NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11_Retakan yang semakin besar

Hujan turun sejak sore, tidak deras, hanya cukup untuk membuat udara terasa lebih dingin dari biasanya. Lauren duduk di ruang tamu dengan lampu redup, televisi menyala tanpa suara. Tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin, namun ia tidak benar-benar berniat meminumnya.

Jam dinding menunjukkan pukul 21.47 WIB.

Arga belum pulang.

Lauren tidak lagi mengecek ponselnya sesering dulu. Ia sudah hafal pola—pesan singkat yang dibalas lama, atau tidak dibalas sama sekali. Ia meletakkan ponsel di meja, menatap pantulan wajahnya di layar hitam.

Wajah yang tampak lebih tua dari usianya.

Ia berdiri, berjalan ke jendela, dan menarik tirai sedikit. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu. Rumah di seberang tampak gelap, hanya satu lampu kecil menyala di lantai atas.

Lauren menatapnya lebih lama dari yang ia sadari.

Kenapa aku selalu melihat ke sana?

Ia menarik napas dan menutup tirai, seperti seseorang yang tertangkap basah oleh pikirannya sendiri.

Di dapur, Lauren merapikan sesuatu yang sebenarnya sudah rapi. Piring, meja, wastafel—semuanya hanya alasan untuk menunda kembali ke kamar, ke tempat di mana pikirannya selalu lebih ribut.

Tangannya berhenti ketika ia melihat pisau dapur kecil di dekat talenan.

Kilatan ingatan datang tiba-tiba—

darah di jari,

rasa perih,

dan tangan lain yang cepat melindunginya.

Lauren menutup matanya.

“Cukup,” gumamnya, hampir memohon.

Ia membalut ulang jari yang sebenarnya sudah sembuh, lalu kembali ke ruang tamu. Saat itulah ponselnya bergetar.

Pesan dari Arga.

Pulang agak malam. Jangan tunggu.

Tidak ada maaf.

Tidak ada penjelasan.

Lauren membaca pesan itu dua kali.

Lalu untuk pertama kalinya… ia tidak merasa ingin menangis.

Ia hanya merasa lelah.

Ia mematikan televisi dan berjalan ke teras depan. Hujan sudah berubah menjadi gerimis. Udara dingin menyentuh kulitnya, membuatnya sedikit menggigil.

Dan di sana—

di seberang jalan—

pintu rumah itu terbuka.

Asher berdiri di bawah atap terasnya, mengenakan jaket tipis. Rambutnya sedikit basah, wajahnya tampak pucat, namun matanya tetap tajam. Ia tidak langsung melihat Lauren—atau mungkin ia pura-pura tidak melihat.

Lauren ragu.

Ia seharusnya masuk kembali.

Ia seharusnya tidak memulai apa pun.

Namun langkahnya maju satu.

“Asher?”

Suara itu keluar lebih pelan dari yang ia kira.

Asher menoleh. Tatapan mereka bertemu. Tidak ada senyum, tidak ada basa-basi. Hanya keheningan singkat yang terasa… penuh.

“Kamu kehujanan,” kata Asher akhirnya, suaranya datar.

“Sedikit,” jawab Lauren. “Aku… cuma mau ambil udara.”

Asher mengangguk. Ia melangkah lebih dekat ke pagar pembatas, masih menjaga jarak. Selalu menjaga jarak.

“Kamu sendirian?” tanyanya.

Lauren tahu pertanyaan itu sederhana. Namun jawabannya terasa berat.

“Iya.”

Asher tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya berdiri di sana, menatap jalan basah. Keheningan kembali tercipta, tapi kali ini tidak canggung. Justru terasa… aman.

“Aku biasanya benci hujan,” ucap Asher tiba-tiba. “Terlalu banyak suara.”

Lauren menoleh. “Tapi kamu berdiri di luar.”

“Hujan lebih jujur daripada orang,” jawabnya singkat.

Lauren terdiam.

Kalimat itu terasa terlalu dalam untuk percakapan ringan. Namun entah kenapa, ia tidak ingin menghindarinya.

“Aku juga sering merasa begitu,” katanya pelan. “Lebih mudah berdiri di luar… daripada di dalam rumah.”

Asher menatapnya. Lama. Tidak tajam. Tidak dingin.

“Kalau kamu kedinginan,” katanya akhirnya, “masuk saja.”

Lauren mengangguk. “Iya.”

Namun ia tidak langsung masuk.

Malam itu, mereka tidak berbicara lama. Tidak ada pengakuan, tidak ada janji. Hanya dua orang yang berdiri di rumah masing-masing, dipisahkan oleh jalan sempit dan pilihan hidup yang rumit.

