Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*BAB 21: KETIKA DUNIA RUNTUH DALAM SATU PAGI**
# *
Alara bangun pagi itu dengan perasaan yang... berbeda. Bukan bahagia, tapi... tenang. Tenang karena semalam Nathan bilang "aku cinta kamu". Tenang karena desainnya—setelah Nathan bantu brainstorming sampai jam 3 pagi—akhirnya jadi. Akhirnya sempurna.
Ia menatap Nathan yang masih tidur di sampingnya—wajah yang tenang, napas yang teratur. Untuk sesaat, Alara ingin waktu berhenti di sini. Di momen di mana semuanya baik-baik saja.
Tapi ia harus bangun. Hari ini presentasi ke Mr. Hartawan. Hari di mana ia harus buktiin—buktiin kalau Nathan tidak salah percaya.
Alara bangkit perlahan, mencium dahi Nathan dengan lembut sebelum bersiap.
---
**JAM 8 PAGI, KANTOR ERLANGGA CORP**
Alara tiba lebih awal dari biasanya. Ia langsung ke ruang kerjanya, menyalakan laptop, membuka file presentasi yang sudah ia finalisasi semalam.
Tapi layar laptopnya loading lebih lama dari biasanya.
Alara mengernyit. *Aneh. Biasanya nggak selambat ini.*
Akhirnya desktop muncul. Ia membuka folder "Emerald Heights Project"—folder yang berisi semua file desain, presentasi, dan dokumen pendukung.
Klik.
Folder terbuka.
Dan jantung Alara berhenti.
Kosong.
Folder itu... kosong.
"Apa...?" Alara menatap layar dengan pandangan tidak percaya. Tangannya gemetar menggerakkan mouse, mengklik refresh berkali-kali.
Tetap kosong.
"Tidak tidak tidak tidak..." Bisikannya mulai panik. Ia membuka recycle bin—kosong juga. Membuka backup folder—kosong.
Semua file hilang.
SEMUA.
Desain yang ia kerjakan berhari-hari. Presentasi yang ia finalisasi semalam bersama Nathan. Dokumen pendukung. Semuanya—hilang.
Napas Alara mulai pendek. Dadanya sesak. Tangannya gemetar hebat di atas keyboard.
"Tidak mungkin... ini tidak mungkin..." Suaranya bergetar—hampir histeris.
Ia mencoba cek backup cloud—login, loading, dan...
*File not found.*
Alara menutup laptopnya kasar—lalu membukanya lagi dengan harapan ini cuma mimpi buruk. Tapi tidak. File-file itu tetap hilang.
"SIAL!" Teriakan pertama yang keluar dari mulutnya—penuh frustasi dan kepanikan.
Rian yang baru datang langsung menghampiri dengan wajah khawatir. "Alara? Kenapa? Ada apa?"
"File... file aku hilang semua. Semuanya, Rian. SEMUANYA!" Suara Alara meninggi—hampir menjerit. Tangannya menarik rambutnya sendiri, napasnya tersengal.
"Ha?! Gimana bisa?!" Rian langsung mengecek laptop Alara. "Ini... ini kayak kena virus atau... atau dihapus paksa dari sistem."
"Dihapus? SIAPA YANG HAPUS?!" Alara berdiri—kursinya jatuh ke belakang dengan bunyi keras. Semua mata di divisi tertuju padanya.
"Alara, tenang dulu—"
"GIMANA AKU BISA TENANG?!" Air matanya sudah mengalir—air mata panik, frustasi, dan putus asa. "Presentasi jam 10! Tinggal DUA JAM! Dan file aku HILANG SEMUA!"
Tangannya gemetar hebat. Kakinya lemas. Ia hampir jatuh kalau Rian tidak menahan.
"Aku... aku harus lapor Nathan... aku harus—" Alara meraih ponselnya dengan tangan gemetar, mencoba menelepon Nathan.
Tapi sebelum sempat, Pak Hendra masuk dengan wajah tegang.
"Alara, Mr. Hartawan sudah sampai. Dia minta presentasi dimajukan jadi jam 9. Sekarang sudah jam 8.30. Kamu siap?"
Dunia Alara berhenti berputar.
"Pak... file saya... file saya hilang semua—"
"APA?!" Pak Hendra menatapnya dengan mata melotot. "Hilang? Gimana bisa hilang?! Presentasi paling penting tahun ini dan kamu bilang FILE HILANG?!"
"Saya tidak tahu Pak! Tadi pagi saya buka laptop, semuanya sudah—"
"Itu tanggung jawabmu, Alara! Kamu lead designer! Kamu yang harus pastikan semuanya aman!" Pak Hendra berteriak—tidak peduli semua orang mendengar.
