Kakak dan adik yang sudah yatim piatu, terpaksa harus menjual dirinya demi bertahan hidup di kota besar. Mereka rela menjadi wanita simpanan dari pria kaya demi tuntutan gaya hidup di kota besar. Ikuti cerita lengkapnya dalam novel berjudul
Demi Apapun Aku Lakukan, Om
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Salwa menatap hotel kecil di pinggiran kota itu dengan langkah yang mendadak ragu. "Kak, kenapa kita harus check-in di sini, Kak Beny?" suaranya bergetar, seolah takut tanpa alasan jelas. Beny cuma tersenyum tipis sambil menyerahkan kartu identitasnya kepada resepsionis.
Setelah semuanya beres, dia merangkul pundak Salwa dengan lembut, mengajaknya masuk ke kamar sesuai nomor yang sudah diberikan. Langkah mereka diikuti oleh pelayan yang membawa barang-barang mereka. Di dalam kamar yang sederhana itu, Beny duduk dan menyilangkan kakinya, lalu menatap Salwa yang masih penuh tanda tanya. Matanya mencari jawaban di raut wajah Beny, bertanya-tanya,
"Apa dia benar-benar ingin aku menginap di sini? Apa maksud dari ajakan ini?" Jantung Salwa berdegup kencang, campur aduk antara takut dan penasaran yang sulit dia sembunyikan.
Salwa menatap Beny dengan mata yang sudah mulai was-was. "Beny, kenapa kamu bawa aku ke sini? Apa sebenarnya yang kamu inginkan dariku?" Suaranya sedikit bergetar, mencerminkan keraguan yang menggelayut di hatinya.
Bayangan tentang pria dewasa mengajak wanita check-in hotel membuat pikirannya melompat ke hal-hal yang tak diinginkan, malam panjang yang penuh tekanan, bukan perayaan manis seperti yang diharapkannya. Beny tersenyum, mencoba melembutkan suasana.
"Salwa, kita kan baru jadian. Aku dan kamu sekarang resmi pacaran. Jadi aku ajak kamu merayakan hari jadi kita di sini." Matanya mencari-cari respons dari Salwa, berharap kata-katanya bisa meyakinkan. Tapi kerutan di dahi Salwa tak kunjung hilang. Ada kecemasan yang sulit ia sembunyikan.
"Tapi... kenapa harus di kamar hotel? Aku nggak nyaman dengan ini," katanya sambil berdiri pelan.
Jarinya meremas ujung bajunya, seolah menguatkan tekad. Daripada membiarkan Beny melakukan sesuatu yang tak dia inginkan, Salwa lebih memilih meninggalkan kamar itu. Hatinya bergemuruh, menolak terbawa arus malam yang belum tentu seindah yang Beny bayangkan.
Beny buru-buru mengangkat tangan, wajahnya penuh kecemasan. "Sayang, jangan salah paham dulu! Aku sengaja bawa kamu ke sini buat makan malam romantis." Matanya berbinar saat dia menambahkan,
"Aku juga sudah pesan makanan enak dan minuman yang kamu belum pernah coba." Salwa mengerutkan kening, matanya menatap penasaran.
"Minuman yang belum aku minum? Apa, sih? Kak Beny, jangan-nggak usah aneh-aneh," katanya sambil menyingkirkan keraguan dengan tawa kecil.
Ketukan pelan terdengar dari pintu kamar. Beny segera melangkah membuka. Seorang pelayan wanita mendorong troli penuh dengan piring berisi makanan harum dan gelas berisi minuman warna-warni. Salwa menyipitkan mata, matanya mulai berbinar, seperti meyakini kata-kata Beny.
"Letakkan saja di situ, ya. Kamu sudah boleh pulang," Beny berkata sambil memasukkan beberapa lembaran uang ke tangan pelayan dengan senyum lega.
Pelayan sudah keluar dari kamar dan dengan sigap menutup pintu rapat-rapat. Beny segera mengunci pintu, lalu mendorong troli berisi makanan ke balkon kamar hotel yang cukup luas. Dengan langkah pasti, ia menarik pergelangan tangan Salwa, memaksanya duduk di kursi sambil tersenyum hangat.
“Nah, malam ini kamu harus bahagia, Salwa. Kita resmi berpacaran sekarang,” ucap Beny sambil matanya berbinar penuh kebahagiaan.
Salwa masih terasa gugup, tapi bibirnya mengerut pelan menjadi senyum kecil. Pasangan baru itu mulai menyantap hidangan yang tersaji rapi di meja. Beny dengan telaten mengambilkan potongan makanan, lalu menyerahkannya pada Salwa.
“Enak nggak?” tanyanya, ingin tahu reaksi sang kekasih. Salwa mengangguk cepat, matanya berbinar.
“Enak banget, Kak!” Beny menarik napas lega, hatinya hangat melihat Salwa mulai menikmati malam itu bersama dirinya.
Setelah perutnya kenyang, Beny duduk di sisi Salwa dengan wajah serius. "Kamu boleh istirahat, bobok saja. Aku jaga kamu, Wa," ucapnya pelan sambil menatap mata Salwa. Dia menambahkan,
"Tapi jangan pikir yang aneh-aneh sama aku. Aku bukan tipe cowok yang suka ngerusak kehormatan wanita." Kalimat itu keluar dengan nada meyakinkan, seolah ingin membebaskan Salwa dari rasa was-was yang menggelayuti pikirannya. Salwa menunduk, bibirnya bergetar sedikit.
