 
                            Ayudia berpacaran dengan Haris selama enam tahun, tetapi pernikahan mereka hanya bertahan selama dua tahun, sebab Haris ketahuan menjalin hubungan gelap dengan sekertarisnya di kantor. 
Seminggu setelah sidang perceraiannya usai, Ayudia baru menyadari bahwa dirinya sedang mengandung janin kecil yang hadirnya tak pernah di sangka- sangka. Tapi sayangnya, Ayudia tidak mau kembali bersama Haris yang sudah menikahi wanita lain. 
Ayudia pun berniat nutupi kehamilannya dari sang mantan suami, hingga Ayahnya memutuskan agar Ayudia pulang ke sebuah desa terpencil bernama 'Kota Ayu'.
Dari situlah Ayudia bertemu dengan sosok Linggarjati Putra Sena, lelaki yang lebih muda tiga tahun darinya dan seorang yang mengejarnya mati-matian meskipun tau bahwa Ayudia adalah seorang janda dan sedang mengandung anak mantan suaminya.
Satu yang Ayudia tidak tau, bahwa Linggarjati adalah orang gila yang terobsesi dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nitapijaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cowok prik
Masih ada di hari yang sama, setelah merasa cukup beristirahat, Ayudia memutuskan keluar dari kamarnya. Dia mancari siapapun yang bisa dia lihat, bosan juga lama-lama di kamar.
Terlebih cuaca panas begini, rumah Uti tidak ada AC maupun kipas angin. Padahal jendela sudah di buka lebar-lebar, tapi anginnya sama sekali tidak mau mampir ke dalam kamar.
Di halaman belakang, Ayudia mendengar suara grasak-grusuk seseorang. Penasaran, wanita hamil itu segera menghampirinya dan ternyata Uti yang sedang meraih topi bulat anyaman khas para petani.
"Maturnuwun, nduk." Uti melempar senyuman khasnya. Ayudia balas tersenyum tipis, dia penasaran dengan kostum Uti-nya yang seperti orang mau berkebun di siang bolong begini.
"Uti mau kemana?"
"Uti mau kerja, nduk. Kamu istirahat lagi saja di rumah," Balas Uti sembari memasang topi berbentuk kerucut itu di kepalanya.
Sejenak Ayudia terkejut, Uti-nya kerja? Bukankah Ayahnya selama ini mengirim uang ke Bulik untuk biaya hidup Uti di Desa kota ayu ini?
"Kok Uti kerja, sih? Uti lagi butuh uang?" Ayudia penasaran.
Uti yang mendengar pertanyaan polos cucunya malah tertawa, "Uti kerja cuma buat ngisi waktu luang, nduk. Kalau masalah uang Ayah sama Bulik Paklikmu itu selalu ngasih Uti uang, padahal Uti sudah tua begini, nggak butuh uang banyak-banyak." balas beliau.
Ayudia menyetujui. Memang apa yang dibutuhkan wanita tua seperti Uti-nya itu, ya? Di masa tuanya begini, Uti memang mau membiayai siapa lagi? Anak-anak sudah pada menikah, biaya hidupnya pun di tanggung anak-anaknya.
"Emang Uti kerja apaan?" Tanya Ayudia penasaran. Kira-kira dia boleh ikut tidak, ya? soalnya dia bosan banget di rumah.
"Kerja santai aja, nduk. Di perkebunannya juragan Norman,"
Ayudia angguk-angguk, tapi bukan itu jawaban yang dia mau. "Maksud Ayudia, Uti kerjanya ngapain? Masa cuma santai-santai aja di gaji?"
Uti terkekeh hingga tampaklah giginya yang sudah hilang di beberapa sisi, tapi anehnya beliau masih fasih berbicara.
"Uti kerja petik-petik buah, nduk. Kadang juga petik sayuran, cabai, tomat, timun. Banyak lah," Mata Ayudia seketika berbinar. Wah, sepertinya pekerjaan yang menyenangkan.
"Ayudia boleh ikut?" wanita hamil itu berharap Uti-nya mengizinkan.
Untuk sesaat, Uti melirih cucunya kemudian melirik perut rata cucunya. Wanita sepuh itu tampak menimang-nimang baiknya bagaimana. Mau di ajak juga cuaca sedang panas-panasnya, dan Uti takut cucunya yang dari kota itu tidak biasa panas-panasan di kebun. Meskipun kebun buah yang rindang sekalipun, tapi kan cape.
Lalu, kalau tidak di perbolehkan juga Uti sedikit tak tega. Ayudia terlihat sangat berharap di ajak, terlebih dia sedang hamil muda. Mungkin saja dia mengidam.
"Boleh," Akhirnya keputusan itu dibuat. "Tapi nanti ikut-ikutan aja, kalau cape duduk di pondok." petuah Uti. Bahkan mereka belum sampai di tempat perkebunan, tetapi Uti sudah mewanti-wanti Ayudia.
