Terpaksa Jadi Istri Kedua Demi Keturunan

Terpaksa Jadi Istri Kedua Demi Keturunan

01. Takdir macam apa ini?

Rumah keluarga Malik berdiri angkuh di tengah kota, bak istana megah yang selalu menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Pilar-pilar tinggi berlapis marmer, halaman luas dengan air mancur, dan pagar besi berukir lambang keluarga yang berkilau setiap kali tertimpa cahaya matahari sore. Dari luar, semua tampak sempurna, kemewahan, kekuasaan, dan kehormatan menyatu di sana.

Namun, di balik dinding megah itu, ada kekosongan yang tak bisa disembunyikan. Lima tahun pernikahan Hansel Malik dan Laudya Prameswari, tak pernah terdengar tangis bayi, tawa anak kecil, atau suara riuh keluarga kecil yang semestinya mengisi setiap sudut rumah.

Hansel duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan wajah tegas dan dingin. Jas abu-abu membungkus tubuh tegapnya, rambutnya tersisir rapi, dan kacamata tipis bertengger di hidung mancung. Di balik ketampanan itu, banyak yang menganggapnya terlalu kaku, terlalu dingin, hingga dijuluki beruang kutub di dunia bisnis.

Sementara itu, Laudya istrinya sedang bersiap pergi. Dengan gaun elegan berwarna merah marun, rambut panjang bergelombang yang ditata sempurna, serta riasan wajah yang nyaris tanpa cela, ia bagai bintang yang baru turun dari langit. Sejak awal pernikahan, ia sudah menegaskan satu hal, karier dan tubuh indahnya adalah prioritas utama. Anak bukan bagian dari mimpinya.

“Masih dengan rapat-rapatmu?” tanya Laudya sambil mengenakan perhiasan berlian di tangannya.

Hansel mengangkat wajah, menatap istrinya singkat, lalu kembali ke layar.

“Ada presentasi penting besok. Aku harus siap.”

Laudya tersenyum tipis, senyum yang lebih banyak ditujukan untuk dirinya sendiri saat melihat pantulan wajah cantiknya di cermin besar ruang tamu.

“Aku ada acara fashion show malam ini. Jangan tunggu aku pulang.”

Hansel tak menjawab. Kebisuan itu sudah menjadi bahasa mereka sehari-hari. Pernikahan yang dulu diharapkan penuh cinta kini berubah menjadi kontrak tanpa gairah. Hansel masih mencintai Laudya, setidaknya itulah yang ia yakini, tapi keinginan kuat Laudya untuk tak memiliki anak selalu menorehkan luka di hatinya.

Sore itu, suara langkah sepatu berderap memasuki ruang tamu. Rohana Malik, ibu mertua Laudya, muncul dengan wajah tegas. Wanita itu anggun meski usianya sudah melewati lima puluh tahun. Dengan setelan kebaya modern berwarna hijau zamrud, ia terlihat berwibawa. Ahmad Malik, suaminya, tak ikut serta, namun semua orang tahu, suara Rohana adalah suara keluarga.

“Laudya,” panggilnya lantang.

Laudya menoleh dengan malas, lalu menghampiri.

“Ada apa, Ma?”

Rohana menatapnya tajam, mata yang menyimpan kegelisahan bercampur amarah. “Aku sudah cukup bersabar lima tahun ini. Kau tahu persis apa yang diinginkan keluarga ini, yaitu cucu. Pewaris nama Malik. Tapi sampai sekarang, kau bahkan tak pernah berniat memberikan itu.”

Laudya menghela napas panjang. Ia sudah menduga pembicaraan ini akan muncul lagi. “Ma, sudah berkali-kali aku jelaskan. Aku tidak mau punya anak. Aku sibuk, tubuh aku adalah aset. Aku tidak akan merusaknya dengan kehamilan.”

Kata-kata itu membuat wajah Rohana menegang.

“Kalau begitu, untuk apa kau menikah dengan Hansel? Kau pikir keluarga ini hanya butuh boneka cantik di rumah? Kami butuh darah daging! Kalau kau tak bisa, lebih baik kau lepaskan Hansel.”

Hansel yang sedari tadi diam, bangkit dari kursinya. “Ma, cukup! Aku mencintai Laudya. Jangan bicara soal cerai lagi.”

Namun Rohana tak bergeming. “Cinta saja tidak cukup, Hansel. Keluarga ini harus punya penerus. Kalau tidak darinya, maka dari perempuan lain.”

Kata-kata itu membuat Hansel terdiam. Dadanya sesak, seolah kata-kata ibunya adalah belati.

