NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# BAB 25 Dilema Larasati

Larasati akhirnya nyalakan ponselnya keesokan harinya—setelah semalam tidur di kamar lama masa kecilnya di rumah Dhara, dengan Abimanyu yang dia jemput pagi-pagi tidur di sampingnya, tidak tahu apa-apa tentang badai yang menghancurkan keluarganya.

Ponsel butuh waktu untuk loading—lalu meledak.

Seratus tiga puluh tujuh missed calls. Dua ratus enam puluh empat pesan teks. Notifikasi media sosial yang jumlahnya tidak masuk akal. Email yang membanjiri inbox.

Tangan Larasati gemetar saat dia scroll—kebanyakan dari nomor yang tidak dikenal. Reporter. Blogger. Bahkan beberapa dari orang-orang yang mengaku "teman lama" tapi sebenarnya cuma penasaran dengan drama.

Tapi ada juga dari orang-orang yang dia kenal. Dari keluarga besar. Dari teman-teman arisan yang biasanya hanya chat untuk koordinasi gathering. Dari mantan rekan kerja yang tidak kontak bertahun-tahun.

Semua dengan pertanyaan yang sama, ditulis dengan berbagai variasi:

_"Lara, kamu baik-baik saja?"_

_"Aku baca berita. Apa ini benar?"_

_"Kenapa kamu tidak jawab telepon?"_

_"Kamu di mana sekarang? Media mencarimu."_

Dan yang paling menyakitkan—dari keluarga Gavin. Dari kakak ipar yang selama ini selalu judgemental. Dari bibi yang selalu bilang Larasati "beruntung dapat suami seperti Gavin."

_"Larasati, kamu harus klarifikasi ke media. Ini memalukan untuk keluarga."_

_"Kenapa kamu biarkan skandal ini tersebar? Kamu istri, kamu harus protect nama keluarga Narendra."_

_"Orang-orang bertanya-tanya kenapa kamu tidak dampingi Gavin. Apa kamu mau terlihat seperti istri yang tidak supportive?"_

Setiap pesan terasa seperti pukulan. Larasati—yang sudah jadi korban dari pengkhianatan Gavin, yang sudah kehilangan delapan tahun hidupnya untuk pernikahan yang ternyata bohong—sekarang disalahkan karena tidak "bersikap seperti istri yang baik."

Air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Dia tutup ponsel dengan cepat, tapi damage sudah done. Kata-kata itu sudah tertanam di kepalanya, bergabung dengan guilt yang sudah ada.

Ketukan pelan di pintu. Dhara masuk dengan nampan—teh hangat dan roti panggang yang Larasati tidak akan sentuh karena perutnya terlalu bergejolak.

"Aku dengar kamu nyalakan ponsel," kata Dhara lembut, duduk di tepi ranjang. "Bad idea?"

Larasati mengangguk, tidak bisa bicara karena tenggorokannya terlalu sesak.

Dhara taruh nampan di meja samping, lalu peluk putrinya—pelukan yang membuat Larasati merasa seperti anak kecil lagi, seperti saat dia jatuh dari sepeda dan ibunya yang obati lukanya sambil bilang semuanya akan baik-baik saja.

Tapi kali ini lukanya tidak bisa diobati dengan perban dan antiseptik. Kali ini lukanya di tempat yang tidak terlihat tapi terasa di setiap napas.

"Mereka... mereka semua salahkan aku," bisik Larasati di pelukan ibunya. "Mereka bilang aku harus dampingi Gavin. Mereka bilang aku memalukan keluarga karena tidak berdiri di sampingnya di depan media. Mereka bilang aku istri yang buruk. Bu, aku yang jadi korban. Aku yang dikhianati. Kenapa aku yang disalahkan?"

"Karena dunia tidak adil untuk perempuan," kata Dhara dengan suara yang penuh amarah yang tenang—amarah yang datang dari pengalaman bertahun-tahun hidup di masyarakat yang selalu expect perempuan untuk sacrifice, untuk mengalah, untuk "menjaga keharmonisan" bahkan saat pria yang menghancurkan segalanya. "Karena masyarakat selalu expect istri untuk berdiri di samping suami, tidak peduli apa yang suami lakukan. Karena mereka melihat perceraian atau scandal sebagai kegagalan istri untuk 'menjaga' suaminya."

