NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berbagi Kisah

Kabar rencana pernikahan Wina membuat hati Dion kembali terbakar oleh rasa cemburu dan kecewa. Ia terguncang dan sering melamun. Meskipun sudah mencoba untuk bersikap normal, tapi perubahan sikap itu mendapat perhatian orang di sekitarnya, terutama Meyleen.

“Lebih dari setahun lalu ia meninggalkanku dan meminta untuk melupakannya tapi sampai kini cinta dan rinduku tak pernah terkikis. Berapa waktu lagi yang aku butuhkan untuk melupakannya?” pikir Dion larut dalam lamunan.

“Hei! Melamun lagi,” seru Meyleen yang kembali dari kamar kecil dan kembali ke tempat duduknya di hadapan Dion. Keduanya sedang berada di sebuah restoran untuk makan siang sebelum menghadiri rapat bersama panitia maraton yang akan di gelar beberapa hari lagi.

“Oh maaf. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Itu karena kesepian sejak kau tinggalkan diriku,” sahut Dion berguyon menggunakan kalimat puitis. Ia sebenarnya berniat menggoda Meyleen yang terkadang menggunakan gaya bahasa serupa.

Gadis itu melemparkan senyum dan mengeluarkan tas rias kecilnya. “Aku tahu kau serius dengan ucapanmu dan tapi tidak ditujukan padaku, bukan?”

“Cuma ada Nona Mey di hadapanku. Memangnya pada siapa lagi?”

“Ada orang ketiga. Seseorang yang ada dalam pikiranmu,” sahut Meyleen sambil sibuk memperhatikan dirinya di cermin tangan.

“Tak sudikah dikau membagikan beban hati dan pikiranmu?” tambah Meyleen lagi yang ikutan bercanda menggunakan kalimat puitis sambil memperbaiki riasan wajahnya.

Dion tertawa sambil memperhatikan wajah cantik di hadapannya. “Aih, hanya kisah konyol. Tak cukup layak untuk dibagikan pada Nona Meyleen.”

“Aku tak pernah mengerti wanita. Selalu saja mengkhawatirkan penampilan padahal sudah pun cantik,” ujar Dion ingin mengalihkan pembicaraan.

“Seberapa cantik kah dia?” tanya Meyleen. Ia tidak terpancing untuk mengalihkan pembicaraan.

“Meyleen sangat cantik. Wanita paling cantik yang kutemui seharian ini.”

Kata-kata gombal Dion tak berpengaruh. Meyleen tetap mencari celah.“Kapan terakhir kali kau bertemu wanita yang lebih cantik dariku?”

“Wah, itu gampang. Tidak ada. Pokoknya Meyleen yang paling cantik.”

“Serius lah! Seberapa cantik kah perempuan yang telah mengecewakanmu?” tanya Meyleen membuat Dion tersudut dan terdiam. Karena tak mendapat jawaban, Meyleen kemudian mengalihkan tatapannya pada pemuda yang duduk di hadapannya itu.

“Aih, mengapa Meyleen membuatku tersudut begini?” keluh Dion sambil membalas tatapan Meyleen.

Giliran Meyleen yang merasa tersudut karena tatapan bola mata coklat Dion seolah telah menyihir dan membuatnya tak berdaya. Ia ingin terlelap oleh tatapan itu, tapi mengingat Dion justru sedang memikirkan perempuan lain, Meyleen pun menurunkan pandangannya. Kembali pada cermin kecil di tangannya.

“Kecantikan tidak ada relevansinya dengan kekecewaan. Tapi kupikir Meyleen lebih cantik,” Dion coba diplomatis.

Mendengar kata-kata itu, Meyleen kembali melempar pandangannya pada Dion dan sempat menangkap senyuman di bibir pemuda itu. Ia tak mempercayai kata-katanya.

“Bukan begitu kisah yang kudengar.”

“Kisah apaan?” tanya Dion.

“Kisah mengenai kau dan Wina. Sedikit banyak aku mendengar cerita yang beredar di kantor,” jelas Meyleen sambil menutup cermin kecil di tangannya dan membereskan tas rias kecilnya.

