"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Itu?
Nama Andra menggema di mobil, menembus lapisan kepanikan dan menyisakan kejutan yang beku bagi Sella. Mantan kekasihnya, pria yang telah menghancurkannya hingga ke tulang sumsum, kini berada di tempat yang sama dengan kunci rahasia yang menentukan nasib perusahaan.
“Andra? Tapi bagaimana mungkin? Dia seharusnya berada jauh di luar jangkauan!” seru Sella, suaranya tercekat di tenggorokan.
Edo menekan pedal gas hingga mobil sport mewahnya nyaris melayang. Ia mengambil jalur pintas yang berliku-liku di kawasan Puncak, menunjukkan penguasaan medan yang mengerikan. Wajah tampannya kini dipenuhi oleh konsentrasi murni, dingin, dan perhitungan.
“Jelas ini bukan kebetulan, Sella,” potong Edo tajam. “Mungkin Bibi Dinar yang menghubunginya, atau Andra memanfaatkannya sejak awal untuk skenario ‘tebusan’ itu. Apapun itu, dia kini menjadi faktor X. Ini buruk. Keberadaan Andra justru menguatkan klaim Hartono bahwa kunci itu harus diambil oleh tim Operatif Delta karena adanya ‘tangan kriminal’ di dalamnya.”
“Jadi, Andra di sana bukan untuk menolongku? Atau Bibi Dinar?” tanya Sella, rasa takut itu kembali, diwarnai pahitnya realitas. Setelah semua penderitaan yang ia alami, mengapa ia masih mengharapkan kebaikan dari seorang manipulator?
“Aku tidak tahu motivasinya, Sella, tapi aku tahu tipenya. Seorang Andra tidak pernah bergerak tanpa perhitungan. Dia pasti melihat ini sebagai peluang, baik untuk mengambil kunci itu sendiri atau untuk menjual informasi kepadamu atau kepada Hartono. Dia sedang bermain di dua kaki,” ujar Edo sambil membelokkan setir dengan keras, menyebabkan ban berdecit sesaat. “Kau harus siap, sebentar lagi kita sampai. Daerah ini sudah menjadi zona perang, meskipun senyap.”
“Apa yang harus kulakukan?” Sella meremas jemarinya.
“Kau harus diam di mobil,” perintah Edo tanpa kompromi. “Begitu aku tiba, Hartono pasti akan segera menyadari kehadiran kita. Jika dia melihatmu, dia akan menggunakan dirimu sebagai pengalih perhatian untuk menahan Bibi Dinar. Mereka adalah tim operasi yang sangat terorganisir. Kau hanya akan jadi beban. Aku akan masuk, mengevaluasi situasinya, dan mengambil kuncinya dari Dinar sebelum mereka berhasil menekannya.”
Sella menggelengkan kepalanya keras-keras. “Tidak. Aku harus masuk. Jika Andra ada di sana, aku harus memastikan dia tidak melukai Bibi Dinar. Hubunganku dengannya memang buruk, tapi aku tidak mau melihat Bibi Dinar menjadi korban kedua setelah aku. Biar aku yang masuk! Dia akan mendengarkan aku, setidaknya!”
Edo mendesis, kesal dengan keberanian nekat Sella, tetapi mereka sudah sampai. Mobil berhenti mendadak di balik belokan terakhir. Di ujung jalur kecil itu, Sella bisa melihat dua mobil SUV hitam berlabel Security Service milik perusahaan, milik tim Hartono, yang terparkir taktis, siap untuk menutup setiap akses keluar.
“Mereka sudah tiba. Dua mobil. Empat orang berseragam, bersenjata ringan. Mereka tidak akan menunggu, Sella,” bisik Edo, suaranya merendah. Ia segera meraih pistol yang tersimpan rapi di laci dasbor, sebuah benda metalik hitam yang berkilauan dalam kegelapan.
Sella membelalak melihat benda itu. “Edo! Kau membawa senjata?”
“Tentu saja. Ini bukan piknik, Sella. Ini perang korporasi berkedok pengamanan aset. Dan mereka tidak akan segan melukai,” jawab Edo dingin. “Tapi aku tidak akan menggunakannya, kecuali dalam keadaan darurat absolut. Ingat, kita di sini bukan untuk berperang, tapi untuk menyelamatkan aset dan kerabatmu.”
Ia segera menyimpan pistol itu ke belakang celananya. Sebelum Edo sempat membuka pintu, Sella sudah lebih dulu mencengkeram lengan kekarnya.
“Dengarkan aku, Edo. Aku tidak bisa tinggal. Hartono mengenaliku sebagai kekasih Andra yang lama. Jika aku tidak ikut, dan Andra memanfaatkan situasinya, Bibi Dinar akan dalam bahaya. Dia tidak akan percaya padaku, kecuali aku memohon secara langsung,” desak Sella. “Kumohon, izinkan aku. Aku berjanji tidak akan mengganggu rencanamu. Aku hanya butuh sepuluh detik dengannya.”
Edo menatap Sella sejenak. Matanya yang gelap memindai tekad yang membara di mata wanita itu. Dia menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi kau harus selalu berada di belakangku. Tidak ada negosiasi dengan Hartono. Kita bergerak cepat. Saat aku memberikan sinyal, kau masuk, berbicara dengan Bibi Dinar, dan kita segera pergi. Mengerti?”
