Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. Menikah tapi terpaksa
"Hansel, menikahlah dengan Hana, anak Jamilah." ucap Rohana saat melihat anaknya duduk di meja kerjanya.
“Mama gila?!” Hansel membentak, berdiri dengan suara yang bergetar.
“Dia anak seorang pembantu! Apa mama ingin mempermalukanku?!”
Rohana melangkah mendekat, menatap putranya tanpa gentar.
“Justru karena itu dia pilihan terbaik. Hana tidak akan menuntut apa pun. Dia hanya akan menjadi ibu pengganti. Setelah bayi lahir, semuanya selesai. Perjanjian itu jelas. Laudya tetap istrimu di mata publik. Hana tidak akan pernah ada.”
Laudya tersenyum puas, lalu menambahkan dengan nada dingin, “Itu syaratku. Tidak ada yang boleh tahu. Tidak media, tidak publik, bahkan tidak keluarga besar. Hana hanya akan menjadi rahasia kecil di rumah ini. Kalau sampai terbongkar, reputasiku akan hancur. Dan aku tidak akan memaafkanmu, Hansel.”
Hansel mengepalkan tangan, menahan gejolak di dadanya. Dia ingin menolak, dia ingin berteriak. Namun di balik sorot matanya yang tajam, ada rasa sakit yang tak mampu ia ungkapkan.
Di sisi lain, Hana duduk bersama ibunya di kamar sederhana para pekerja. Wajahnya pucat, tangannya gemetar ketika mendengar penjelasan Jamilah.
“Mereka ingin kau menikah dengan Tuan Hansel,” suara Jamilah bergetar, matanya berkaca-kaca. “Hanya untuk setahun. Setelah bayi lahir, semuanya selesai. Kau bisa kembali ke pesantren, kembali ke hidupmu.”
Hana menggeleng cepat, air matanya jatuh. “Bu, tidak! Aku sudah katakan aku tidak bisa, bukan? Bagaimana mungkin aku masuk di antara mereka?”
Jamilah meraih tangan putrinya, menatapnya dengan penuh permohonan. “Nak, tolong mengerti. Ibu tidak punya pilihan. Mereka bisa menghancurkan kita kalau menolak. Ibu mohon, hanya setahun saja. Kau lakukan ini untuk ibu.”
Hana terisak, dadanya sesak. Ia ingin berlari, ingin kabur dari kenyataan. Namun melihat wajah ibunya yang penuh harap, ia tak sanggup berkata tidak. Air matanya mengalir deras, membasahi jilbabnya.
Hari itu juga, tanpa pesta, tanpa gaun mewah, pernikahan itu berlangsung.
Hanya ada seorang penghulu, dua saksi yang tak lain adalah pelayan rumah, dan beberapa orang kepercayaan Rohana. Di ruang tamu yang luas namun terasa asing, Hana duduk dengan tubuh bergetar, mengenakan kebaya sederhana berwarna putih. Tangannya terasa dingin, bibirnya pucat.
Hansel duduk di hadapannya, wajahnya datar, tanpa ekspresi. Hatinya berkecamuk, tapi suaranya tetap tegas saat ijab kabul dilafalkan.
“Saya terima nikahnya Hana binti Syukri dengan maskawin tersebut, tunai.”
Kalimat itu menggetarkan ruangan. Hana menunduk, air mata mengalir di pipinya. Ia kini resmi menjadi istri Hansel Malik, meski hanya dalam ikatan yang disembunyikan. Nikah siri yang tak seorang pun boleh tahu.
Setelah doa dipanjatkan, penghulu pergi. Rohana tersenyum puas, sementara Laudya hanya menatap Hana dengan tatapan penuh kemenangan, seolah dia telah terbebas dari keinginan ibu mertuanya.
Malam itu, Hana duduk sendiri di kamar pengantin yang telah disiapkan untuknya. Kamar itu indah, ranjang besar dengan sprei putih, lampu gantung berkilau, dan aroma mawar memenuhi udara. Tapi bagi Hana, kamar itu terasa seperti penjara. Dia menunggu, menanti Hansel datang. Waktu berjalan lambat, jam demi jam berlalu. Hingga jarum jam menunjuk pukul dua belas malam, pintu itu tetap tak terbuka.
Di sisi lain rumah, Hansel berada di kamar Laudya. Istrinya menyambutnya dengan senyum menggoda, membelai wajahnya, menariknya ke pelukan. Hansel menutup matanya, membiarkan dirinya larut dalam dekapan Laudya.
Namun jauh di dalam hatinya, ada rasa bersalah yang mengganjal. Ia tahu, di kamar lain, seorang gadis polos yang baru saja sah menjadi istrinya sedang menunggunya. Seorang gadis yang bahkan tak pernah ia beri pilihan.
Hana menatap kosong ke arah pintu, matanya sembab. Ranjang pengantin terasa dingin, selimut yang membalut tubuhnya tak mampu menghangatkan hatinya. Malam pertama yang tak pernah ia harapkan, ia lewati dalam sepi, ditemani air mata.
Keesokan paginya, sinar matahari masuk lembut melalui jendela besar ruang makan keluarga Malik. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi udara. Hana sudah sejak subuh membantu pelayan lain menyiapkan sarapan. Tangannya cekatan menata buah-buahan di atas piring kristal, namun hatinya berdebar keras. Malam yang ia lewati masih terasa seperti mimpi buruk dan sunyi, sepi, dan penuh air mata.