Dion menaikkan sebelah aslinya, kepalanya dicondongkan ke arah Meyleen.“Wah, aku tidak tahu ada kisah mengenai aku beredar di kantor. Kisahnya bagaimana?”

Meyleen tertawa kecil. Ia yakin umpannya akan disambar oleh Dion.“Kisahnya, dulu Dion punya pacar secantik bidadari, perempuan blasteran Australia-Indonesia. Katanya si Wina itu sangat menyayangimu tapi entah kanapa hubungan kalian berakhir. Isunya, si Wina itu meninggalkanmu demi karirnya di bidang entertainment.”

Mendengar kata-kata itu, Dion tertawa terpingkal-pingkal. Cukup lama ia merasa geli sampai-sampai harus memegangi perut menahan tawa.

“Halah! Yang namanya gosip di mana-mana sama saja. Selalu hanya menyisakan sedikit kebenaran, selebihnya adalah kebohongan yang datangnya entah dari mana.”

“Sudikah dikau menceritakan yang sesungguhnya?” tanya Meyleen setengah bercanda.

Sejenak Dion menatap perempuan muda di hadapannya. Meyleen tak hanya cantik dan pintar, ia juga adalah seorang perempuan mandiri, bertekad baja dan mampu beradaptasi dengan baik dengan semua kondisi.

Dion sangat yakin Meyleen mulai tertarik padanya. Tapi Dion tak ingin memberikan harapan pada perempuan yang sebenarnya mulai ia sukai itu.

“Mungkin kalau aku katakan yang sebenarnya dia akan menjaga jarak dariku,” pikir Dion.

Dion pun mulai bertutur.

“Dia memang lahir dan besar di Sydney tapi bukan blasteran Australia-Indonesia. Ayahnya Minahasa dan ibunya Tapanuli. Nenek dari pihak ayahnya memang blasteran Belanda-Tionghoa. Kakek dari pihak ayahnya juga adalah blasteran Minahasa-Arab.”

“Tapi dia lebih condong pada garis lokalnya, Minahasa-Tapanuli. Dia tak tahu apa-apa mengenai Belanda, Tiongkok apalagi Arab.”

“Dan dia meninggalkanku karena telah menemukan pria lain. Bukan karena ingin mengejar karir di bidang hiburan. Entah siapa yang mengarang cerita itu.”

Meyleen senang, umpannya disambar oleh Dion. Ia pun mulai menggali lebih jauh. “No hard feelings. Dari ceritamu sepertinya kalian memiliki perbedaan latar belakang.”

Dion menghembuskan nafas panjang. “Indeed. Secara sosial ekonomi kesenjangannya terlalu jauh membuat ibunya tak menyetujui hubungan kami. Mungkin tak nyaman dengan penolakan dari orang tua maka ia mencari pengganti yang setara.”

“Keluarganya pasti orang berada,” tebak Meyleen.

“Benar. Tapi kukira faktor sosial lah yang menjadi alasan utama ibunya tak menyukaiku.”

“Faktor sosial? Seperti apa?”

Dion merasa menyesali keputusannya mengucapkan kalimat terakhir itu. Untuk beberapa saat ia terdiam dan melempar pandangannya ke arah jendela restoran.

Meyleen segera saja menyadari Dion tidak nyaman dengan pertanyaannya.

“Tidak usah…”

Kalimat Meyleen terputus karena Dion telah lebih dahulu mengucapkan kalimatnya.

“Itu karena aku seorang yatim piatu.”

Meyleen terkejut dengan pengakuan Dion. Dengan rasa sesal ia memandangi pemuda yang masih menatap ke arah jendela di sisi kanan.

“Maaf. Aku tak menyangka pertanyaanku akan menyentuh sisi terdalam kehidupanmu.”

Dion menoleh ke arah Meyleen.

“Tidak apa-apa. Aku tidak suka menceritakan itu bukan karena ingin menyembunyikan siapa diriku sebenarnya. Aku hanya tak suka orang jadi kasihan padaku karena status itu.”

“Selain itu, setiap kali mengungkap status itu selalu saja memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain. Itu seperti membuka luka yang telah tertutup, rasanya sakit.”

Ia masih menatapi Meyleen untuk sejenak lalu merasa perlu melengkapi kisahnya agar Meyleen tidak mengajukan pertanyaan terkait lainnya.