Alara berdiri membeku—tubuhnya gemetar hebat. Mulutnya terbuka tapi tidak ada suara keluar.
"Pak, ini pasti ada yang sabotase—" Rian mencoba membela.
"Sabotase?! Atau Alara memang tidak capable?!" Pak Hendra menatap Alara dengan tatapan yang... meremehkan. "Dari awal saya sudah bilang, dia terlalu junior untuk proyek ini. Tapi CEO ngotot. Dan sekarang? SEKARANG KITA SEMUA YANG KENA AKIBATNYA!"
Setiap kata seperti tamparan keras di wajah Alara.
"Pak Hendra, tolong—" Alara mencoba bicara tapi suaranya bergetar terlalu hebat.
"Kamu punya 30 menit. Kalau kamu nggak bisa presentasi, aku yang akan ambil alih. Dan aku akan pastikan CEO tahu kalau ini KESALAHANMU." Pak Hendra berbalik pergi—meninggalkan Alara yang berdiri dengan tubuh gemetar dan air mata yang mengalir deras.
Bisikan mulai terdengar dari seluruh divisi.
"Gila, file-nya hilang semua?"
"Makanya, orang yang nggak capable jangan dipaksa..."
"Kasian Mr. Hartawan udah jauh-jauh datang..."
"Ini malu-maluin banget..."
Setiap bisikan seperti pisau yang menusuk.
Alara merosot ke kursinya—atau lebih tepatnya, tubuhnya tidak sanggup berdiri lagi. Tangannya menutupi wajahnya, menangis dengan isak yang tidak bisa ditahan.
"Kenapa... kenapa ini terjadi..." isaknya—suara yang penuh luka, penuh kepanikan.
Rian memeluk bahunya. "Alara, kita masih punya waktu. Kita bisa buat ulang—"
"BUAT ULANG?!" Alara mengangkat wajahnya—mata merah, wajah basah air mata. "Itu desain yang aku kerjakan BERHARI-HARI! Gimana aku bisa buat ulang dalam 30 MENIT?!"
Ia benar. Ini mustahil.
Alara meraih ponselnya lagi—menelepon Nathan dengan tangan gemetar.
*Ring... ring... ring...*
"Angkat... kumohon angkat..." bisiknya putus asa.
*"Halo? Alara?"* Suara Nathan dari seberang—terdengar sedang di perjalanan.
"Nathan..." Suara Alara bergetar hebat—hampir tidak bisa bicara. "File... file aku hilang semua. Presentasi dimajukan jadi jam 9. Aku... aku nggak tahu harus gimana—"
*"APA?! TUNGGU DI SANA! AKU DATANG SEKARANG!"*
Sambungan terputus.
Tapi Nathan masih di perjalanan. Dan presentasi tinggal 20 menit lagi.
---
**JAM 9 PAGI, RUANG KONFERENSI**
Alara berdiri di depan ruang konferensi dengan tubuh yang gemetar hebat. Di dalamnya, Mr. Hartawan sudah duduk—pria paruh baya dengan aura yang... intimidating. Di sampingnya, jajaran direksi Erlangga Corp dan Pak Hendra yang menatap Alara dengan tatapan... kecewa.
Nathan belum datang.
Alara masuk dengan langkah goyah. Laptop di tangannya—laptop yang kosong, yang tidak ada apa-apa di dalamnya.
"Miss Alara," sapa Mr. Hartawan dengan aksen Singapura yang kental. "I've been waiting. Let's start the presentation."
Alara berdiri di depan—kaki gemetar, tangan berkeringat dingin.
"Mr. Hartawan, saya... saya mohon maaf—" Suaranya bergetar.
"Just start, please. I have another meeting at 10."
Alara menatap layar proyektor yang kosong. Menatap laptop yang tidak ada file-nya. Menatap orang-orang yang menatapnya dengan tatapan menunggu—atau lebih tepatnya, menunggu kegagalan.
"Saya... file saya—" Alara tidak bisa melanjutkan. Tenggorokannya tercekat.
"Where is the presentation file?" Mr. Hartawan mulai tidak sabar.
"File... file saya hilang semua tadi pagi. Saya tidak tahu kenapa—"
"HILANG?!" Mr. Hartawan berdiri—wajahnya memerah. "You're telling me, for the biggest project this year, you LOST the files?!"
