NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.3k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lidah Tak Bertulang

Pagi itu, Liang Wu membawa bangkai burung pipit kering itu ke hadapan Guru Besar Xuan. Ia membungkusnya dengan saputangan putih, membawanya seolah-olah itu adalah bukti kejahatan perang.

Namun, reaksi yang didapatkannya bukanlah kemarahan, melainkan desah napas panjang yang penuh kekecewaan.

"Wu'er," kata Guru Xuan, memandang bangkai kecil di telapak tangan muridnya. "Ini hanya bangkai burung yang mati karena sakit atau dimangsa laba-laba racun. Hutan ini penuh dengan hal-hal seperti itu."

"Tidak ada laba-laba di Gunung Awan Putih yang bisa menghisap darah hingga kering seperti ini, Guru!" protes Liang Wu, suaranya meninggi satu oktaf. "Ini adalah Teknik Penyerap Darah. Duan melakukannya. Saya menemukannya di dekat kamarnya!"

Guru Xuan meletakkan cangkir tehnya dengan sedikit keras. Bunyi tak keramik beradu dengan meja kayu menggema di ruangan sunyi itu.

"Tuduhan tanpa bukti adalah fitnah, Liang Wu. Dan fitnah adalah pedang bermata dua yang akan melukai pemegangnya sendiri." Guru Xuan menatap muridnya tajam. "Aku melihat Duan bermeditasi sepanjang malam. Lampu kamarnya menyala. Bagaimana dia bisa membunuh burung ini jika dia sedang menyalin sutra?"

Liang Wu terdiam. Lampu menyala? Itu trik paling tua di dunia persilatan! Tapi ia tahu, di mata gurunya yang suci, kebohongan serumit itu tidak masuk akal.

"Guru..." Liang Wu mencoba sekali lagi, suaranya merendah, memohon. "Kebaikan Guru adalah samudra. Tapi tolong, jangan biarkan samudra itu menenggelamkan kita semua. Duan... dia bukan seperti kita."

"Keluar," perintah Guru Xuan dingin. "Renungkan sifat curigamu di depan patung Bodhisattva sampai matahari terbenam."

Liang Wu menggertakkan gigi, membungkuk kaku, lalu berbalik. Hatinya bukan lagi sekadar kecewa. Hatinya mulai retak.

Hukuman itu tidak dijalankan. Liang Wu tidak pergi ke aula utama. Sebaliknya, kakinya membawanya ke dapur, tempat satu-satunya orang yang masih ia percayai berada.

Namun, saat ia mendekati pintu dapur, langkahnya terhenti.

Pintu itu sedikit terbuka. Dari celahnya, ia melihat Mei sedang memotong sayuran. Dan di sana, bersandar santai di bingkai jendela dapur, berdiri Duan.

Duan sedang memegang sebuah apel merah. Dia menggigitnya perlahan—krek—suara gigitan itu terdengar begitu keras dan basah.

"Kau tahu, Nona Mei," kata Duan, mulutnya masih penuh. "Di dunia luar, wanita bisu sepertimu bisa dijual dengan harga lima puluh keping perak. Tapi jika dia pandai memasak... harganya bisa naik jadi tujuh puluh."

Mei tidak menoleh. Tangannya yang memegang pisau dapur gemetar hebat, tapi dia terus memotong wortel. Tak. Tak. Tak. Iramanya kacau.

"Kenapa gemetar?" Duan tertawa kecil. Dia melangkah masuk, mendekati punggung Mei. "Aku hanya memuji nilaimu."

Tangan Duan terulur, seolah hendak menyentuh rambut Mei.

Brak!

Liang Wu menendang pintu dapur hingga terbuka lebar.

Duan tidak terkejut. Dia bahkan tidak melompat. Dia hanya menoleh pelan, apel merah masih di tangan, senyum tipis terukir di bibir.

"Ah, Saudara Muda. Kau tidak sedang dihukum?"

Liang Wu tidak menjawab. Dia menerjang maju, mencengkeram kerah jubah Duan, dan membanting tubuh kurus itu ke dinding.

"Jauhi dia," desis Liang Wu, wajahnya hanya berjarak satu inchi dari wajah Duan. "Sekali lagi kau bicara kotor padanya, aku akan memotong lidahmu."

Mei menjatuhkan pisaunya. Dia berlari mendekat, menarik-narik lengan jubah Liang Wu, memohon dengan mata lebar agar dia melepaskan Duan.

Duan tidak melawan. Dia membiarkan dirinya dicekik. Tapi matanya... mata itu menatap Liang Wu dengan geli.

