Bagi Fahreza Amry, hinaan dan cemoohan ayah mertuanya, menjadi cambuk baginya untuk lebih semangat lagi membahagiakan keluarga kecilnya. Karena itulah ia rela pergi merantau, agar bisa memiliki penghasilan yang lebih baik lagi.
Namun, pengorbanan Reza justru tak menuai hasil membahagiakan sesuai angan-angan, karena Rinjani justru sengaja bermain api di belakangnya.
Rinjani dengan tega mengajukan gugatan perceraian tanpa alasan yang jelas.
Apakah Reza akan menerima keputusan Rinjani begitu saja?
Atau di tengah perjalanannya mencari nafkah, Reza justru bertemu dengan sosok wanita yang pernah ia idamkan saat remaja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Marisa yang galau
Rinjani menatap kepergian Reza dengan memendam kekesalan yang luar biasa. Dia merasa, Reza seperti sengaja mempersulit dirinya untuk bercerai. Dia menghampiri ayah ibunya dengan wajah cemberut.
"Sudahlah, tidak perlu kamu risaukan. Ayah akan mencari pengacara yang hebat untuk membantumu memenangkan kasus ini," ucap Pak Bondan mencoba menenangkan Rinjani.
"Ayah pasti akan melakukan segala cara untuk membantumu," lanjutnya berkata seraya menepuk pundak anak perempuannya dengan lembut.
Bu Rukmini kemudian memeluk Rinjani. "Kamu harus kuat, Nak. Kami ada di sini untuk mendukungmu."
Rinjani mengangguk lalu menyeka airmatanya sambil tersenyum tipis. Dia merasa lega karena memiliki keluarga yang sangat mendukungnya. Oleh sebab itu, dia akan terus memainkan perannya dengan baik, meski harus berbohong demi melindungi dirinya sendiri.
Dari kejauhan Reza menatap Rinjani dengan pandangan yang rumit. Tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Tidak aku sangka ternyata kamu semunafik itu, Rinjani," batin Reza.
Belum genap satu tahun dia meninggalkan istrinya, bekerja di luar pulau, tetapi wanita itu telah berubah dengan drastis. "Aku benar-benar sudah tidak mengenalimu lagi, Jani. Entah ke mana perginya Rinjaniku yang dulu begitu polos dan lugu. Atau inikah sifat aslimu yang sebenarnya?"
Reza menggelengkan kepala, lantas mengusap wajahnya dengan kasar. Dimas menepuk pundaknya, dia tahu sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Balik yuk, Za," ajak Dimas seraya menyalakan motornya.
Reza menghela napas berat, lalu mengangguk. Keduanya pun meninggalkan halaman gedung pengadilan.
"Oh ya, Za. Bagaimana dengan hak asuh anak? Kamu nggak mempermasalahkannya?" tanya Dimas kepo setelah mereka sampai di rumah.
"Bukankah anak di bawah usia dua belas tahun hak asuh jatuh pada ibunya?" Reza balik bertanya.
"Iya juga, sih?" sahut Dimas.
"Aku sih, nggak mau memperebutkan itu. Asalkan Rinjani nggak akan membatasiku untuk menemui Dhea, aku rasa nggak masalah," timpal Reza.
"Tapi, Za. Kenapa kamu tidak mencoba bernegosiasi sama Rinjani. Kamu mengabulkan gugatannya asal hak asuh anak jatuh padamu," cetus Dimas seraya mengangkat satu alisnya.
"Dengan begitu sekali gayung dua pulau terlampaui. Bagaimana?" imbuhnya sambil tersenyum penuh arti.
"Waaah...ternyata kamu cerdas juga, Dim. Nggak sia-sia aku menjadikanmu teman berdiskusi," Reza tersenyum lebar, sembari mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Dimas sebagai rasa terimakasih.
Keduanya lantas tertawa bersama seakan tak ada beban. Mereka bahkan tidak menyadari bahwa Rinjani tengah melintas di depan rumah Dimas. Hatinya merasa terbakar melihat keakraban keduanya.
"Rupanya dia tinggal di sini dan bersekongkol untuk melawanku," batin Rinjani. "Kalian pikir aku takut? Aku pastikan akan menyewa pengacara yang handal untuk mengalahkanmu, Reza!" imbuhnya dengan wajah mengeras dan tangan mengepal erat.
"Kamu kenapa, Jani? Apa ada yang membebani pikiranmu?" tanya sang ibu.
"Tidak, Bu." Rinjani menggelengkan kepala.
"Oh ya, Pak. Memangnya Bapak kenal pengacara yang mumpuni dari siapa?" Rinjani bertanya, seraya menatap sang ayah dengan rasa ingin tahu.
"Untuk yang satu itu, biar bapak yang urus. Kamu tinggal tahu beres," ujar Pak Bondan meyakinkan.
"Bapak, yakin?" tanya Rinjani lagi.
"Oh...lha iyo, to," sahut Pak Bondan dengan jumawa.
"Udah, Nduk. Percaya saja sama bapakmu." Bu Rukmini menimpali.
