Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Ditunggu Transferannya, Mas
Arjuna menatap layar itu lama sebelum akhirnya mengangkat.
“Halo, El.”
Suara ceria terdengar di seberang. “Mas, aku lagi di Pacific Place nih! Ih, kamu tahu nggak, ada tas keluaran baru yang lucu banget! Aku kirim fotonya ya.”
Arjuna memejamkan mata, berusaha menahan napas. “Kamu lagi di mall?”
“Iya dong. Dari pada aku bete gara-gara mikirin ucapan mamanya Mas. Mending aku janjian aja sama Shinta dan Eva. Eh, Mas, aku mau minta tolong—boleh nggak minta uang, ditransfer sekarang? Cuma 75 juta kok. Aku mau beli tasnya.”
“75 juta buat tas?”
“Udah harga diskon, Mas! Kalau besok udah normal lagi harganya. Lagian bulan kemarin aku nggak belanja tas lho, Mas.”
Arjuna menatap Lidya yang terbaring tak berdaya, lalu kembali menatap layar ponsel. “Nanti aku transfer, El. Sekarang aku lagi di rumah sakit.”
“Hah? Rumah sakit?” Suara Eliza berubah sedikit. “Kenapa? Kamu sakit?”
“Bukan. Lidya. Tadi Mama Riri telepon, katanya kamu sudah ditelepon, tapi nggak diangkat teleponnya.”
“Lidya?” jeda sejenak. “Kenapa dia? Kok bisa sakit? Tumben tuh anak.”
“Demam, ada Infeksi. Sekarang lagi diobservasi dokter.”
“Oh .…” Suara Eliza terdengar datar. “Ya udah, nanti aku mampir setelah selesai jalan sama Shinta, ya. Kasian juga sih kalau Lidya sakit. Tapi Mas, jangan lupa ya transfernya. Soalnya tinggal satu tas terakhir. Aku kepengen banget.”
Arjuna menutup matanya. “Nanti, El. Sekarang Mama juga di sini, lagi urus administrasi.”
“Oh Mama juga di sana?” nada Eliza kembali ringan. “Ya udah deh, salam buat Mama. Aku lanjut dulu ya, Mas. Love you!”
Telepon terputus.
Arjuna menatap layar ponsel yang kini gelap, tangannya mengepal di atas meja. Suara langkah perawat di luar kamar menjadi satu-satunya yang terdengar. Ia bersandar di kursi, mengembuskan napas panjang.
Entah kenapa, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, kalimat “love you” dari Eliza terasa hampa.
Ia memijat pelipis, mencoba menyingkirkan kekecewaan yang tumbuh diam-diam di dadanya. Tapi setiap kali menatap Lidya, rasa itu justru semakin tajam.
Tiba-tiba, Lidya bergerak pelan. Kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka sedikit.
“Ka … k Arjuna?” Suaranya serak, nyaris tak terdengar.
Arjuna langsung mencondongkan tubuh. “Iya. Aku di sini.”
Lidya menatap samar, matanya masih berat. “Ngapain di sini?”
“Menemani kamu. Kata dokter kamu harus dirawat.”
“Harusnya Kak Arjun nggak usah repot-repot.” Bibirnya tersenyum lemah, tapi matanya tampak basah. “Aku cuma bikin orang repot aja.”
Arjuna menggeleng. “Berhenti ngomong begitu.”
“Tapi, kan, Kakak lagi sibuk di kantor. Aku tahu. Kak Arjun juga nggak mes—”
“Stop, Lid.” Arjuna menatapnya dalam.
“Aku di sini karena aku mau. Bukan karena terpaksa. Tadi Mama telepon aku, bilang kamu pingsan.”
Hening sejenak. Hanya suara mesin infus yang terdengar.
Lidya menunduk pelan. “Kak Eliza tahu aku di rumah sakit?”
Arjuna menarik napas. “Sudah aku kabari.”
“Dia marah?”
“Tidak.” Suaranya datar. “Dia … lagi di mall.”
Lidya terdiam. Senyum kecil yang tadi sempat muncul, lenyap perlahan. “Oh. Lagi jalan sama teman-temannya, ya?”
“Iya.”
“Kak Arjuna harusnya juga ikut menemani di sana. Nggak perlu jagain aku.”
Arjuna menatapnya lama. “Aku ke sini karena Mama. Jadi, kamu tidak usah pikiran ke mana-mana.”
Kata-kata itu membuat udara di ruangan seakan berhenti sejenak. Lidya menatap wajah laki-laki itu—dingin, tapi ada kehangatan yang samar di balik tatapannya.
“Oh, begitu, padahal bisa saja Kak Arjun menolak,” bisiknya. “Aku cuma adik ipar, yang nggak mesti repot-repot untuk diperhatikan.”
Arjuna menatapnya dalam. “Iya, adik ipar yang keras kepala.”
