga mulai berkumpul. Alya mengenali wajah-wajah itu—mereka yang jarang bicara dengannya, tapi selalu memperhatikannya. Tatapan mereka sesekali meluncur ke arahnya, cepat, menimbang, lalu berpaling lagi.

Tatapan yang membuat kulitnya meremang.

Ia tiba-tiba teringat koper kecil yang dulu sempat ia tarik ke ambang pintu. Koper yang kini tersimpan rapi di sudut lemari, tak pernah dibuka lagi.

*Seandainya aku pergi waktu itu,* pikirnya.

Namun pikiran itu tidak pernah selesai. Hidupnya jarang memberi ruang untuk kalimat *seandainya*.

Seorang pelayan lewat, membawa nampan berisi gelas-gelas yang tak tersentuh. Alya mencium aroma bunga dan parfum yang bercampur, terlalu manis, membuat kepalanya sedikit pusing.

Ia menunduk, mencoba bernapas pelan.

Lalu namanya dipanggil.

Bukan dari altar.

Bukan dari kursi di sampingnya.

Melainkan dari samping aula—tempat orang-orang yang biasanya tidak diperhatikan kini mulai bergerak mengambil peran.

“Alya.”

Suaranya tidak keras.

Justru itu yang membuatnya menoleh.

Perintah itu datang tanpa aba-aba.

Tidak diumumkan. Tidak diucapkan keras. Hanya rangkaian bisikan cepat di balik panggung, wajah-wajah tegang, dan satu keputusan yang jatuh seperti palu—dingin dan tak memberi ruang bernapas.

“Alya.”

Namanya dipanggil dari sisi aula.

Alya menoleh. Seorang wanita paruh baya dari keluarga Zavian berdiri di sana, wajahnya pucat namun matanya tegas. Di belakangnya, dua panitia dan seorang asisten rumah tangga sudah menunggu.

“Ayo ikut,” katanya singkat.

Alya berdiri dengan kaki terasa ringan—terlalu ringan, seperti tidak sepenuhnya menapak lantai. “Ada apa?”

Wanita itu tidak langsung menjawab. “Kita bicara di belakang.”

Di balik tirai tebal, dunia terasa lebih sempit.

Suara aula yang penuh bisik tertahan di luar, berganti dengan desah napas tergesa dan langkah kaki yang mondar-mandir. Seseorang menangis pelan. Seseorang menelepon dengan suara ditahan. Semua bergerak cepat, tapi tidak ada yang benar-benar tahu ke mana.

“Alya,” kata wanita itu akhirnya, menatapnya lurus. “Kamu harus membantu.”

“Membantu… apa?” Suara Alya nyaris tak terdengar.

Wanita itu menarik napas. “Kita tidak bisa membiarkan ini jadi skandal. Semua keluarga besar ada di luar sana. Media. Rekan bisnis. Kalau acara ini batal begitu saja—”

Ia berhenti, seolah mencari kata yang lebih halus. “Nama keluarga bisa rusak.”

Alya mengerutkan kening. “Saya… saya tidak mengerti.”

Beberapa detik hening.

Lalu kalimat itu diucapkan.

“Kamu akan menggantikan posisi pengantin wanita. Hanya berdiri di altar. Untuk sementara. Sampai acara ditutup dengan layak.”

Dunia Alya berhenti.

“Apa?” napasnya tercekat. “Tidak. Saya—saya tidak bisa.”

“Ini bukan pernikahan sungguhan,” kata seorang pria lain cepat, seolah ingin menenangkan. “Tidak ada akad. Tidak ada pencatatan. Hanya… simbol. Supaya acara tidak runtuh di depan semua orang.”

Alya mundur setapak. “Tapi itu—itu salah.”

“Yang salah adalah membiarkan ratusan orang pulang dengan cerita bahwa Zavian ditinggalkan di altar,” potong wanita itu. “Kamu bagian dari keluarga ini. Dan keluarga melindungi nama mereka.”

Kata *keluarga* terasa asing di telinga Alya.

Ia menggeleng cepat. “Saya masih sekolah. Saya bukan—bukan siapa-siapa.”

“Kamu Alya,” jawab wanita itu datar. “Dan itu cukup.”

Tirai sedikit terbuka.

Alya bisa melihat aula dari celah kecil itu. Lampu kristal. Kursi-kursi yang masih terisi. Zavian masih berdiri di altar, punggungnya tegak, wajahnya tak terbaca.

Ia tidak menoleh ke arah Alya.

“Pak Zavian tahu?” tanya Alya, suara bergetar.

Wanita itu terdiam sesaat. Lalu berkata, “Beliau tidak menolak.”

Kalimat itu menghantam lebih keras dari tamparan.

Alya menutup mata.

Ia ingin lari. Ingin berkata tidak. Ingin menjerit bahwa ini tidak adil, tidak masuk akal, tidak boleh. Tapi semua kata itu berhenti di tenggorokan, tertahan oleh satu kenyataan pahit yang sudah lama ia kenal:

Ia tidak pernah berada di posisi untuk memilih.