"Tapi aku tidak bisa jaga dia kalau dia yang memilih untuk pergi!" Larasati menarik diri dari pelukan, air mata mengalir deras. "Aku sudah coba! Delapan tahun aku coba jadi istri yang sempurna! Dan dia masih selingkuh! Apa lagi yang mereka expect dari aku?!"

"Mereka expect kamu untuk diam dan terima," kata Dhara dengan pahit. "Mereka expect kamu untuk tersenyum di samping Gavin di konferensi pers, bilang semuanya 'salah paham', dan pretend seperti pernikahan kalian baik-baik saja. Mereka expect kamu untuk sacrifice dignity-mu demi image keluarga Narendra."

"Aku tidak bisa lakukan itu," bisik Larasati. "Aku tidak bisa berdiri di sampingnya dan bohong. Aku tidak bisa bilang aku maafkan dia saat aku bahkan tidak bisa lihat wajahnya tanpa merasa mual."

"Lalu jangan lakukan," kata Dhara firm, menggenggam tangan putrinya. "Kamu tidak owe anyone apa-apa, sayang. Bukan keluarga Gavin. Bukan masyarakat. Bahkan bukan Gavin sendiri. Satu-satunya orang yang kamu owe adalah dirimu sendiri dan Abimanyu. Dan melakukan apa yang terbaik untuk kalian berdua—bahkan kalau itu berarti menolak untuk jadi topeng untuk menutupi kesalahan Gavin."

Tapi kata-kata ibunya—meski benar, meski memberi kekuatan—tidak bisa menghilangkan beban yang Larasati rasakan.

Karena bagian dari dirinya—bagian yang dibesarkan dengan nilai tradisional, yang diajari bahwa istri harus setia dan supportive—berbisik bahwa mungkin dia memang harus... apa? Membantu Gavin? Untuk apa? Demi siapa?

Ponselnya berbunyi lagi. Kali ini video call dari Aurellia.

Larasati ambil napas dalam, usap air matanya, lalu terima panggilan.

Wajah Aurellia muncul—marah, protektif, dengan mata yang menyala. "LARA! Akhirnya! Aku udah telepon berkali-kali! Kamu baik-baik saja?! Di mana kamu?!"

"Aku... aku di Bandung. Di rumah Ibu."

"Thank God," Aurellia menghela napas, lalu amarahnya kembali. "Lara, kamu lihat berita? Kamu lihat apa yang mereka tulis tentang kamu?!"

Larasati menggeleng lemah.

"Mereka bilang kamu istri yang tidak supportive!" bentak Aurellia, wajahnya memerah karena emosi. "Mereka bilang kamu abandon Gavin di saat dia paling butuh! Mereka bilang kamu probably ikut bertanggung jawab untuk affair dia karena kamu 'tidak cukup good sebagai istri'! LARA, MEREKA VICTIM-BLAMING KAMU!"

Setiap kata seperti tikaman. Larasati sudah tahu—dari pesan-pesan yang dia baca—tapi mendengarnya diucapkan keras membuat segalanya terasa lebih nyata, lebih menyakitkan.

"Dan kamu tahu apa yang paling menyebalkan?" lanjut Aurellia, suaranya bergetar dengan amarah. "MEREKA TIDAK TAHU APA-APA! Mereka tidak tahu bagaimana kamu survive pernikahan dengan pria yang barely di rumah! Mereka tidak tahu bagaimana kamu jaga Abi sendirian sambil Gavin sibuk dengan selingkuhannya! Mereka tidak tahu tentang bertahun-tahun kamu nangis sendirian di kamar mandi sambil pretend semuanya oke! MEREKA GAK TAHU APA-APA TENTANG KAMU, LARA! DAN MEREKA BERANI JUDGE?!"

Aurellia berhenti, napasnya cepat, lalu suaranya jadi lebih lembut. "Jangan dengerin mereka. Please. Kamu tidak salah apa-apa. Kamu victim di sini. Dan kalau mereka tidak bisa lihat itu, fuck them."

Dhara yang mendengar dari samping mengangguk dengan approval—jarang dia setuju dengan bahasa kasar, tapi kali ini appropriate.