Dia tak tahu bagaimana harus bersikap pagi ini. Bagaimana cara menatap Hansel yang kini sah menjadi suaminya, meski hanya dalam pernikahan yang tak boleh ia sebutkan pada siapa pun. Hana merapikan meja makan, menundukkan wajah, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Tak lama, suara langkah sepatu bergema di lantai marmer. Hansel muncul dari arah tangga, mengenakan kemeja putih dan jas abu-abu muda. Wajahnya datar, seakan malam tadi tak pernah ada pernikahan, seakan Hana tak pernah duduk di kamar pengantin menunggunya dengan sia-sia.
Tak lama kemudian, Laudya menyusul. Wanita cantik itu tampak elegan dengan gaun kasual berwarna krem, kacamata hitam menggantung di rambutnya. Di tangannya, sebuah tas mewah diletakkan begitu saja di atas meja makan, seolah meja itu bukan tempat makanan melainkan pajangan untuk barang-barang mahalnya.
Hansel mengikuti di belakang, menarik koper besar berwarna hitam.
“Kamu sudah siap?” tanya Hansel singkat.
“Tentu saja,” jawab Laudya ringan, lalu meraih segelas jus jeruk yang sudah tersedia. Ia meneguknya setengah, kemudian menoleh pada Hana yang berdiri di sisi meja. Tatapan matanya penuh makna, seolah ingin menegaskan posisi siapa yang paling berkuasa di rumah itu.
“Aku akan terbang ke Inggris hari ini,” ucap Laudya sambil tersenyum tipis. “Ada acara launching produk baru brand internasional yang bekerja sama denganku. Beberapa minggu aku tidak akan di rumah.”
Hana hanya menunduk, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia bisa merasakan arah pembicaraan itu. Laudya menaruh kembali gelasnya dengan suara kecil yang terdengar nyaring di telinga Hana.
“Selama aku tidak ada, kau harus merawat suamiku. Pastikan dia mendapatkan semua yang dia butuhkan. Mengerti?”
Kalimat itu seperti duri yang menusuk. Hana menahan napas, menelan ludah dengan susah payah. Belum sempat ia menjawab, Laudya melanjutkan dengan suara dingin, “Dan kau tahu apa yang ku inginkan, Hana. Aku tidak ingin pernikahanmu dengan Hansel berlangsung lama. Selesaikan tugasmu secepat mungkin. Hamil, melahirkan, lalu keluar dari kehidupan kami. Itu saja.”
Ucapan itu membuat Hana terpaku. Bibirnya gemetar, matanya membelalak penuh terkejut. Ia berani menoleh ke arah Hansel, mencari sedikit pembelaan, atau setidaknya penjelasan. Hansel menatapnya sekilas. Tatapan itu bukan kemarahan, bukan pula kasih sayang, hanya kosong. Ia menarik kursi, duduk, lalu berkata pelan namun tegas, “Aku tidak ingin buru-buru punya anak.”
Keheningan mendadak menyelimuti meja makan. Laudya tertawa kecil, sinis, seolah mempermainkan kalimat Hansel. “Oh, jadi kau ingin memperpanjang waktu? Kau kira aku punya kesabaran sebanyak itu, Hansel?”
Hansel meletakkan sendoknya dengan suara beradu ke piring. Tatapannya tajam, namun tetap dingin. “Aku yang memutuskan kapan. Bukan kau ... bukan siapapun.”
Laudya terdiam sejenak, lalu tersenyum licin, meneguk sisa jusnya tanpa bicara lebih lanjut. Ia tahu, meskipun Hansel membantah, pada akhirnya keluarga akan selalu menekan sampai tujuan mereka tercapai.
Hana berdiri kaku, tangannya gemetar memegang serbet di sudut meja. Ia merasa sesak, terperangkap dalam permainan besar yang tidak pernah ia pilih. Ia ingin berteriak, ingin menangis, tapi semua tertahan dalam kerongkongannya.
Sementara itu, Hansel hanya menunduk, menyendok sarapannya tanpa gairah. Namun dalam hati, ia merasakan perih yang sulit dijelaskan. Ia tidak pernah ingin menjadikan Hana korban. Tapi keadaan, desakan, dan cinta butanya pada Laudya telah menyeret semuanya menjadi rumit.
Laudya bangkit, meraih tas mewahnya dan berjalan anggun menuju koper yang sudah siap. Hansel ikut berdiri, menarik koper itu tanpa banyak bicara.
“Jangan lupa, Hana,” ucap Laudya sambil melewati gadis itu. “Tugasmu hanya satu, pastikan kau mengandung anak suamiku. Setelah itu, kau tidak lagi ada di sini.”
Setelah pasangan itu berjalan keluar, Hana terduduk di kursi dengan tubuh lemas. Matanya panas, tapi ia menahan air mata agar tidak jatuh. Ia sadar, sejak hari itu hidupnya bukan lagi miliknya. Ia hanya pion dalam permainan keluarga kaya raya.
"Hana," panggil Jamilah, Hana menoleh lalu merentangkan tangannya untuk memeluk sang ibu.
"Ibu minta maaf," ucap Jamilah pelan, Hana menggelengkan kepalanya pelan, seakan akan mengatakan ibunya tak bersalah dan tak perlu meminta maaf.
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