Laudya mendekat, senyum sinis menghiasi wajahnya.

“Kalau mama memang memaksa, aku punya solusi.”

Rohana mengangkat alis. “Apa?”

“Biar Hansel cari wanita lain. Cari perempuan yang mau mengandung anaknya. Setelah lahir, anak itu jadi pewaris keluarga Malik. Aku tetap istri sahnya, tak ada yang perlu diganggu.”

Hansel menatap istrinya dengan kaget dan marah. “Laudya, kau sadar apa yang kau katakan? Aku tidak butuh wanita lain!”

“Tapi aku tidak akan mau hamil, Hansel,” jawab Laudya dengan tenang, seakan keputusannya sudah bulat.

“Kalau kau mencintaiku, kau harus terima. Kau tetap milikku, tapi biar ada perempuan lain yang menanggung beban itu.”

Hansel mengepalkan tangan, menahan gejolak emosi. Dia tak pernah membayangkan istrinya akan merendahkan makna pernikahan seperti itu. Baginya, pernikahan adalah kesetiaan, bukan kontrak berbagi.

Rohana, di sisi lain, justru melihat celah. Ia tahu putranya tak akan setuju, tapi ia juga tahu cara untuk menekan keadaan. Senyumnya samar, seolah rencana mulai tersusun dalam benaknya.

Malamnya, Hansel duduk di balkon kamarnya. Lampu kota berkelap-kelip dari kejauhan, namun hatinya gelap. Ia terjebak antara cintanya pada Laudya dan kewajiban pada keluarga.

Dia ingin anak, ia ingin rumah yang dipenuhi tawa kecil, namun istrinya menolak mentah-mentah. Cintanya pada Laudya membuatnya bertahan, meski hatinya teriris sedikit demi sedikit.

“Kenapa semua jadi serumit ini…” bisiknya pada langit malam.

Dia meneguk gelas wine di tangannya, berusaha menenggelamkan resah yang kian menyesakkan dada.

Sementara itu, di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, Hana baru saja pulang dari pondok pesantren. Gadis berusia dua puluh tahun itu membantu ibunya, Jamilah, menyiapkan makan malam. Wajahnya lembut, matanya teduh, dan senyum tulus selalu terukir di bibirnya.

“Ibu, besok aku kembali ke pesantren. Banyak anak-anak yang menungguku mengajar ngaji,” ujarnya riang.

Jamilah tersenyum, meski dalam hatinya ada kegelisahan. Ia tahu apa yang baru saja disampaikan Nyonya Rohana sore tadi. Sebuah permintaan yang tak pernah ia bayangkan, menjodohkan Hana dengan anaknya, Hansel Malik.

Tangannya bergetar saat menyendokkan sayur.

“Nak … kalau suatu hari takdirmu berubah, kamu siap, kan?”

Hana menatap ibunya dengan bingung. “Apa maksud Ibu?”

Jamilah hanya menggeleng, menahan kata-kata yang ingin keluar. “Tak ada. Makanlah, besok kita harus kuat.”

Di luar sana, bulan bulat sempurna menggantung di langit. Seakan menjadi saksi bahwa sebentar lagi, takdir Hana akan ditarik paksa ke dalam dunia keluarga Malik dan dunia yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi bagian dari hidupnya.

'Jika Hana menikah dengan Tuan muda, maka Nyonya besar akan memberikan kebahagian kepada Hana, yang tak pernah Hana dapatkan sebelumnya, di rumah ini.' gumam Jamilah dalam hatinya sembari menatap putrinya yang tengah makan malam di meja sederhana itu.

Terpopuler

Comments

FATIMAH INGGERIYANY BANGUN

FATIMAH INGGERIYANY BANGUN

mampir krna di rekomendasi mommy Ghina kk. biasanya yang di rekomendasi mommy bagus.. mudah2an karya ini tidak mengecewakan.. semangat kk. 🙏🏻

2025-08-28

3

Kar Genjreng

Kar Genjreng

mampir nih ,,, kenapa Ibu yakin kalau putrinya akan hidup enak atau layak,,,kan belum tentu Ibu. apa hubungan nya ibu dengan Rohana ,,, apakah ibu punya utang ,,,sudah benar putri ibu ada di pesantren dari pada menjadi istri kedua,,,

2025-08-29

1

Putri Dhamayanti

Putri Dhamayanti

dr mommy Ghina aku mampir kesini... qiqiqii penisirin. Bab 1 oke sih, cuss lanjut baca bab berikutnya

2025-08-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!