"Tapi Rel," bisik Larasati, suaranya pecah, "bagaimana kalau mereka benar? Bagaimana kalau aku memang istri yang buruk? Bagaimana kalau aku yang—"

"STOP!" potong Aurellia keras. "Stop sekarang juga! Lara, dengar aku baik-baik. GAVIN YANG SELINGKUH. BUKAN KAMU. Gavin yang bohong. Gavin yang planning untuk hancurkan kamu. Gavin yang pilih Kiran di atas keluarganya sendiri. Kamu tidak force dia untuk lakukan itu semua. Dia buat pilihan sendiri. Dan sekarang dia facing konsekuensi. Itu bukan tanggung jawabmu untuk save dia dari konsekuensi pilihannya sendiri!"

"Tapi Abi..." Larasati menatap anaknya yang masih tidur, wajah polos yang tidak tahu bahwa hidupnya akan berubah selamanya. "Abi pantas punya keluarga yang utuh. Mungkin... mungkin aku harus coba lagi? Untuk Abi?"

"NO," kata Aurellia dan Dhara bersamaan—united front.

"Lara," Aurellia melanjutkan dengan lebih tenang tapi tidak kalah firm, "Abi tidak pantas untuk dibesarkan di rumah yang toxic. Abi tidak pantas untuk melihat mamanya di-treat seperti sampah oleh papanya. Abi tidak pantas untuk belajar bahwa pernikahan berarti staying dengan someone yang menyakiti kamu 'demi keluarga'. Kamu akan mengajarkan apa ke Abi kalau kamu stay? Bahwa selingkuh itu oke? Bahwa perempuan harus terima perlakuan buruk dan diam? Itu pelajaran yang kamu mau kasih ke anakmu?"

Kata-kata itu menghantam Larasati dengan kekuatan yang membuat napasnya tertahan.

Tidak. Dia tidak mau Abimanyu tumbuh berpikir bahwa itu normal. Dia tidak mau anaknya—kalau nanti punya istri—berpikir oke untuk selingkuh karena papanya melakukannya dan mamanya memaafkan. Dia tidak mau anaknya—kalau nanti jadi istri orang—berpikir harus bertahan di relationship yang menyakitkan karena mamanya melakukannya.

"Aku... aku tidak tahu apa yang harus dilakukan," bisik Larasati, merasa seperti tenggelam. "Semua orang bilang hal yang berbeda. Keluarga Gavin bilang aku harus dampingi dia. Kalian bilang aku harus stay away. Media mencari aku untuk statement. Lawyer bilang aku harus low profile. Dan Gavin... Gavin terus kirim pesan minta maaf dan minta kesempatan lagi dan aku tidak tahu mana yang benar!"

"Yang benar adalah apa yang kamu rasa benar," kata Dhara, kembali peluk putrinya. "Bukan apa yang orang lain bilang. Bukan apa yang society expect. Tapi apa yang kamu—Larasati, bukan istri Gavin, bukan mama Abi, tapi KAMU—rasa benar untuk hidupmu."

"Tapi aku tidak tahu siapa aku tanpa label-label itu," bisik Larasati, realisasi yang menyakitkan. "Aku jadi istri Gavin sejak umur dua puluh sembilan. Aku jadi mama Abi sejak umur tiga puluh. Aku lupa siapa Larasati yang hanya... yang hanya Larasati."

Keheningan turun—keheningan yang berat dengan truth yang tidak bisa disangkal.

"Lalu ini waktunya untuk find out," kata Aurellia lembut di layar. "Dan Lara... kamu tidak sendirian dalam journey itu. Aku ada. Ibu Dhara ada. Dan—" dia ragu, "—Reza ada. Kalau kamu mau dia ada."

Nama Reza membuat sesuatu di perut Larasati berputar—campuran dari desire dan guilt dan confusion.

"Aku harus pergi," kata Aurellia. "Tapi Lara, promise me—promise me kamu tidak akan buat keputusan based on guilt atau pressure dari orang lain. Promise me kamu akan think tentang apa yang genuinely terbaik untuk kamu dan Abi. Oke?"

"Oke," bisik Larasati, meski dia tidak yakin dia bisa pegang janji itu.