“Aku ditinggalkan oleh ayah ketika usia setahun, dan ibuku menyusul ketika aku berusia 4 tahun. Aku tak tahu di mana mereka. Aku dibesarkan oleh kakek hingga usia 10 tahun. Setelah Kakek meninggal, aku tinggal bersama keluarga paman hingga usia 14 tahun. Selanjutnya aku bersekolah dan tinggal di sini sampai sekarang.”

Meyleen sempat terdiam mendengar penjelasan Dion. “Sekali lagi maaf. Aku hanya penasaran soal hubunganmu dengan Wina. Aku tak bermaksud mengorek luka lama di hatimu.”

“Hubunganku dengannya sudah lama berakhir. Lebih dari setahun lalu. Aku hanya belum bisa sepenuhnya melupakannya. Mungkin butuh waktu,” jelas Dion.

“By the way, aku yang patah hati, kok sepertinya justru Meyleen yang bersedih?” tanya Dion yang lalu tertawa kecil.

Merasa dirinya diledek, Meyleen pun ikutan tertawa sambil mengusap air mata yang berkumpul di sudut kedua matanya. Meskipun sudah menduga, tapi Meyleen tetap kecewa mendengar pengajuan bahwa Dion belum bisa melupakan mantan kekasihnya.

“Seberapa cantik kah dia?” Meyleen mengulangi pertanyaannya.

Dion mengernyitkan keningnya sejenak. “Mengapa perempuan selalu terobsesi untuk membandingkan kecantikan dirinya dengan orang lain?” pikirnya.

“Satu-satunya bagian yang benar dari gosip itu adalah soal kecantikan. Dia sangat cantik,” jawab Dion membuat Meyleen kembali merasa kecewa dan berkecil hati.

“Tapi bukan kecantikannya yang membuatku patah hati, melainkan kebaikan dan kasih yang pernah ia berikan. Aku kecewa karena janji cinta yang pernah ia ucapkan.”

“Itu tadi soal perbedaan. Lalu apa persamaan di antara kalian?” tanya Meyleen yang masih ingin menggali hubungan Dion dengan Wina.

“Apa yah? Hmm, Sepertiku, dia suka hal-hal yang sederhana dan menyederhanakan banyak hal dan ia juga menyukai kehidupan yang simpel.”

“Nah begitulah dengan kisahku. Bagaimana denganmu Meyleen?”

Pertanyaan itu sempat membuat Meyleen tersentak dari lamunannya. “Aku tak punya kisah yang bisa kuceritakan. Tak menarik.”

“Hey! Let’s be square!” seru Dion.

“Kan tidak ada yang menjadikan aku bahan gosip sepertimu,” Meyleen berkilah sambil tertawa, berusaha menghindar dari pertanyaan Dion.

“Siapa yang butuh gosip? Tanpa itu aku tahu ada sesuatu denganmu,” ujar Dion membuat Meyleen menghentikan tawanya.

“What do you know then?” tanyanya penasaran.

“Tentu saja tak banyak. Itu seperti sebuah hubungan yang tak kunjung berakhir, atau sesuatu yang ingin kamu akhiri tapi belum berhasil.”

“How do you know?” tanya Meyleen sambil membelalakkan matanya heran.

“Cuma tebakan.”

“Ayo dong Dion. Bagaimana kamu bisa tahu? Seseorang memberitahumu?” Meyleen penasaran.

“Ha? Aku tak mengenal seseorang yang mengetahui kehidupan pribadimu. Aku cuma menebak.”

“Lalu bagaimana kamu menebaknya?” tanya Meyleen tak sabar.

“Dari sikapmu menjawab beberapa panggilan telepon atau ekspresi wajahmu ketika membaca pesan yang masuk ke ponselmu,” jawab Dion.

“Trus, bagaimana kamu mengaitkannya dengan hubunganku dengan seseorang?” Meyleen tak percaya kalau Dion mengetahuinya hanya berdasarkan ekspresi.

Dion menatap geli ke arah Meyleen. Ia mengembangkan senyum sebelum memberikan penjelasan panjang.