“Mengerti,” jawab Sella, sedikit lega namun jauh lebih tegang. Mereka berdua segera keluar dari mobil, bergerak dalam bayangan malam yang gelap menuju rumah Bibi Dinar.
Lampu teras rumah itu menyala, memberikan suasana yang kontras dengan kehadiran para Operatif Delta yang siaga di halaman depan. Mereka bersembunyi di balik semak-semak. Jendela rumah tampak tertutup, tetapi pintu depan terbuka sedikit, mengundang.
Edo mengisyaratkan Sella untuk tetap diam. Ia maju perlahan. Tiba-tiba, salah satu anggota Operatif Delta berbalik, merasakan pergerakan di kegelapan.
“Siapa di sana? Keluar!” teriak pria berseragam itu, mengangkat senternya.
Edo mengabaikan seruan itu. Ia mengambil lari cepat, langsung menerobos masuk melalui pintu depan yang terbuka, disusul oleh Sella. Pintu ditutupnya dengan sekali hentakan keras, membuat rumah itu kembali hening.
Sella mengikuti Edo, napasnya tersengal-sengal. Aroma besi dan debu langsung menyambutnya. Ruang tamu rumah Dinar tampak gelap, hanya diterangi oleh lampu remang-remang dari dapur.
“Bibi Dinar! Anda di mana?” panggil Sella dengan suara gemetar.
Tak ada jawaban dari Dinar. Namun, dari bayangan yang lebih gelap di sudut ruang keluarga, sebuah suara familiar terdengar. Suara yang dulunya ia puja, dan kini ia benci.
“Wow, romantis sekali. Kau membawa pacar barumu yang kaya, Sella. Cepat juga move on-mu,” ejek Andra, nadanya dipenuhi sinisme dan kelelahan.
Edo menarik Sella ke belakang punggungnya. Matanya mengunci sosok Andra yang ternyata sedang duduk di kursi kayu, tampak pucat, dengan beberapa noda darah di kemejanya. Ia terlihat tidak berdaya.
“Andra, apa yang terjadi di sini? Di mana Bibi Dinar?” tuntut Sella.
Andra menyeringai kecil, bibirnya tampak pecah. Ia menunjuk ke lantai di depannya. Di sana, Bibi Dinar terikat kuat dengan tali kabel di kursi makan. Dia sadar, tetapi matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.
“Kau harusnya berterima kasih padaku, Sella. Aku yang melindunginya dari para pengikut Hartono. Tapi sayangnya, sekarang mereka sudah mengepung kita. Dan soal kunci yang kau cari…” Andra mengangkat tangan kirinya yang bebas, dan di genggamannya terdapat seberkas flashdisk kecil yang terlihat usang. “Kunci akses itu sudah aku amankan. Tapi kau harus bayar mahal untuk ini, Edo. Atau kita semua akan mati di sini, karena tim Delta Hartono sedang menunggu momen untuk menyerbu.”
Tiba-tiba, suara Hartono dari luar menggema melalui pengeras suara. Suaranya serak dan kejam.
“ANDRA! DAN JUGA, NAGA SOSIALITA EDO! KELUARLAH SEKARANG! KUNCI ITU BUKAN MILIK KALIAN! Jika kalian tidak keluar dalam waktu satu menit, kami akan masuk dengan paksa. Kami sudah memberi cukup waktu.”
Sella menatap Edo, panik. Edo melihat ke sekeliling, ke pintu yang terkunci, lalu ke arah Andra yang memegang kunci digital di tangan. Waktu mereka habis.
“Dia berbohong, Edo. Andra pasti berbohong,” desis Sella.
“Mungkin iya. Tapi dia punya kunci itu,” balas Edo dingin. Ia melangkah maju, tangannya bersiaga di pinggang tempat pistolnya tersembunyi. “Berapa harganya, Andra? Kau tahu aku bisa memberikannya sekarang.”
Andra menggeleng, tatapannya terarah ke Sella. “Bukan uang. Kau harus memberikan Sella kepadaku, Edo. Jika kau mau kunci ini, biarkan aku pergi bersama Sella sekarang. Atau aku akan menghancurkan data di flashdisk ini, dan kita semua tamat.”
Edo mengeraskan rahang. Sella terperangah. Mereka hanya punya beberapa detik. Tiba-tiba, suara tembakan peredam terdengar samar dari luar, diikuti dengan teriakan pelan. Salah satu Operatif Delta baru saja jatuh. Hartono marah.
Edo menoleh cepat ke arah pintu. Ia tahu tim pengawasnya di kejauhan baru saja melakukan serangan pengalihan.
“Aku memberimu kesempatan terakhir, Andra. Turunkan flashdisk itu, dan kau bebas pergi sekarang,” ujar Edo.
Andra tertawa sinis. “Terlalu lambat, Edo. Coba lihat ke lantai di bawah kursi Bibi Dinar. Kau tahu apa yang kupasang di sana?”
Edo dan Sella menatap ke lantai. Sebuah jam digital kecil menyala merah, berkedip, menampilkan hitungan mundur yang tersisa. Tepat tiga puluh detik. Ini bukan hanya negosiasi; ini jebakan mematikan.
“Apa itu?” teriak Sella, matanya melebar.
Andra menyeringai puas. “Bom. Jika aku tidak bisa memilikinya, tidak ada yang bisa.”