NovelToon NovelToon
Teman Level Adalah Pokoknya

Teman Level Adalah Pokoknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Teen Angst / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.

​Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.

​Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7: KOPI, HUJAN, DAN LUKA LAMA

Bau antiseptik yang tajam menyambut Firman saat ia melangkah masuk ke lobi Rumah Sakit Umum Daerah Samarinda. Baginya, rumah sakit selalu terasa seperti tempat yang jujur tempat di mana kepalsuan tidak lagi punya ruang karena setiap orang di sini sedang bertaruh nyawa. Namun, hari ini, kejujuran itu terasa mencekik lehernya.

Di dalam tas selempangnya, ada sebuah flashdisk berisi foto-foto panti asuhan kemarin. Namun, di dalam kepalanya, ada sebuah "bom" informasi tentang kasus malpraktik di Surabaya yang terus berputar-putar.

“Dokter Muda Terancam Sanksi Kode Etik.”

Judul berita itu seolah tertempel di setiap wajah perawat yang berpapasan dengannya. Firman mencoba merasionalkan segalanya. Sebagai jurnalis, dia tahu berita bisa diputarbalikkan. Tapi sebagai pria yang pernah dikhianati, dia tahu bahwa setiap orang punya sisi gelap yang ditutup rapat-rapat di balik senyuman paling manis sekalipun.

"Sori, Sus. Dokter Yasmin ada di mana, ya?" tanya Firman pada seorang perawat di meja administrasi.

"Dokter Yasmin tadi baru saja ke arah IGD, Mas. Ada kecelakaan beruntun di jalan poros. Suasananya lagi kacau di sana," jawab perawat itu dengan terburu-buru sebelum berlari menyambut brankar ambulans yang baru tiba.

Firman mengikuti instingnya. Ia berjalan menuju selasar IGD. Suara sirene ambulans yang meraung-raung di luar terdengar seperti teriakan peringatan. Saat ia sampai di ambang pintu kaca besar IGD, ia melihat kekacauan yang sesungguhnya.

Darah di lantai, suara erangan kesakitan, dan petugas medis yang berlarian dengan wajah tegang. Di tengah semua itu, Firman melihatnya.

Yasmin.

Namun, itu bukan Yasmin yang ia kenal di lapangan badminton atau di panti asuhan. Yasmin berdiri mematung di samping sebuah brankar pasien pria paruh baya yang dadanya bersimbah darah. Tangan Yasmin memegang tensimeter, tapi tangannya itu... gemetar hebat. Begitu hebat hingga alat itu hampir jatuh ke lantai.

Wajah Yasmin pucat pasi, matanya membelalak menatap luka di depan matanya, namun pandangannya tampak kosong. Dia tidak bergerak. Dia tidak memberikan instruksi. Dia hanya diam seperti patung lilin di tengah badai.

"Dokter Yasmin! Tekanan darahnya turun! Kita harus segera melakukan tindakan!" teriak seorang perawat senior di sampingnya.

Yasmin masih diam. Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya.

"Dokter! Anda dengar saya?!" perawat itu mengguncang bahu Yasmin.

Firman yang melihat itu dari jarak lima meter merasa jantungnya seperti dihantam gada besar. Ia tahu apa yang sedang terjadi. Yasmin tidak sedang berada di Samarinda sekarang. Pikirannya sedang terseret kembali ke Surabaya, ke sebuah ruang IGD setahun lalu, ke "Pasien Nomor 402" yang nyawanya melayang karena keterlambatan penanganan.

Ini bukan sekadar ketakutan. Ini adalah post-traumatic stress disorder (PTSD) yang sedang meledak di waktu yang paling salah.

Tanpa pikir panjang, Firman melangkah masuk. Ia mengabaikan larangan petugas keamanan. Ia menerobos kerumunan perawat dan berdiri tepat di hadapan Yasmin, menghalangi pandangan perempuan itu dari pasien yang bersimbah darah.

"Yasmin!" Firman memegang kedua bahu Yasmin dengan kuat.

Yasmin tersentak, matanya perlahan fokus pada wajah Firman. Napasnya tersengal, pendek-pendek dan sangat cepat. "D-darahnya... dia... dia akan mati, Mas... saya... saya nggak bisa..." bisiknya dengan suara yang nyaris hilang.