“Meyleen memberikan nada dering khusus untuk nomor tertentu. Tentu saja nomor itu milik ‘somebody’, seseorang yang signifikan. Trus wajahmu tampak kesal setiap kali mendengar nada itu, itu artinya ada masalah antara Meyleen dan penelepon itu. Meskipun kesal, Meyleen tetap saja menjawab panggilan atau pesan masuk, itu artinya Meyleen memiliki hubungan komitmen dengan orang itu.”

“Karena Meyleen masih seorang nona alias belum menikah, aku menduga orang itu adalah tunanganmu atau orang yang ingin Meyleen jadikan mantan tunangan.”

Penjelasan Dion membuat Meyleen kaget setengah mati.

“Tapi itu hanya tebakan, lho. Kemungkinan untuk salah teramat besar dan aku tak akan pernah bersikap berdasarkan asumsi,” tambah Dion.

Meyleen yang sempat tertunduk mengangkat kepalanya sambil tersenyum getir. “Entah bagaimana kamu melakukannya, tapi Dion menebak dengan benar.”

“Aku memang bertunangan dengan seseorang, Peter. Kami pacaran sejak masa kuliah dan meningkatkan hubungan kami dengan bertunangan dua tahun lalu. Kami bahkan sudah berencana menikah, tapi rencana itu batal karena Peter memutuskan untuk menerima  tawaran beasiswa program PhD dari sebuah universitas di Inggris.”

“Akhir tahun lalu, secara tak sengaja aku mengetahui Peter memiliki hubungan dengan wanita lain. Dia tak bisa mengelak karena aku menemukan pesan-pesan mesra mereka berdua di ponsel Peter,” sambung Meyleen sambil menitikkan air matanya.

“Aku sudah memutuskan hubungan pertunangan kami. Tapi Peter tidak terima. Ia terus saja meminta agar aku menerimanya kembali dan berulang kali minta maaf kepada ayah dan ibuku. Dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Ia juga berjanji akan segera menikahiku setelah menyelesaikan program PhD-nya.”

Dion yang tak tega melihat Meyleen bersedih ingin menggenggam jemari gadis itu untuk menguatkannya, tapi ia tak mau Meyleen salah tanggap. Dion lalu mendekatkan kotak tisu yang ada di meja itu kepada gadis itu.

“Well, setidaknya aku bukan satu-satunya yang sedang patah hati,” ujar Dion tersenyum. Meyleen pun ikut tersenyum mendengar kalimat Dion.

Merasa waktunya tepat, Dion lalu menyentuh punggung tangan Meyleen yang terletak di atas meja. “Kita akan baik-baik saja. Setidaknya waktu akan menyembuhkan kita.”

Meyleen membalikkan tangannya dan menangkap serta meremas kuat telapak tangan Dion. “You promise?” tanya Meyleen.

“Kita berdua pasti akan mendapatkan jawabannya seiring waktu,” jawab Dion kembali tersenyum sambil menatap gadis itu.

“Terima kasih,” sahut Meyleen kembali menitikkan air mata tapi sambil tersenyum.

“Sudah! Hentikan air matamu. Nanti orang mengira kita berdua adalah pasangan yang sedang berbahagia,” ujar Dion melepaskan genggaman tangannya.

Kata-kata itu membuat Meyleen tertawa.

“Kok orang malah menduga bahagia?” tanya Meyleen sambil mengusap sisa air matanya.

“Iya dong! Mana ada orang bertengkar sambil menggenggam tangan. Tebakannya adalah aku sudah melamarmu dan Meyleen menerima dengan bahagia hingga berurai air mata.”

Penjelasan Dion membuat Meyleen tertawa keras.

“Aku tak tahu kalau Dion itu sangat aware dengan keadaan sekitar,” ujarnya setelah memuaskan tawanya. Bagaimanapun, ia merasa terharu ternyata selama ini Dion memperhatikannya, padahal ia merasa selama ini pemuda itu cuek pada hal-hal sentimental seperti itu.

“Ah, mungkin hanya bagian dari survival instings. Aku tak punya banyak hal untuk diandalkan, jadi harus coba bertahan dengan sedikit yang kumiliki,” jelas Dion.

