Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Wajah memang sama, tetapi tekad yang berbeda.
Hari-hari setelah percobaan Barra mencari tahu kebenaran terasa seperti tarian bayang-bayang. Dia tak lagi berusaha berhadapan langsung dengan Aluna, setidaknya tidak lagi di muka umum yang mudah ditolak tetapi selalu muncul di pinggiran hidupnya, menunggu di sudut taman saat Raka diajak bermain, melewati dari jauh saat Aluna belanja kebutuhan kakek, berdiri diam di lorong rumah sakit lama ketika keluarga Wijaya sedang berkunjung ke kamar Haryanto. Setiap kemunculan itu singkat, nyaris seperti bayangan, tapi cukup untuk membuat Aluna menegaskan batas dan membuat Raka menatap waspada.
Aluna membiasakan diri menutup rapat jendela hatinya. Dia tidak ingin konflik lama merembes ke kehidupan yang baru sekali lagi dibangunnya kehidupan yang kini melibatkan seorang suami yang rela menanggung reputasinya dan seorang putra yang polos. Namun kehadiran Barra selalu memaksa kenangan-kenangan yang belum sembuh itu menganga lagi.
Satu bulan penuh perawatan berlalu, dan Kakek Haryanto diperbolehkan pulang. Malam kembalinya ke kediaman Wijaya terasa hangat sekaligus canggung. Rumah besar itu menyambut dengan lampu-lampu temaram, para pelayan sudah menyiapkan kamar dan kursi roda. Haryanto tampak lemah, kulitnya menipis, namun matanya berbinar saat melihat halaman yang dulu sering ia duduki.
Aluna melangkah masuk ke kediaman Wijaya dengan langkah mantap, Raka menggenggam jemarinya erat. Wajah mungil anak itu dipenuhi rasa ingin tahu, sementara Aluna sendiri menyembunyikan kecemasan di balik sorot matanya yang tegas. Begitu tiba di ruang utama, tatapan tajam Miska langsung menusuknya. Gadis itu berdiri di samping Tuti, ibunya, dengan wajah penuh kebencian.
“Kau berani juga kembali ke sini,” sindir Miska dengan suara lantang, matanya beralih pada Raka. “Membawa bocah ini pula … jangan-jangan benar kabar itu, dia bukan anak sah.”
Tuti menyambung dengan nada getir. “Aluna, kau tidak malu? Kau datang dengan kepala tegak seolah-olah semua orang akan menyambutmu, padahal kau hanya perempuan yang hidup dari belas kasihan laki-laki itu.”
Aluna tersenyum dingin, berbeda dengan dirinya yang dulu. “Kau pikir aku akan diam saja mendengar caci makimu? Jangan samakan aku dengan enam tahun lalu, Miska, Tuti.” Suaranya tegas, membuat keduanya terdiam sesaat.
Miska melangkah maju, tangannya terangkat hendak menampar seperti dulu. Namun, Aluna lebih cepat, tepat sebelum telapak tangan itu menyentuh pipinya, Aluna menangkap pergelangan tangan Miska dan membalas dengan tamparan keras. Suara yang pecah di ruangan itu membuat Tuti dan Miska ternganga.
“Ini balasan untuk tamparan yang dulu kau beri padaku,” ucap Aluna dingin. “Kalian pikir aku akan selamanya menjadi bulan-bulanan? Tidak. Aku sudah berdiri di tempat yang jauh lebih tinggi dari kalian sekarang.”
Tuti, yang tidak terima, hendak melangkah maju. “Kurang ajar kau, Aluna!” Namun, tatapan dingin Aluna membuat langkahnya terhenti. Aura yang dipancarkan putri tirinya itu benar-benar berbeda.
Saat itu Haris Yanto, ayah Aluna, turun dari lantai atas. Rambutnya sudah memutih sebagian, sorot matanya penuh keraguan. “Aluna…” panggilnya pelan. “Ayah dengar … kau sekarang sudah menikah dengan Tuan Takahashi Hiroto? Di mana dia? Apa dia diluar?"
Aluna menoleh, tatapannya dingin menembus. “Ya, dan itu tidak ada hubungannya denganmu."
“Aluna, jangan begitu,” Haris mencoba mendekat. “Ayah hanya ingin kita berbaikan. Kau tahu … ayah menyesal dulu tidak...”
“Tidak pernah memihakku?” potong Aluna cepat, nadanya getir. “Benar, Ayah. Kau tidak pernah ada untukku. Jadi jangan datang sekarang, pura-pura peduli hanya karena aku menjadi istri orang besar. Aku tidak butuh pengakuanmu.”
Haris tercekat, wajahnya berubah, campuran malu dan marah. Namun Aluna sudah memalingkan wajah, menuntun Raka masuk lebih dalam tanpa menoleh lagi. Miska dan Tuti saling pandang, keduanya tidak percaya dengan ketegasan Aluna. Mereka baru menyadari, perempuan yang dulu mudah diinjak kini telah berubah menjadi sosok yang tak bisa lagi diremehkan.
Malam itu, di kamar mereka, Miska menjerit frustasi. “Aku tidak akan membiarkan dia menang, Ma! Tidak akan!”
Tuti menepuk bahu putrinya, wajahnya mengeras. “Tenang, kita akan jatuhkan dia. Kalau dulu dia bisa kita usir dengan fitnah, sekarang pun kita bisa lakukan hal yang sama. Kita buat Tuan Takahashi marah dan membenci Aluna. Kita hancurkan reputasinya sampai ia kembali ke titik terendah.”
Dalam semalam, kabar-kabar miring mulai menyebar. Foto editan, gosip lama yang dipoles ulang, hingga isu bahwa Raka hanyalah anak haram hasil perselingkuhan. Perusahaan Wijaya ikut goyah, saham jatuh, dan esok paginya Haris berang melihat laporan kerugian.
“Dasar kalian berdua!” bentaknya pada Tuti dan Miska di ruang keluarga. “Perusahaan ini oleng karena ulah kalian! Kalian pikir main api tidak akan membakar rumah sendiri?”
Miska tidak terima dimarahi. “Ayah selalu saja menyalahkan aku dan Mama! Padahal Ayah sendiri yang tak becus menjaga nama baik keluarga!”
Amarah Haris meledak. “Kalau saja dulu aku tidak menikahi ibumu, aku tidak akan kehilangan istriku yang pertama! Aku menyesal … menyesal memilih Tuti dan hidup dalam rumah tangga busuk ini!”
Kata-kata itu membuat Tuti terdiam, matanya merah menahan sakit. Miska terpaku, tak percaya ayahnya mengatakan hal itu.
Sementara di balik pintu ruang keluarga, Aluna berdiri sambil tersenyum tipis. Ia mendengar semuanya, dari awal sampai akhir. Senyum dingin itu perlahan terukir, karena kini ia tahu luka lama yang pernah ditorehkan padanya mulai berbalik menusuk mereka sendiri.
“Permainan baru saja dimulai,” bisik Aluna pada dirinya sendiri.
[Terima kasih, Sayang.] tulis Aluna, karena dia tahu Taka membantunya membereskan semua masalah dalam semalam.
Semoga karma cepat menjemput mu 😡😡😡
Apalagi dia selalu ada di saat susah dulu , di saat kamu terabaikan dan tidak di anggap
Semangat Aluna 😍😍