Setelah video call berakhir, Larasati duduk di tepi ranjang dengan Dhara di sampingnya, keduanya menatap Abimanyu yang tidur dengan damai—tidak tahu bahwa dunianya hancur di luar mimpinya.

"Ibu," kata Larasati pelan. "Apa yang akan Ibu lakukan kalau Ibu jadi aku?"

Dhara diam cukup lama, mempertimbangkan. "Aku akan prioritaskan anakku dan diriku sendiri. Aku akan lepas dari situasi yang toxic. Aku akan bangun hidup baru yang sehat dan stabil. Tapi sayang..." Dhara menatap putrinya, "aku bukan kamu. Aku punya privilege yang kamu mungkin tidak punya. Aku punya financial independence saat ayahmu cheating karena aku masih kerja waktu itu. Aku punya support system yang kuat. Dan yang paling penting—aku tidak punya public scrutiny seperti yang kamu facing sekarang. Keputusanku private. Keputusanmu... keputusanmu akan di-judge oleh thousands of people yang tidak kenal kamu."

"Jadi Ibu bilang aku harus pertimbangkan public opinion?" tanya Larasati, bingung karena tadi ibunya bilang sebaliknya.

"Tidak," kata Dhara firm. "Aku bilang kamu harus aware tentang public opinion, tapi jangan biarkan itu drive keputusanmu. Be strategic, bukan reactive. Kalau kamu mau cerai—dan aku pikir itu yang terbaik untuk kamu—lakukan dengan cara yang protect kamu dan Abi. Dengan lawyer yang bagus. Dengan PR strategy kalau perlu. Tapi jangan lakukan karena orang bilang kamu harus stay, atau karena orang bilang kamu harus leave. Lakukan karena itu yang kamu—deep down—tahu yang benar."

Larasati mengangguk perlahan, mencoba proses semua itu.

---

Malam itu, setelah Abimanyu bangun dan mereka habiskan sore main board game dan pretend semuanya normal, setelah Larasati tidurkan anaknya dengan dongeng dan ciuman goodnight, dia duduk sendirian di kamarnya.

Dari dalam lemari, dia keluarkan sesuatu yang dia bawa dari Jakarta—album foto pernikahan.

Album tebal dengan cover kulit yang elegant, full dengan foto-foto dari hari yang seharusnya jadi hari paling bahagia dalam hidupnya.

Dengan tangan gemetar, Larasati buka halaman pertama.

Di sana—foto mereka di altar. Gavin dengan jas hitam yang perfectly tailored, senyum lebar yang membuat mata berkeriput di sudut. Dan Larasati dengan gaun putih yang dia pilih dengan hati-hati, rambut di-updo dengan bunga-bunga kecil, mata yang bersinar dengan harapan dan cinta dan faith bahwa ini akan bertahan selamanya.

Mereka terlihat... bahagia. Genuinely bahagia.

Larasati ingat hari itu dengan jelas. Ingat bagaimana Gavin berbisik "aku akan jaga kamu selamanya" saat mereka berdansa pertama kali sebagai suami-istri. Ingat bagaimana dia pikir "ini dia—ini man yang akan aku tua bersama, yang akan jadi papa untuk anak-anakku, yang akan di sampingku through segalanya."

Bagaimana semuanya jadi... ini?

Kapan pria yang berbisik janji di altar berubah jadi pria yang berbisik kata-kata cinta ke perempuan lain? Kapan pernikahan yang dimulai dengan harapan berubah jadi neraka yang penuh kebohongan?

Larasati flip halaman demi halaman—foto honeymoon di Bali (ironis bahwa Gavin kembali ke tempat yang sama dengan Kiran), foto saat dia pregnant dengan Abi, foto saat Abimanyu lahir dengan Gavin yang menatap anaknya dengan awe.

Apakah semua itu bohong? Atau apakah ada waktu—meski sebentar—di mana Gavin genuinely mencintainya?

Dan apakah itu penting sekarang?

Air mata jatuh di foto—foto mereka berlima (termasuk kedua orangtua Gavin) saat Abimanyu ulang tahun pertama. Foto keluarga bahagia yang sekarang terasa seperti sandiwara.