"Tapi, Kak, aku belum bilang sama Kak Wanda kalau aku menginap di sini sama kamu," suaranya kecil dan penuh kekhawatiran. Beny mengangkat bahu sambil tersenyum tipis, berusaha menunjukkan sisi tanggung jawabnya.
"Tenang saja, besok pagi aku antarkan kamu pulang dan bilang sama Kakak, aku yang ngajak kamu pergi dan bermalam."
"Kamu jangan! Aku nggak mau Kak Wanda tahu kalau aku sudah pacaran sama kamu," Salwa menatap lantai, suaranya terdengar getir. Dia belum siap menghadapi kemungkinan pertanyaan dan penilaian dari kakaknya. Beny menepuk lembut tangan Salwa.
"Hem, kenapa, Wa? Bukannya umur kita sudah lewat tujuh belas tahun? Kita sudah bukan anak kecil lagi," protesnya sambil sedikit menegakkan badan, menunjukkan keinginannya agar Salwa percaya dan berani menjalani hubungan ini dengan lebih terbuka.
Salwa menghela napas pelan sambil menatap tangan yang saling bertaut dengan jemari kak Wanda. "Tapi aku masih dibiayai kak Wanda, jadi aku memang khawatir dia nggak setuju kalau aku pacaran sekarang, apalagi masih kuliah," katanya lirih, suaranya bergetar tipis. Beny hanya mengangguk, matanya penuh pengertian.
Waktu terasa melambat di balkon kamar hotel itu. Satu jam penuh mereka mengobrol, membahas hal-hal sepele yang seolah menutupi kegelisahan masing-masing. Salwa menggigit bibir, menahan kantuk dan kegelisahan, sementara Beny sibuk memainkan sebatang rokok di jemarinya. Keduanya sama-sama merasa lelah, tapi enggan mengakhiri malam itu dengan diam.
Salwa akhirnya terpejam, kepalanya tenggelam di kursi panjang balkon yang mulai dingin. Beny memandangnya dengan senyum lembut, matanya bercahaya bahagia, akhirnya, jawaban Salwa untuk cintanya datang setelah sekian lama menunggu.
Dengan sangat hati-hati, Beny mengangkat tubuh Salwa, sesekali menatap wajahnya untuk memastikan dia tak terbangun. Dia menyusupkan langkah ke dalam kamar, menempatkan Salwa di atas ranjang dengan penuh kasih sayang. Bisik lembut keluar dari bibirnya, seolah ingin menghapus segala rasa cemas malam itu.
Beny menatap wajah Salwa yang terbaring di atas ranjang empuk itu. Hidungnya yang mancung dan kulitnya yang halus membuat Beny terpana, bibir mungilnya seolah mengundang untuk disentuh. Dengan hati-hati, Beny merapatkan tubuh Salwa dan mencium keningnya pelan. Setelah itu, ia menarik bedcover putih menutupi tubuh sang kekasih.
"Aku juga pengen tidur..." pikir Beny sambil menguap kecil. Namun, hatinya ragu untuk ikut berbaring di samping Salwa, takut kalau nanti dilihat dan dimarahi. Akhirnya, ia memilih merebahkan diri di kursi panjang dalam kamar, tanpa selimut sekalipun. Meski begitu, Beny tak butuh waktu lama untuk terlelap. Napasnya sudah berat dan terdengar dengkuran pelan, seolah ia tengah bermimpi indah bertemu bidadari kecil di sisinya.
Salwa menatap Beny dengan pandangan yang bergetar. Perlahan, ia mengangkat tangan dan melingkarkan keduanya ke leher pria itu, jantungnya berdetak kencang.
Mata mereka bertemu, saling mengungkapkan apa yang sulit diucapkan dengan kata-kata. Bibir mereka bersentuhan dalam kecupan lembut yang penuh rasa. Tangan keduanya bergantian membantu membuka pakaian, membiarkan kulit mereka menyentuh tanpa ragu.
Salwa merasakan hangat pelukan Beny yang semakin erat, mengalirkan kenyamanan dan kepercayaan. Saat mereka bersandar di atas ranjang, gerakan mereka mengalun tenang, penuh kelembutan dan keintiman yang tak tergantikan. Beny menarik Salwa lebih dekat, suaranya berbisik pelan,
"Aku akan melakukannya dengan hati-hati," seolah mencari persetujuan dan berjanji menjaga setiap momen indah itu dengan sepenuh hati.
Namun di tengah gelombang hasrat yang menguasai pikirannya, tubuh Beny mendadak terjatuh dari atas sofa panjang dengan suara pelan. Matanya terpejam, lalu terbuka perlahan, menatap langit-langit kamar hotel yang familiar. Beny mengedip beberapa kali, menyadari semuanya hanya mimpi yang samar.
Di ujung matanya, Salwa masih terlelap dengan tenang di ranjang empuk, napasnya teratur seperti lagu pengantar tidur yang damai. Senyum tipis terukir di wajah Beny saat tekad membara di hatinya, berjanji untuk menjaga kesucian Salwa hingga saat mereka benar-benar bersatu dalam ikatan suci pernikahan.
kau ini punya kekuatan super, yaaakk?!
keren, buku baru teroooss!!🤣💪