Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.
Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.
Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.
Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alif Tukan rusuh
Sholawat tahrim menggema dari masjid, membangunkan Anna yang baru tertidur setengah jam lalu.
Ia menyibak selimut, memaksakan diri bangun dari tempat tidur. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, seolah habis dihantam kelelahan dan beban batin yang menumpuk. Namun panggilan sholat Subuh tak pernah ia abaikan.
Anna bergegas ke kamar mandi. Ia menggosok gigi, lalu mandi, membiarkan air dingin mengalir dan meresap ke pori-pori kulitnya—seolah berharap air itu mampu menghanyutkan seluruh penderitaan yang masih melekat di dadanya.
Di lantai bawah, Alif sudah bangun sejak pukul tiga dini hari. Tahajud adalah ibadah yang tak pernah ia tinggalkan. Usai sholat, ia duduk di sofa ruang tamu sambil membuka mushaf kecil yang selalu ia bawa ke mana pun. Surah Maryam mengalun pelan dari bibirnya, menemani waktu hingga azan Subuh berkumandang.
Bacaannya terhenti saat matanya menangkap sosok sepupunya menuruni tangga. Anna berjalan sambil merangkul kedua putranya.
Alif menutup mushaf dan tersenyum.
“Hai, An,” sapanya lembut.
Lalu ia menunduk, menatap kedua bocah di samping Anna.
“Wah, jagoan Om udah bangun, ya?”
Ayyan menguap lebar sambil mengucek mata.
“Ngantuk, Om…”
Alif tertawa kecil. “Ngantuk-ngantuk gini malah enak ke masjid. Nanti pulangnya Om beliin roti.”
Mata Ayyan langsung berbinar.
“Beneran, Om?”
“Bener dong,” jawab Alif sambil mengacak rambutnya.
Bian, si sulung, tersenyum tipis. “Om Alif ke masjid juga?”
“Iya,” Alif mengangguk. “Kamu mau nemenin Om?”
Bian menoleh ke Anna sebentar, lalu kembali ke Alif.
“Mau, Om.”
Alif lalu menatap Anna.
“Kamu ikut, atau sholat di rumah?”
Anna menggeleng pelan.
“Iya, mereka ikut kamu. Aku sholat di rumah saja, Lif.”
Alif sempat terdiam sesaat, lalu mengangguk.
“Baik. Jangan lupa kunci pintu, ya.”
Anna tersenyum kecil. “Iya.”
Alif berdiri, meraih tangan Ayyan dan menepuk bahu Bian.
“Ayo, pasukan subuh. Kita berangkat.”
“Om,” Ayyan mendongak polos, “kalau aku ketiduran pas sholat, nggak papa kan?”
Alif terkekeh. “Asal jangan ngorok, masih aman.”
Bian ikut tertawa pelan.
Mereka pun melangkah keluar rumah, meninggalkan Anna yang berdiri di ambang tangga, menatap punggung ketiganya dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
Anna menutup pintu rumahnya perlahan, memastikan kunci terpasang dengan baik. Setelah itu ia kembali melangkah ke kamar, mengambil air wudhu dengan gerakan tenang meski hatinya bergejolak.
Air mengalir di telapak tangannya, membasuh wajahnya, seolah membersihkan sisa lelah dan luka yang masih melekat. Ia mengenakan mukena, lalu berdiri menghadap kiblat.
Sholat Subuh itu ia jalani dengan khusyuk.
Setiap bacaan keluar lirih, tertata, meski dadanya terasa sesak. Hingga pada sujud terakhir, Anna tak segera bangkit. Ia menahan diri lebih lama di sana—di titik terendah seorang hamba.
Air matanya jatuh membasahi sajadah.
“Ya Allah…” doanya bergetar.
“Jika memang Engkau tunjukkan hamba jalan terbaik…”
Napasnya tertahan.
“Jika takdir kebersamaan kami sudah tak bisa diperbaiki lagi, maka ikhlaskan hati hamba untuk menerimanya.”
Ia menempelkan keningnya lebih kuat.
“Dan… kuatkanlah anak-anakku, ya Allah. Jangan biarkan mereka menanggung luka dari keputusan orang tuanya.”
Sujud itu menjadi tempat Anna menyerahkan segalanya—rasa sakit, harapan, dan keputusan yang perlahan mulai mengeras di hatinya.
Saat ia bangkit, matanya masih basah. Namun langkahnya terasa sedikit lebih ringan.
Karena ia tahu, apa pun yang akan terjadi setelah ini…
ia tak lagi berjalan sendirian.
Setelah selesai sholat Subuh, Anna turun ke dapur. Ia mulai menyiapkan sarapan sekaligus bekal untuk kedua putranya dengan gerakan yang teratur dan tenang, meski pikirannya masih berat.
Di atas kompor, aroma ayam yang digoreng perlahan memenuhi ruangan. Tangan Anna cekatan membolak-balik potongan ayam, sambil sesekali memeriksa sayuran dan roti yang akan mereka bawa.
Tiba-tiba terdengar suara di depan pintu. Alif dan kedua putranya sudah pulang dari masjid.
“Assalamualaikum, ma!” sapa mereka bersamaan, sambil menunggu Anna membuka pintu.
Alif yang berdiri di belakang kedua keponakannya tersenyum, lalu ikut memberi salam lebih keras.
“Assalamualaikum, An! Kamu nggak tidur, kan?” teriak Alif, sengaja memancing keributan pagi.
Kedua keponakan langsung terkekeh.
“Om! Mama palingan lagi di dapur. Hati-hati, Om, bisa diterkam loh nanti!” ucap Ayyan sambil menahan tawa.
Anna mengintip dari dapur, menatap mereka sambil tersenyum tipis.
“Dasar, lo Alif… udah pagi-pagi saja ribut,” gumamnya pelan, tapi jelas terdengar nada bercandanya.
Alif terkekeh kecil, lalu menunduk sebentar ke anak-anak.
“Eh, santai, kalian juga lucu pagi-pagi sudah heboh.”
Suasana pagi itu terasa hangat, penuh tawa ringan—meski di baliknya Anna masih memendam beban yang tak terlihat.
"tunggu sebentar...!" teriak Anna sambil meletakan sepat ulah.
semangat thor