"Saya mohon maaf Mr. Hartawan, ini bukan—"
"This is UNPROFESSIONAL!" Mr. Hartawan menatap jajaran direksi dengan tatapan marah. "Is this the quality of Erlangga Corp? Appointing someone who can't even SECURE their files?!"
Alara berdiri membeku—seluruh tubuhnya gemetar. Air matanya jatuh tapi ia tidak peduli lagi.
Pak Hendra berdiri. "Mr. Hartawan, saya mohon maaf atas ketidakprofesionalan ini. Saya yang akan—"
Pintu ruang konferensi terbuka keras.
Nathan masuk—napasnya tersengal, jas berantakan, tapi matanya langsung tertuju pada Alara yang berdiri dengan wajah hancur.
"Mr. Hartawan," Nathan langsung mengambil alih—suaranya tegas walau napasnya masih berat. "Saya mohon maaf atas keterlambatan. Ada technical issue yang di luar kendali tim. Tapi saya punya backup file di laptop saya."
Ia menatap Alara—tatapan yang bilang *"aku di sini, kamu tidak sendirian"*.
Tapi Alara tahu—Nathan tidak punya backup. Ini kebohongan untuk menyelamatkannya.
"Fine," kata Mr. Hartawan ketus. "Show me."
Nathan membuka laptopnya—dan yang muncul adalah desain lama, desain yang belum di-revisi. Desain yang... belum sempurna.
Nathan presentasi dengan confident—menjelaskan konsep, menjelaskan visi. Tapi Alara bisa lihat—Mr. Hartawan tidak impressed. Wajahnya tetap datar, bahkan sesekali menggeleng.
Setelah 20 menit, presentasi selesai.
Mr. Hartawan berdiri. "I'm disappointed, Mr. Nathan. This is not what I expected from Erlangga Corp. I need time to reconsider this partnership."
Lalu ia keluar—meninggalkan ruangan yang sunyi mencekam.
Pak Hendra menatap Alara dengan tatapan yang... murka. "Ini semua gara-gara kamu."
Lalu ia keluar, diikuti direksi lainnya yang menatap Alara dengan tatapan kecewa.
Tinggal Nathan dan Alara.
Alara berdiri membeku—air matanya mengalir deras, tubuhnya gemetar, napasnya tersengal.
"Alara—" Nathan melangkah mendekat.
"Jangan." Alara mundur—suaranya bergetar. "Jangan... jangan dekatin aku."
"Alara, ini bukan salahmu—"
"INI SALAHKU!" Alara berteriak—suara yang penuh luka. "Aku yang kehilangan file! Aku yang gagal presentasi! Aku yang buat perusahaan ini malu! AKU!"
"Ada yang sabotase, kita bisa investigasi—"
"UNTUK APA?!" Alara menatap Nathan dengan mata yang hancur. "Damage sudah terjadi! Mr. Hartawan sudah kecewa! Dan semua orang... semua orang tahu kalau aku MEMANG TIDAK CAPABLE!"
Suaranya pecah—bergetar hebat di akhir kalimat.
Nathan mencoba memeluknya tapi Alara menepis.
"Kamu salah, Nathan," bisik Alara—suara yang serak, yang hancur. "Kamu salah percaya sama aku. Kamu salah kasih aku proyek ini. Kamu salah... kamu salah pikir aku bisa."
"Jangan bilang begitu—"
"TAPI ITU KENYATAAN!" Air mata Alara mengalir semakin deras. "Aku gagal. Aku benar-benar gagal."
Ia berbalik, berlari keluar ruangan—meninggalkan Nathan yang berdiri dengan tangan terulur, dengan tatapan yang... hancur juga.
---
**TOILET WANITA, LANTAI 15**
Alara berlari masuk toilet—masuk ke bilik paling ujung, menutup pintu, dan merosot ke lantai.
Ia menangis—menangis dengan isak yang dalam, yang penuh luka yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Seluruh dunia yang ia bangun—kepercayaan Nathan, kepercayaan diri, harapan untuk membuktikan diri—semuanya runtuh dalam satu pagi.
Dan yang paling sakit—ia tidak tahu siapa yang melakukan ini. Siapa yang menghapus file-nya. Siapa yang menghancurkan hidupnya.
Tapi di luar toilet, di balik pilar yang tidak terlihat, Kiara berdiri dengan ponsel di tangan—layar yang menunjukkan aplikasi remote access yang baru saja ia gunakan tadi malam untuk menghapus semua file di laptop Alara.
Dan di wajahnya—ada senyum tipis yang dingin.
*Maafkan aku, Alara. Tapi ini demi Nathan. Demi cinta.*
---
**[BERSAMBUNG KE BAB 22]**