Saat Lauren kembali ke dalam, dadanya terasa aneh—bukan hangat sepenuhnya, bukan sesak sepenuhnya.

Sebelum menutup pintu, ia melirik sekali lagi ke seberang.

Asher sudah masuk.

Namun untuk pertama kalinya, Lauren menyadari satu hal yang membuatnya sulit tidur malam itu:

retakan dalam hidupnya bukan lagi sesuatu yang ingin ia perbaiki dengan diam.

Dan terkadang,

retakan adalah awal dari sesuatu yang tidak bisa lagi ditutup.

Lampu kamar menyala redup, cukup untuk membuat bayangan di dinding tampak lebih panjang dari seharusnya. Lauren berbaring memunggungi pintu, selimut menutup hingga dada, namun dingin tetap merayap masuk ke tulang-tulangnya.

Arga belum pulang.

Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul 01.18 WIB.

Lauren menghela napas pelan, lalu menarik ponselnya dari bawah bantal. Tidak ada pesan baru. Tidak ada panggilan tak terjawab. Hanya layar yang memantulkan wajahnya sendiri—mata lelah, lingkar hitam samar, bibir yang jarang lagi tersenyum tulus.

Ia mematikan layar dan meletakkan ponsel kembali.

Tidur saja, katanya pada diri sendiri.

Namun pikirannya menolak.

Malam ini terlalu sunyi. Terlalu panjang. Terlalu penuh dengan suara-suara yang tidak diucapkan.

Lauren membalikkan badan, menatap langit-langit kamar. Retakan kecil di sudut tembok itu sudah ada sejak lama, seperti pernikahannya—tidak pernah benar-benar runtuh, tapi juga tidak pernah utuh kembali.

Ingatan datang tanpa diundang.

Tentang tangan Asher yang diam namun sigap.

Tentang caranya mendengarkan tanpa menyela.

Tentang keheningan yang tidak menuntut apa pun darinya.

Lauren menutup mata, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

“Aku istri orang,” bisiknya lirih.

Kalimat itu terdengar seperti pengingat… atau hukuman.

Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela. Tirai disibakkan perlahan. Jalanan sudah kering, hujan berhenti meninggalkan bau tanah yang samar. Lampu rumah seberang masih menyala—lampu kecil di lantai atas.

Lauren berdiri lama di sana.

Tidak berharap apa-apa.

Tidak menunggu siapa pun.

Namun tetap saja… ia berdiri.

“Kenapa rasanya aku seperti… bernapas lagi?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Ia mengusap lengannya sendiri, mencoba mengusir rasa dingin yang bukan berasal dari udara malam.

Kembali ke tempat tidur, Lauren duduk bersandar pada sandaran ranjang. Selimut melorot, rambutnya terurai. Ia memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali ketika suara mobil melintas di kejauhan.

Bukan Arga.

Dadanya mengendur dengan cara yang membuatnya terkejut.

Bukan kecewa.

Bukan lega.

Hanya… kosong.

Lauren menarik napas dalam-dalam, menahannya beberapa detik, lalu menghembuskannya perlahan. Ia melakukan itu berulang kali, seperti seseorang yang sedang belajar menenangkan diri dari luka yang tak terlihat.

Sejak kapan aku harus belajar bernapas sendirian di rumahku sendiri?

Pikirannya kembali ke awal pernikahan—malam-malam di mana Arga pulang tepat waktu, memeluknya dari belakang, menanyakan harinya. Malam di mana kesunyian tidak pernah terasa mengancam.

Air mata menggenang tanpa ia sadari.

Lauren tidak menangis terisak. Tidak tersedu. Hanya satu-dua air mata jatuh, membasahi seprai, lalu berhenti. Seolah tubuhnya sudah terlalu lelah untuk benar-benar hancur.

Ia mengusap pipinya dan tertawa kecil—tawa pendek yang pahit.

“Lihat dirimu,” katanya lirih. “Masih menunggu.”

Jam menunjukkan pukul 02.03 WIB.

Lauren akhirnya berbaring kembali, memunggungi sisi kosong tempat Arga seharusnya berada. Ia memeluk bantal, bukan untuk membayangkan siapa pun—hanya untuk merasa ada sesuatu di lengannya.

Malam itu, Lauren tetap terjaga.

Bukan karena takut gelap.

Bukan karena menunggu seseorang pulang.

Melainkan karena untuk pertama kalinya, ia sadar:

kesepian terburuk bukanlah ketika kita sendirian—

tetapi ketika kita bersama seseorang yang tak lagi benar-benar ada.

Dan pikiran itu, sekali muncul,

tidak bisa lagi ditidurkan.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!