Ponsel berbunyi—bunyi yang membuat Larasati tersentak. Pesan masuk.

Dari Gavin.

Dengan tangan yang tidak stabil, dia buka.

Bukan hanya satu pesan. Tapi paragraph panjang yang dikirim jam tiga pagi—waktu di mana Gavin probably tidak tidur, probably di-consume oleh panic dan regret.

_"Lara, kumohon. Aku tahu aku tidak punya hak untuk minta apapun dari kamu. Aku tahu aku sudah menghancurkan segalanya. Tapi aku menyesal. Aku menyesal dengan setiap sel di tubuhku. Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan. Aku tidak tahu kenapa aku lakukan semua itu. Aku bodoh. Aku egois. Aku monster._

_Tapi Lara, berikan aku satu kesempatan lagi. Satu kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa berubah. Aku akan potong semua kontak dengan Kiran—aku sudah lakukan itu. Aku akan ke terapi. Aku akan lakukan apapun yang kamu minta. Aku akan transparant sepenuhnya—kamu bisa check ponselku, emailku, apapun. Aku akan earn trust-mu lagi, perlahan._

_Aku tahu ini tidak akan mudah. Aku tahu kamu probably benci aku sekarang. Tapi please, jangan give up on us. Jangan give up on keluarga kita. Abi butuh kita berdua. Kamu dan aku—kita pernah bahagia. Kita bisa bahagia lagi. Aku tahu kita bisa._

_Dan Lara... tentang media. Aku tahu aku tidak berhak minta ini. Tapi company dalam trouble. Nama keluargaku hancur. Dan orang-orang bertanya di mana kamu. Mereka pikir kamu abandon aku, dan itu buat narrative jadi lebih buruk. Kalau kamu bisa—hanya sekali—appear dengan aku di depan media. Bilang kita sedang 'working through our issues' atau something. Cukup untuk calm down public opinion. Please._

_Aku tidak minta kamu maafkan aku sekarang. Aku cuma minta kesempatan untuk membuktikan aku worth untuk dimaafkan._

_Aku mencintaimu, Lara. Aku selalu mencintaimu. Aku cuma... aku lupa untuk sementara. Tapi aku ingat sekarang. Dan aku tidak akan lupakan lagi._

_Please. Berikan aku satu kesempatan lagi._

_-Gavin"_

Larasati menatap pesan itu sampai huruf-hurufnya blur karena air mata.

Bagian dari dirinya—bagian yang masih ingat pria yang dia nikahi delapan tahun lalu, yang masih ingin percaya bahwa orang bisa berubah—berbisik: _Bagaimana kalau dia genuine? Bagaimana kalau dia benar-benar menyesal? Bagaimana kalau kamu give up terlalu cepat?_

Tapi bagian lain—bagian yang sudah terlalu lama terluka, yang sudah terlalu banyak dikhianati—berbisik lebih keras: _Ini manipulation. Dia hanya desperate karena kehilangan segalanya. Dia tidak mencintaimu—dia mencintai idea of kamu sebagai safety net, sebagai istri yang akan selalu ada untuk clean up mess-nya._

Dan yang paling menyakitkan—bagian yang ingin percaya tapi tidak bisa:

_Bagaimana kamu bisa trust seseorang yang sudah menghancurkan trust sepenuhnya? Bagaimana kamu bisa rebuild sesuatu yang sudah burnt to ashes?_

Larasati menatap foto pernikahan lagi—dua orang muda yang penuh harapan, yang tidak tahu bahwa delapan tahun kemudian mereka akan berada di sisi yang berlawanan dari kehancuran.

Dan di tengah confusion dan pain dan pressure dari semua arah, satu pertanyaan menghantui:

Apa yang benar-benar dia inginkan?

Bukan apa yang Gavin ingin. Bukan apa yang keluarganya expect. Bukan apa yang masyarakat judge.

Tapi apa yang dia—Larasati—genuinely inginkan untuk hidupnya?

Dan di keheningan kamar itu, dengan foto pernikahan di pangkuan dan pesan desperate dari Gavin di ponsel, dia sadari:

Dia tidak tahu jawabannya.

Dan mungkin—mungkin—itu yang paling menakutkan dari semuanya.

---

**Bersambung ke Bab 21**

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!