Gaun itu dipakaikan dengan cepat.

Bukan gaun pengantin Evelyn—yang itu terlalu besar, terlalu dewasa, terlalu penuh makna. Ini gaun cadangan, putih sederhana, yang semula disiapkan untuk sesi foto keluarga. Tetap indah. Tetap terlalu besar untuk tubuh Alya yang kurus.

Tangannya dingin saat kain itu dirapikan.

“Ini cuma berdiri,” bisik seorang panitia, mungkin merasa bersalah. “Setelah itu selesai.”

Alya mengangguk, meski kepalanya berdenyut.

Pintu aula terbuka.

Musik kembali mengalun—lagu yang sama, seolah tidak pernah terputus.

Semua kepala menoleh.

Dan Alya melangkah masuk.

Ia tidak berjalan di karpet merah dengan kepala tegak seperti pengantin sungguhan. Langkahnya pendek, kaku. Senyumnya nyaris tak ada. Ia merasa seperti boneka yang dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.

Bisikan meledak.

“Siapa itu?”

“Bukan Evelyn…”

“Masih sangat muda—”

Alya tidak melihat siapa pun. Matanya terpaku ke depan.

Ke arah Zavian.

Alya berdiri di samping Zavian.

Jarak mereka hanya beberapa sentimeter, namun terasa seperti jurang.

Zavian tidak menyentuhnya. Tidak menggenggam tangannya. Ia hanya berdiri, sama tegaknya seperti sebelumnya.

Semua kepala menoleh.

Bisikan kembali meledak—kali ini tanpa usaha untuk disembunyikan.

Untuk sepersekian detik—hanya sepersekian—ekspresi di wajahnya retak. Bukan marah. Bukan kaget. Melainkan sesuatu yang lebih berbahaya: penerimaan terhadap situasi yang tidak bisa ia hentikan tanpa menghancurkan segalanya.

Pembawa acara naik ke podium.

“Dengan ini, kita lanjutkan prosesi pernikahan.”

Musik mengalun kembali.

Kata demi kata diucapkan seperti skrip. Tentang kebersamaan. Tentang komitmen. Tentang janji.

Alya mendengarnya seperti dari balik air.

Ketika tiba giliran janji, ruangan menjadi sangat sunyi.

“Alya,” kata pembawa acara lembut, “apakah kamu bersedia—”

Alya membuka mulut.

Tenggorokannya kering. Tangannya gemetar. Matanya tidak menatap Zavian—ia menatap lantai, karena jika ia melihat wajah pria itu, ia tahu suaranya akan runtuh.

“Bersedia,” katanya.

Satu kata.

Pendek. Patuh.

Janji itu diucapkan tanpa makna yang ia pahami sepenuhnya. Tentang berdiri bersama. Tentang mendampingi. Tentang kesetiaan—kata-kata besar yang tidak pernah ditanyakan apakah ia siap menanggungnya.

Zavian mengucapkan bagiannya dengan suara datar, stabil.

Seolah ini rapat bisnis. Seolah ini kontrak yang harus diselesaikan.

Ketika prosesi selesai, tepuk tangan terdengar—ragu, lalu menguat karena tidak ada yang tahu harus bereaksi bagaimana selain mengikuti arus.

Alya berdiri diam.

Gaun putih itu kini terasa seperti simbol yang salah menempel di tubuhnya.

Ia telah berdiri di altar.

Ia telah mengucapkan janji.

Namun tidak satu pun dari itu lahir dari pilihannya sendiri.

Dan di balik senyum-senyum yang dipaksakan, Alya tahu satu hal dengan pasti:

Hari ini, sesuatu telah diikat—

bukan oleh cinta,

melainkan oleh keadaan.

Dan ikatan seperti itu

jarang sekali bisa dilepaskan tanpa meninggalkan luka.

“Hari ini seharusnya tidak melibatkanmu,” lanjut Zavian. “Dan itu kesalahanku karena membiarkan siapa pun berpikir kamu bisa dijadikan solusi.” bisik Zavian ditengah keramaian itu

Alya menunduk. “Saya tidak apa-apa.”

Kebohongan yang terlalu lelah untuk disangkal.

Zavian menghela napas panjang. “Kamu tidak akan dipaksa menggantikan siapa pun lagi. Tidak hari ini. Tidak pernah.”

Alya mengangguk pelan.

Namun di dalam dirinya, sesuatu telah berubah selamanya, disatu sisi ia berdebar

Hari itu, Alya belajar satu hal yang pahit dan jelas:

Di dunia orang dewasa, bahkan niat baik bisa berubah menjadi bahaya—

dan berdiri diam pun terkadang berarti hampir kehilangan diri sendiri.

Hari pernikahan itu memang berhenti.

Tapi dampaknya

baru saja dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!