"Kau punya api yang bagus, Biksu Kecil," bisik Duan, suaranya sangat pelan hingga hanya Liang Wu yang bisa mendengar. "Sayang sekali, gurumu lebih suka air."

Lalu, tiba-tiba, Duan melakukan sesuatu yang tak terduga.

Dia memukul dadanya sendiri dengan telapak tangan—bukk!—lalu menggigit bibirnya hingga berdarah. Detik berikutnya, dia merosot jatuh ke lantai, memegangi dadanya, mengerang kesakitan seolah Liang Wu baru saja meremukkan tulang rusuknya.

"Sakit... Saudara Muda, ampun... aku hanya minta air..." rintih Duan keras.

"Apa yang kau lakukan?!" Liang Wu mundur selangkah, bingung.

"Apa yang terjadi di sini?!"

Suara menggelegar Guru Xuan terdengar dari pintu. Sang Guru Besar berdiri di sana, wajahnya merah padam karena amarah. Di matanya, pemandangannya jelas: Liang Wu, dengan wajah penuh kebencian, baru saja menyerang tamu yang sedang sakit.

"Guru! Dia memukul dirinya sendiri!" teriak Liang Wu, menunjuk Duan yang kini batuk darah (darah dari bibir yang digigitnya sendiri).

Guru Xuan tidak mendengarkan. Dia bergegas membantu Duan berdiri. Duan menatap Guru Xuan dengan mata berkaca-kaca, tubuhnya gemetar ketakutan yang dibuat-buat.

"Maafkan saya, Guru Besar..." isak Duan. "Saya... saya hanya masuk minta minum... Saudara Liang tiba-tiba marah dan bilang saya mencuri perhatian Guru..."

"Bohong! Dia mengancam Mei!" Liang Wu menoleh ke arah Mei. "Mei, katakan padanya! Katakan apa yang dia ucapkan!"

Mei membuka mulutnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Dia bisu. Dia hanya bisa menangis, tangannya gemetar, bingung dan takut melihat kemarahan Guru Xuan.

"Cukup!" bentak Guru Xuan. Aura Inti Emas-nya meledak keluar, menekan Liang Wu hingga pemuda itu jatuh berlutut. Lantai dapur retak di bawah lutut Liang Wu.

"Aku memungutmu dari jalanan, mengajarimu welas asih, tapi kau membiarkan iri hati meracunimu sampai seperti ini?" Suara Guru Xuan bergetar karena kecewa yang mendalam. "Menyerang orang sakit... memfitnah saudara... Liang Wu, kau telah mengecewakan jubahmu."

"Guru, saya tidak..."

"Mulai hari ini," potong Guru Xuan, "kau dilarang mendekati sayap barat. Kau dilarang memegang sapu. Kau akan dikurung di Gua Pertobatan di belakang gunung selama tiga bulan. Jangan keluar sampai hatimu bersih dari iblis amarah."

"Tiga bulan?" Liang Wu terbelalak. "Tapi Guru... siapa yang akan menjaga kuil? Siapa yang akan menjaga Mei? Dia—" Liang Wu menunjuk Duan, "—dia adalah serigala!"

"Satu-satunya serigala yang kulihat hari ini adalah kau," kata Guru Xuan dingin.

Guru Xuan memapah Duan keluar dari dapur. Sebelum menghilang di balik pintu, Duan menoleh ke belakang, melewati bahu Guru Xuan.

Dia menatap Liang Wu yang berlutut.

Dan dia mengedipkan sebelah matanya.

Malam itu, Liang Wu tidak tidur di kasurnya yang hangat. Dia duduk bersila di lantai dingin Gua Pertobatan, sebuah lubang batu lembap di sisi tebing belakang kuil.

Pintu gua telah disegel dengan mantra sederhana oleh Guru Xuan. Tidak ada jalan keluar.

Liang Wu menatap kegelapan. Tangannya mencengkeram tasbih kayu cendananya begitu erat hingga satu butir manik retak.

Krek.

Bunyi retakan kayu itu terdengar nyaring di keheningan gua.

Dia ingat kedipan mata Duan. Dia ingat ketidakberdayaan Mei. Dia ingat punggung Gurunya yang menjauh.

Di dalam gua yang gelap itu, untuk pertama kalinya, Liang Wu tidak melantunkan sutra pengampunan.

"Buddha," bisiknya parau, air mata kemarahan menetes ke jubahnya. "Jika Engkau tidak bisa membedakan mana iblis dan mana manusia... lalu untuk apa matamu terbuka?"

Di luar, angin melolong membawa aroma badai. Tiga bulan. Dia dikurung selama tiga bulan.

Dan di bawah sana, serigala itu kini bebas berkeliaran di kandang domba.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!