"Lihat saya, Yas! Lihat saya!" Firman sedikit mengguncang bahunya. "Kamu bukan di Surabaya. Kamu di Samarinda. Dan pasien ini butuh kamu. Kamu dokter, Yas. Kamu bilang sendiri, kebohongan terkecil bisa berakibat fatal. Jadi jangan bohongi dirimu sendiri kalau kamu itu lemah!"

Yasmin menggeleng-gelengkan kepalanya, air mata mulai menggenang. "Saya... saya pernah membunuh orang, Mas... saya nggak bisa..."

Kalimat itu membuat seisi ruangan sejenak terdiam, namun kebisingan IGD segera menelannya kembali. Firman menarik napas panjang. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu yang drastis.

"Kamu nggak membunuh siapa pun, Yasmin! Kamu cuma manusia yang melakukan kesalahan, atau mungkin takdir yang memang harus terjadi. Tapi hari ini, kalau kamu tetap diam, kamu benar-benar akan membunuh harapan orang ini!" Firman menunjuk pasien di belakangnya tanpa menoleh. "Level kita adalah kejujuran, kan? Jujurlah kalau kamu takut, tapi jangan biarkan ketakutan itu menang!"

Yasmin menatap mata Firman. Di balik sorot mata jurnalis yang biasanya dingin itu, ada sebuah kepercayaan yang begitu kokoh. Sebuah jangkar yang ia butuhkan di tengah samudra trauma yang sedang menenggelamkannya.

Perlahan, getaran di tangan Yasmin mereda. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayangan Pasien 402 yang menghantuinya. Ia memejamkan mata selama tiga detik, lalu membukanya kembali dengan binar yang berbeda.

"Suster, siapkan epinephrine! Hubungi dokter bedah on-call sekarang! Kita lakukan stabilisasi dalam sepuluh menit!" Yasmin berteriak dengan suara yang lantang dan stabil.

Firman mundur beberapa langkah. Ia melihat Yasmin kembali menjadi "mesin" medis yang efisien. Tangannya bekerja dengan cekatan, instruksinya jelas, dan ketenangannya kembali meski wajahnya masih seputih kapas.

Firman berdiri di sudut ruangan, menonton dari kejauhan selama hampir satu jam hingga kondisi pasien tersebut dinyatakan stabil untuk dipindahkan ke ruang operasi.

Hujan turun dengan sangat deras saat jam menunjukkan pukul tujuh malam. Samarinda seolah sedang dicuci dari segala kotorannya. Firman duduk di bangku kayu di taman kecil rumah sakit yang memiliki atap peneduh. Di sampingnya, ada dua cup kopi instan yang sudah mulai dingin.

Pintu kaca selasar terbuka, dan Yasmin keluar. Dia sudah mengganti baju medisnya dengan kemeja flanel yang kedodoran. Dia terlihat sangat lelah, seolah seluruh energinya baru saja diperas hingga kering.

Yasmin duduk di samping Firman, menjaga jarak sekitar tiga puluh sentimeter jarak "Level" mereka. Ia meraih salah satu cup kopi dan menyesapnya tanpa bicara.

"Terima kasih," kata Yasmin pelan setelah cukup lama terdiam. "Kalau Mas nggak ada di sana tadi... mungkin saya sudah keluar dari rumah sakit ini dan nggak akan pernah mau jadi dokter lagi."

Firman menatap rintik hujan yang jatuh ke tanah. "Saya cuma nggak mau melihat teman saya menyerah pada hantu yang bahkan nggak punya fisik."

Yasmin tertawa kecil, tawa yang getir. "Hantu itu punya fisik bagi saya, Mas. Wajahnya, suaranya... semuanya sangat nyata setiap kali ada pasien kecelakaan masuk."

Ia menoleh ke arah Firman, matanya menatap tajam. "Mas Firman sudah tahu, kan? Tentang Surabaya. Tentang alasan kenapa saya lari ke sini."

Firman tidak terkejut. Ia tahu Yasmin terlalu peka untuk tidak menyadari perubahan sikapnya semalam. "Sarah mengirimi saya link berita itu tadi malam."

Yasmin mengangguk, tidak tampak marah. "Sarah orang yang teliti. Dia tahu di mana harus menekan tombol luka saya."

"Kenapa kamu nggak cerita, Yas?" tanya Firman, kali ini suaranya lebih lembut. "Kita sepakat untuk jujur di level ini. Tapi kamu menyimpan rahasia sebesar itu sendirian."