“Aku penasaran dengan kemampuan menebakmu. Apa yang bisa kamu tebak mengenai orang itu,” Meyleen menunjuk seorang pelayan perempuan restoran.

“Tak banyak. Tapi aku merasa yakin dia baru bekerja di sini beberapa hari. Pasti kurang dari seminggu,” tebak Dion.

“Dion sudah sering kemari, ya?” tanya Meyleen masih sambil mengamati perempuan yang tadi ia tunjuk.

“Lho, aku tahu tempat ini kan justru dari Meyleen.”

“Baiklah, sekarang kita buktikan seakurat apa tebakanmu.”

Meyleen lalu memanggil pelayan itu.

“Mbak minta bill-nya, ya!” katanya kepada pelayan perempuan yang menghampiri meja Meyleen dan Dion.

“Oh ya, Mbak sudah berapa lama bekerja di sini?” tanya Meyleen.

“Saya orang baru, Bu! Baru dua hari,” jawab pelayan itu. “Ada sesuatu, Bu?” tanyanya ketika mendapati Meyleen dan Dion saling senyum.

“Oh tidak. Bukan apa-apa. Kami hanya baru lihat Mbak saja, jadi penasaran,” Meyleen berbohong.

Sepeninggal pelayan itu Meyleen kembali menatap Dion dengan kagum. “Bagaimana Dion bisa tahu?” tanyanya penasaran.

“Itu gampang. Lihat seragamnya yang kebesaran. Tentu saja itu bukan seragam yang diperuntukkan buatnya. Lalu, gerak-geriknya yang bersemangat, bahkan terlalu bersemangat ketimbang pelayan lain yang sedikit ogah-ogahan. Dia bersemangat karena senang diterima bekerja di sini.”

“Kalau kedua hal itu digabung, seragam yang kebesaran dan semangat yang sedikit berlebih, aku berasumsi dia baru bekerja di sini,” jelas Dion panjang lebar.

Meyleen menatap pemuda itu dengan kagum. “Benar juga, ya. Asalkan kita mau memperhatikan dengan baik-baik sebenarnya kita bisa mendapatkan informasi yang banyak dari orang-orang di sekitar kita.”

“Coba Dion berikan informasi mengenai orang-orang di ruangan ini,” Meyleen memberi tantangan.

“Wah, aku tentu belum memperhatikan mereka semua. Lagipula butuh waktu untuk mendapatkan informasi yang lebih baik. Tapi mari kita coba,” Dion menjawab tantangan Meyleen.

“Pria di meja sebelah kita sedang mengalami masalah finansial.”

Kata-kata Dion mengundang senyum heran Meyleen. Tapi dengan gestur bahu dan mata membesar ia ingin Dion memberi penjelasan lebih banyak.

“Dia hanya memesan segelas teh manis sejak tadi padahal jam makan siang hampir lewat. Ia mengenakan jam tangan dan sepatu yang tampak mahal, tapi kutebak hanyalah imitasi.”

“Ia terus saja memperhatikan dan memamerkan ponsel mewahnya tapi tampak gelisah dan beberapa kali memeriksa kertas kecil yang ia keluarkan dari kantongnya. Kuduga itu bon atau struk ATM.”

“Kesimpulan dari tebakanku, ia menunggu temannya untuk meminjami uang tapi temannya itu tidak muncul juga,” bisik Dion membuat Meyleen tertawa.

“Selain karyawan baru yang bersemangat tadi, hanya dia yang tampak sangat nyaman,” lanjut Dion kini menunjuk seorang karyawan wanita yang sedang ngobrol dengan petugas kasir, menumpukan tangan pada gerai sambil menimpakan kaki pada betis.

“Artinya apa?” tanya Meyleen.

“Aku menduga bos, atasan atau pemilik sedang berada di restoran ini membuat para karyawan gugup. Nah dia tampak santai, padahal dia tak terlihat sebagai seorang manajer atau supervisor. Gesturnya agak genit, sepertinya ia punya hubungan khusus dengan atasannya itu,” bisik Dion membuat Meyleen membesarkan matanya heran sekaligus gembira.

"Selingkuhan, gitu?” tanya Meyleen.

“Tebakanku cenderung begitu. Tapi bisa juga kedekatan lain yang kita tidak tahu.”