"Iyaaa utikuu sayang! Lagian Ayudia juga tau ini lagi panas, kalo capek istirahat, kalo haus atau laper ya tinggal minta aja buahnya,"
"Memang kamu tau kebun buah apa?" Uti melirik Ayudia sekilas, kini dua wanita berbeda generasi itu sedang berjalan di galengan sawah yang hanya bisa di lewati satu orang. Ayudia di belakang, sementara Uti didepannya memimpin.
"Nggak tau, emangnya buah apa?" Ayudia menyengir lebar, meskipun Uti tak akan tau.
"Kalau yang sekarang mau di panen itu kebun jeruk, Juragan Norman juga punya kebun apel sama alpukat, tapi baru berbunga," Uti menjelaskan tanpa di minta.
Ngomong-ngomong, dari tadi Uti-nya selalu berbicara tentang juragan Norman. Di dengar dari julukannya juga sepertinya Juragan Norman itu orang kaya, terlebih punya banyak kebun buah dan sayuran. Hmm.
"Uti Nur bawa siapa itu,"
Saat memasuki sebuah gerbang perkebunan, atensi Ayudia teralihkan pada seorang wanita yang sedang menggendong seorang anak perempuan yang mungkin berusia lima tahun. Terlihat lucu, hingga tanpa sadar Ayudia mengusap perutnya refleks.
"Cucuku dari kota, dia itu ..." bla bla bla.
Ayudia sangat tidak suka dengan kebiasaan orang desa yang selalu menyebarkan berita dari mulut ke mulut. Seperti Uti-nya sekarang ini, beliau dengan lugasnya menceritakan Ayudia yang baru saja bercerai dan harus menanggung kehamilan. Bahkan Uti juga mengaku terpaksa membawa Ayudia karena cucunya yang sedang hamil itu mengidam ingin ikut.
Haaah! Bagaimana lagi? Mau marah juga itu Uti-nya sendiri.
Alhasil, Ayudia sedikit memberi jarak dengan Uti-nya dan seorang wanita yang dia ketahui bernama Raisa. Mereka berdua tampak asik mengobrol sembari memetik jeruk yang warnanya masih begitu hijau, tapi katanya sih manis, mungkin memang jenisnya begitu kali.
Yang paling Ayudia tidak suka, tatapan Raisa beberapa kali mengarah padanya seolah bersimpati. Haah, ternyata bukan tetangga yang harus Ayudia khawatirkan, melainkan Uti-nya sendiri.
Saking kesalnya Ayudia, dia bahkan tanpa sadar mencabut-cabut rumput di sekitar pohon jeruk yang meneduhi tubuh kurusnya sampai tanahnya yang semula hijau, kini berubah merah khas tanah pedesaan.
"Alhamdulillah, akhirnya Bapak merekrut tukang cabut rumput juga. Eh, mbak, yang di situ sudah bersih giliran sebelah sini mbak!"
Mendengar celetukan lancang seseorang, Ayudia sontak mendongak. Gila, bisa-bisanya dia di anggap tukang cabut rumput? Yang benar saja!
"Apa sih, nggak jelas!"
Lelaki dengan topi sedikit kerucut seperti milik Uti itu terbahak-bahak, wajahnya yang hitam manis terlihat sangat menyebalkan di mata Ayudia. Apalagi ketika dengan tengilnya dia berucap.
"Oh, bukan toh? Kirain tukang cabut rumput, soalnya bersih tuh rumput-rumput mbaknya cabuti."
HAASH!
"Apasih, nggak jelas. Sana deh, ganggu pemandangan aja!" usir Ayudia dengan ketus. Wanita hamil itu tanpa sadar cemberut sebal.
"Eh, Jangan cemberut dong, mbak. Jadi tambah cantik soalnya," ucap lelaki itu meledek.
Bukannya salah tingkah, Ayudia malah kesal. "Stres!"
lelaki itu cengar-cengir, meraih satu buah jeruk dan membukanya di tempat, setelah itu langsung melahapnya dalam satu suapan besar. Gila kan, itu mulut atau sarang babon?
"Ngemeng-ngemeng, mbak ini cucu-nya Uti Nur, kah? Yang dari kota?" lelaki itu bertanya. "Mau kenalan dong, Mbak. Nama saya Linggarjati Putra Sena, boleh panggil Linggar, Jati atau kalau mau panggil Sayang juga boleh."
PUK!
Sebal dengan ocehan gila lelaki itu, Ayudia melemparinya dengan kulit jeruk yang baru saja dia buka, hasil petikan asalnya.
"Eh, mbak nyolong jeruk punya bapak saya itu, haram loh mbak." Linggar menunjuk-nunjuk buah jeruk dalam genggaman Ayudia dengan mulutnya yang di monyong-monyongkan.
Ayudia bertambah kesal saja, kenapa di hari pertamanya di kota ayu ini harus bertemu dengan sosok Linggarjati? Lelaki prik yang sangat cerewet.
"Pelit!" Tanpa kata-kata lanjutan, Ayudia berdiri dari jongkoknya dan memberikan jeruk yang sudah dia kupas di tangan besar Linggar. Lelaki hitam manis itu kebingungan, lalu setelah Ayudia semakin menjauh dia baru sadar.
"Lah, marah?" Cicitnya sembari menatap buah jeruk yang berada di genggamannya.