"Karena saya takut, Mas," Yasmin menunduk, menatap cup kopinya. "Saya takut kalau Mas tahu saya pernah melakukan kesalahan fatal sebagai dokter, Mas akan melihat saya sebagai monster. Saya ingin di Samarinda ini, saya hanya menjadi Yasmin yang baru, yang tenang, yang bijak... bukan Yasmin yang gagal menyelamatkan nyawa karena keraguan."

"Kamu manusia, Yas. Bukan Tuhan," potong Firman. "Saya jurnalis, tugas saya mencari fakta. Faktanya adalah, investigasi rumah sakit itu tidak pernah menyatakan kamu bersalah secara hukum. Kamu mengundurkan diri karena beban moralmu sendiri, bukan karena kamu nggak kompeten."

"Tapi rasanya sama saja, Mas. Di mata keluarga pasien, saya tetaplah orang yang membiarkan orang yang mereka cintai pergi."

Firman meletakkan cup kopinya. Ia berbalik sepenuhnya menghadap Yasmin. "Dengar. Saya pernah hancur karena cinta. Kamu pernah hancur karena pekerjaan. Level kita sama sekarang: kita adalah dua orang yang sedang mencoba membangun kembali puing-puing diri kita. Jangan pernah merasa harus jadi sempurna di depan saya."

Yasmin menatap Firman, matanya kembali berkaca-kaca. "Mas Firman... kenapa kamu baik sekali pada saya? Padahal saya baru saja menunjukkan sisi paling lemah dan paling buruk dari diri saya."

"Karena saya pernah ada di posisi itu, Yas. Saat dunia menunjuk saya sebagai pecundang yang gagal menikah, nggak ada satu pun orang yang berdiri di samping saya dan bilang kalau itu oke. Saya nggak mau kamu merasakan kesendirian yang sama," jawab Firman jujur. Sebuah kejujuran yang langka keluar dari bibirnya.

Hening sejenak di antara mereka, hanya suara hujan yang makin menderu.

"Jadi... kita masih di 'Level' yang sama?" tanya Yasmin dengan senyum tipis yang tulus.

"Sama. Tapi mungkin levelnya sedikit naik," balas Firman. "Dari 'Teman Level' yang cuma basa-basi, jadi 'Teman Level' yang tahu busuk-busuknya masing-masing tapi tetap nggak pergi."

Yasmin tertawa, kali ini lebih lepas. "Itu definisi pertemanan paling romantis sekaligus paling menjijikkan yang pernah saya dengar."

"Itu gaya jurnalis," sahut Firman pendek, membuat mereka berdua akhirnya tertawa bersama di tengah dinginnya malam rumah sakit.

Namun, di kejauhan, di balik pilar bangunan rumah sakit, seseorang sedang memperhatikan mereka. Sarah berdiri di sana dengan payung hitamnya. Ia melihat tawa itu. Ia melihat bagaimana Firman menatap Yasmin dengan cara yang tidak pernah ia dapatkan saat mereka masih bersama.

Sarah meremas gagang payungnya hingga buku-buku jarinya memutih. "Jadi, berita malpraktik itu nggak cukup buat menjauhkan kalian? Oke... kalau berita itu nggak cukup, mungkin karirmu yang harus benar-benar mati di kota ini, Yasmin."

Sarah mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seorang wartawan dari media saingan Firman di Samarinda. "Halo, saya punya informasi menarik tentang salah satu dokter di RSUD. Ini berita besar tentang masa lalu yang gelap. Kamu tertarik?"

Drama di rumah sakit baru saja selesai, tapi badai reputasi yang lebih besar sedang bergerak menuju Yasmin. Dan Firman harus segera memilih: tetap menjadi penonton profesional, atau mempertaruhkan karir jurnalisnya untuk melindungi perempuan yang mulai mengubah dunianya.

Berita tentang masa lalu Yasmin bocor ke media lokal Samarinda keesokan harinya dengan sudut pandang yang sangat menyudutkan. Direktur Rumah Sakit memanggil Yasmin untuk dimintai keterangan, dan ada desakan untuk menonaktifkan Yasmin sementara. Di saat yang sama, Firman mendapati bahwa yang membocorkan berita itu bukan hanya Sarah, tapi ada keterlibatan orang dalam dari kantor redaksinya sendiri yang ingin menjatuhkan Firman lewat Yasmin. Siapakah pengkhianat di kantor Firman, dan bagaimana Firman menyelamatkan Yasmin dari 'eksekusi' publik?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!