Meyleen memandangi perempuan yang dimaksud Dion. Segera saja ia menyetujui semua perkataan pemuda jangkung itu. Ia kembali merasa geli lalu memberi cubitan di lengan Dion.

Dion mengusap lengannya. Tapi ia belum selesai dengan tebak-tebakannya.

“Trus pria itu, sepertinya sang supervisor. Kutebak punya masalah dengan istrinya. Wajahnya lesu kurang tidur, rambutnya sudah waktunya dipotong tapi belum ia lakukan,” Dion memberi tebakan pada target berikutnya.

“Bagaimana Dion menduga ia punya masalah dengan istrinya?” tanya Meyleen.

“Perhatikan kemeja putihnya. Tidak ada wanita yang menyetrika sebegitu buruk. Kemungkinan istrinya sedang kabur atau mengungsi karena bertengkar dengannya, jadi pria itu menyetrika sendiri.”

Penjelasan Dion membuat Meyleen terbahak-bahak.

“Sudah… sudah..! Cukup! Aku tak tahu bagaimana kamu melakukan semua itu. Apa kamu selalu punya penilaian pada semua orang?” tanya Meyleen.

“Kan sudah kukatakan, itu hanya asumsi sementara dan tebakan,” jelas Dion.

Pembicaraan keduanya terputus karena pelayan tadi memberikan bill yang diletakkan di atas nampan kecil pada Dion.

“Let’s make her day even better!” cetus Dion pada Meyleen ketika keduanya beranjak berdiri hendak meninggalkan restoran usai membayar tagihan.

“How? Dion mau kasih tips padanya?” tanya Meyleen.

“No. Lihat saja,” sahut Dion.

Ketika Dion dan Meyleen melewati pintu utama restoran di mana penyambut tamu berdiri, Dion menyempatkan diri berterima kasih karena menu makanan siang yang lezat.

Pria dengan rompi kuning yang tadi Dion tebak seorang supervisor juga mendekati mereka dan mengucapkan terima kasih atas kunjungan Dion dan Meyleen.

Dion mendekati pria itu dan berkata, “Wah selamat Pak! Pelayanan di restoran anda sangat baik. Terutama pelayan itu, saya kagum padanya. Sangat ramah dan membantu sekali,” ujar Dion sambil menunjuk pada wanita pelayan yang tadi ia tebak sebagai karyawan baru.

Mendengar pujian Dion, sang supervisor tampak senang dan menganggukkan kepalanya.

“Wah, kamu baik sekali Dion. Karyawan baru pasti akan mendapat pujian dari atasannya,” ujar Meyleen gembira.

Meyleen semakin kagum pada Dion, padahal beberapa bulan lalu ia menganggap pemuda itu sangat misterius dan tertutup.

“Dengan kemampuanmu itu, kamu bisa menjadi seorang tenaga penjual yang hebat,” Meyleen melanjutkan obrolan usai duduk jok kiri mobilnya sendiri karena Dion hari itu menyopirinya.

“Masa sih? Penjual apaan?” tanya Dion mulai mengemudikan mobil.

“Di zaman sekarang, karyawan yang paling sejahtera adalah marketing, bonusnya besar. Misalnya marketing di bidang asuransi, properti atau bahkan komoditi,” jelas Meyleen.

“Aku bisa rekomendasikan kamu pada bagian marketing di holding company kalau Dion mau,” lanjut Meyleen.

“Aih, jangan dulu. Saat ini duniaku adalah desain dan komputer. Aku baru saja diterima sebagai freelance designer lho, ingat?”

“Someday may be! Thanks anyway!” lanjut Dion.

Pertemuan pada siang itu semakin mengakrabkan keduanya. Terutama bagi Meyleen yang merasa terbantu sekali oleh Dion yang secara tak langsung sudah menjembataninya dengan para eksekutif muda yang berada di naungan organisasi yang dipimpin Ricky Rizky alias Kiki.

Pergaulan dan lingkaran sosial Meyleen tiba-tiba saja menjadi sangat luas. Hal itu memberinya akses kepada berbagai sektor usaha dan bisnis, mulai dari BUMN hingga usaha ritel.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!