*
Sementara itu, nun jauh di seberang pulau, Marisa tampak sedang berdiri di tepi jendela, menatap ke luar dengan pandangan yang jauh dan mendalam. Wajahnya yang cantik tampak gelisah, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Marisa menghela napas dalam dan panjang, mencoba melepaskan beban pikiran yang membelenggunya. Mata indahnya tampak memerah, seperti baru saja menangis. Namun, dia segera mengusap matanya dengan jari-jarinya yang lembut, dan kembali menatap ke luar jendela dengan pandangan yang kosong.
Tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Dia berpaling, dan melihat seorang pria yang tampan dan berwibawa berdiri di ambang pintu. Pria itu tersenyum seraya menggelengkan kepala.
"Apa yang kamu pikirkan, Kak?" tanyanya pada sang kakak.
"Sudah sebulan ini Reza belum kembali bekerja, dan aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Atau mungkin..." Marisa tidak melanjutkan ucapannya.
"Jika kamu merasa khawatir padanya, sebaiknya kamu telepon lah dia," saran sang pria yang bernama Sandy dan merupakan adik kandung Marisa.
"Apakah aku harus menelponnya?" Marisa terlihat bingung dan ragu-ragu bagaimana harus memulai.
Sandy mengangguk pelan, dia seolah memahami kebingungan sang kakak. "Mungkin kamu harus mencoba menghubunginya, Kak," katanya dengan suaranya yang tenang.
"Kamu tidak akan tahu apa yang terjadi padanya jika kamu tidak mencoba menghubunginya," lanjutnya menambahkan.
Tanpa disangka dia pun berinisiatif menghubungi Reza, dan tersambung yang langsung di terima oleh Reza.
"Halo, Mas Reza. Bagaimana kabarnya?" tanya Sandy.
"Ini sudah sebulan, tapi Mas Reza belum kembali. Apa ada masalah di sana?" imbuhnya bertanya.
"Oh iya, Pak Sandy. Sebelumnya saya minta maaf. Saat ini saya sedang dalam masalah dengan keluarga."
"Mas Reza, ada masalah? Apa masalahnya sangat berat? Emmm...apa perlu bantuan saya?" cerca Marisa dengan pertanyaan.
Kekhawatiran terdengar begitu jelas dari nada suaranya Marisa membuat Sandy-adiknya, kembali menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat tingkah kakaknya yang menurutnya sangat lucu.
Dari seberang telepon, Reza sendiri tampak mengernyit bingung, kepalanya dipenuhi tanda tanya mendengar cecaran pertanyaan dari wanita yang merupakan bosnya itu.
"Begini, Bu. Jika dijinkan saya akan kembali bekerja setelah urusan saya selesai," ucap Reza.
"Mohon doanya semoga urusan saya dengan istri cepat tuntas. Saat ini saya sedang mengurus perceraian dengan istri saya." Reza berkata jujur.
"Hahhh..." Marisa menutup mulutnya dengan mata membelalak.
"Emmm... Apa, Mas Reza butuh bantuan saya? Seorang pengacara mungkin?" tawar Marisa.
"Pengacara, ya...?" Reza terdiam sesaat. Dia tampak berpikir, tetapi Dimas yang berada di sampingnya menyarankan agar Reza menerimanya.
"Apa tidak masalah, Bu?" tanya Reza ragu-ragu.
"Tentu saja tidak, Mas," jawab Marisa sambil tersenyum, meskipun Reza tak bisa melihatnya.
*
"Sayang...bagaimana hasil sidang pertamamu tadi? Semua berjalan lancar, kan?" tanya Farhan via telepon dengan tidak sabar.
"Si Reza si*lan itu, sepertinya sengaja ingin mempersulit proses perceraian kami," keluh Rinjani dengan kesal.
"Mempersulit bagaimana maksudnya?" tanya Farhan tak mengerti.
"Kamu punya kenalan pengacara nggak, Mas?" Rinjani malah balik bertanya. "Biar cepat prosesnya, sepertinya Mas Reza gak akan menyerah begitu saja," lanjutnya menambahkan.
"Pengacara, ya?" Farhan terdiam seolah memikirkan sesuatu.
"Kamu kan, bekerja di instansi pemerintahan. Masa iya, nggak punya koneksi pengacara satu orang pun." Rinjani mendesah pelan, ada rasa kecewa juga khawatir dari tutur katanya.
*
Dua minggu kemudian sidang kembali di gelar. Baik Reza maupun Rinjani didampingi oleh masing-masing seorang pengacara. Kedua nya sama-sama teguh pada kebenaran yang mereka yakini. Sehingga hakim memutuskan menunda sidang.
Dengan wajah memerah menahan amarah, Rinjani menghampiri Reza setelah keluar dari ruangan. "Kenapa kamu masih saja datang sih, Mas? Apa mau kamu yang sebenarnya?" gerutu Rinjani dengan kesal.
"Apa mau-ku?" Reza melipat satu tangannya di dada, sedangkan satu tangannya lagi menyentuh dagunya seolah sedang berpikir.
"Aku mau...?" Reza tersenyum menyeringai.
masih mending Sean berduit, lha Farhan?? modal kolorijo 🤢
Siapa yg telpon, ibunya Farhan, Rinjani atau wanita lain lagi ?
Awas aja kalau salah lagi nih/Facepalm/
maap ya ibuu🙈🙈
Rinjani....kamu itu hanya dimanfaatkan Farhan. membuang Reza demi Farhan dan ternyata Farhan sudah mencari mangsa yang lain😂