Senyum tipis muncul di sudut bibir Lidya, tapi tak lama. Ia tiba-tiba meringis, menahan sakit di perutnya.
“Lidya?” Arjuna berdiri refleks. “Kenapa? Sakit di mana?”
Lidya menggenggam selimut, napasnya mulai cepat. “Perut … panas… nyeri banget.”
Arjuna segera menekan tombol panggil perawat. “Suster!”
Pintu terbuka, dua perawat masuk bersama dokter muda. “Apa yang terjadi, Pak?”
“Adik saya tiba-tiba kesakitan. Katanya nyeri di perut.”
Dokter memeriksa cepat, menekan sisi perut Lidya dengan tangan bersarung. Lidya meringis keras.
“Sakitnya di sini?”
“Iya.”
“Siapkan pemeriksaan tambahan. Kemungkinan infeksi sudah menyebar. Kita harus ambil sampel ulang,” ujar dokter tegas.
“Baik, Dok.”
Arjuna berdiri di samping ranjang, wajahnya tegang. “Dok, tolong lakukan apa pun yang perlu.”
“Tenang, Pak. Kami akan lakukan yang terbaik.”
Perawat mendorong ranjang keluar menuju ruang pemeriksaan. Arjuna mengikuti di belakang, langkahnya cepat namun gemetar.
Sebelum pintu menutup, Lidya sempat menoleh lemah. “Kak … tolong pergilah, tidak perlu ada di sini.”
Arjuna menatapnya dari balik kaca, dadanya seolah ditarik paksa. “Aku nggak akan ke mana-mana!”
Pintu ruang tindakan tertutup. Bunyi langkah tergesa dan alat medis menggema di balik dinding.
Di lorong sepi itu, Arjuna berdiri sendiri.
Teleponnya bergetar — pesan baru dari Eliza:
“Mas, aku tunggu transferannya. Tasnya lucu banget 😍 nanti aku ke RS kalau udah beli deh.”
Arjuna menatap pesan itu lama. Lalu, tanpa sadar, ia menekan tombol hapus pesan.
Tatapannya kembali ke arah pintu ruang observasi. Matanya memerah, rahangnya menegang.
Untuk pertama kalinya, Arjuna sadar — rasa peduli ini bukan lagi sekadar kewajiban keluarga.
***
Menjelang malam ....
“Ma, aku pesenin makanan ya. Mama belum makan dari tadi.”
Suara Arjuna terdengar pelan tapi tegas. Ia berdiri di depan lobi rumah sakit, satu tangan memegang ponsel, satu lagi dimasukkan ke saku celana. Di layar ponselnya, aplikasi pesan makanan masih terbuka — sop iga hangat dan bubur ayam untuk Lidya, serta nasi timbel lengkap untuk Mama Riri.
“Udah, Nak. Nggak usah repot-repot.” Suara Mama Riri dari seberang terdengar lemah tapi lembut. “Mama bisa pesan sendiri nanti.”
“Biar aku aja yang urus,” potong Arjuna, nada suaranya dingin tapi penuh ketegasan yang tidak memberi ruang untuk bantahan. “Lidya juga butuh makan nanti sebelum minum obatnya.”
Hening sebentar di ujung telepon, lalu terdengar desahan kecil dari Mama Riri. “Baiklah, Nak. Terserah kamu saja.”
Sambungan terputus. Arjuna menatap sebentar layar ponsel yang masih menunjukkan nama Eliza di riwayat panggilan terakhir — belum ia buka, belum ia balas. Lima panggilan tak terjawab.
Ia hanya mendengus pelan, lalu berjalan ke arah kursi tunggu lobi. Pikirannya tak berhenti memutar kejadian beberapa jam terakhir. Wajah Lidya yang pucat, suara lirihnya yang meminta agar ia pergi, dan pesan Eliza yang dingin — semuanya berputar dalam kepalanya seperti film yang tak ingin ia tonton.
“Pesanan atas nama Arjuna?” panggil seorang kurir.
Arjuna berdiri, mengambil dua kantong kertas cokelat. “Iya, ini saya. Terima kasih.”
Begitu ia berjalan kembali ke lift, ponselnya kembali bergetar. Nama Eliza muncul lagi di layar, disertai emoji hati.
Arjuna memandangi layar itu selama tiga detik. Lalu ia menekan tombol “ignore”.
Lift bergerak naik perlahan. Bayangannya memantul di pintu logam yang dingin — wajah tanpa ekspresi, tapi matanya menyimpan letih yang tak bisa disembunyikan.
Sementara itu di mall, Eliza tampak kesal melihat m–bankingnya belum juga ada notif transferan masuk. “Ck, ke mana sih Mas Arjun? Ditelepon, nggak diangkat-angkat.”
Bersambung ... ✍️