Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Pilihan yang Membekukan
Setelah urusan di kantor polisi selesai, malam sudah hampir berganti hari. Lampu-lampu jalan tampak berpendar samar di balik kaca mobil. Shannara duduk di kursi penumpang dengan kepala bersandar ke jendela, matanya kosong menatap keluar. Dilan menyetir dengan tenang, tapi dalam diam ia terus melirik perempuan di sampingnya.
Ia bisa melihat betapa lelahnya Shannara. Wajah pucat, mata sembab, dan bibir yang sesekali bergetar menahan napas berat.
"Aku benar-benar ... nggak tahu harus bilang apa, Lan," ujar Shannara memecah kesunyian, suaranya terdengar sangat lelah. "Kamu udah repot banget. Dari nganterin makanan, panik ke rumah sakit, nemenin aku ke sana sini. Maaf ya. Aku nggak tahu harus membalas kebaikanmu dengan apa."
Dilan menoleh sekilas, senyumnya melengkung tipis, senyum tulus yang selalu menenangkan. "Hei, udah dibilang nggak usah minta maaf." Ia menggenggam setir lebih erat. "Aku melakukannya suka rela, Nara. Aku malah seneng kalau kamu mau melibatkanku. Rasanya... aku berguna." Ia menghela napas, nadanya berubah lebih serius. "Jangan sungkan, ya. Kalau ada apa-apa, kamu tahu aku siap kapan pun. Jangan pernah berpikir merepotkanku."
Shannara merasakan kehangatan yang mendalam menyelimuti hatinya, kehangatan yang jarang ia rasakan dari siapa pun, bahkan dari keluarganya sendiri. "Makasih, Lan. Makasih banyak." ucapnya lagi, kali ini dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah, sudah." Dilan terkekeh pelan. "Aku juga ngerasa nggak ngelakuin apa-apa, kok. Kasusnya malah langsung ditangani oleh 'koneksi' Sergio."
Nama itu terucap. Ketegangan kembali menyelimuti mobil, jauh lebih tebal daripada kelelahan Shannara. Dilan menoleh ke Shannara, sorot matanya yang teduh kini penuh dengan pertanyaan yang mencekik.
Ia ingin tahu. Ia sangat ingin tahu. Bagaimana bisa Shannara dan Sergio, dua orang yang terpisah oleh waktu, status, dan bahkan pernikahan Sergio, bisa kembali berhubungan seerat ini?
Sergio sudah punya kehidupan, bahkan sudah menikah. Kenapa dia masih sebegitu pedulinya pada Shannara?
Dan Shannara... kenapa dia tidak bercerita? Kenapa tadi dia bahkan berbohong soal Davin, menyebutnya 'teman'? Apakah Shannara memang ingin menyembunyikan kembalinya hubungan ini dari semua orang?
Dilan mencengkeram setir. Naluri protektifnya berteriak, mengingatkannya pada gosip lama yang pernah ia dengar. Namun, ia melihat wajah Shannara yang sangat lelah, memancarkan kesedihan, bingung, dan kekecewaan yang mendalam. Ia tidak ingin menambah beban di pundak wanita itu. Dilan percaya, Shannara-nya tidak mungkin terlibat dalam hubungan yang salah. Pasti ada alasan yang kuat dan rumit di baliknya. Ia memilih untuk menyimpan semua kecurigaan dan pertanyaan itu.
"Kamu pasti melewatkan makan malam, kan?" Dilan mengalihkan perhatian, nadanya kembali lembut. "Makan, ya? Makanan yang kubawa tadi, ayam goreng mentega kesukaanmu, pasti sudah dingin. Mau kita mampir sebentar cari yang lain?"
Shannara menggeleng. "Oh nggak usah, Lan. Aku makan itu aja."
Dilan tersenyum lega, meraih tas jinjing berisi bekal dari kursi belakang, dan memberikannya pada Shannara. "Kalau gitu, kamu makan aja dulu di mobil. Sampai rumah sakit biar kamu nggak terlalu lapar."
...----------------...
Mereka tiba di rumah sakit. Setelah mobil Dilan terparkir, Shannara menoleh padanya.
"Lan, sebaiknya kamu pulang. Sudah larut banget," kata Shannara, dengan rasa tidak enak yang semakin menjadi. "Sekali lagi makasih, ya. Kamu benar-benar pahlawanku malam ini."
Dilan menolak, menggeleng tegas. "Aku temenin di sini aja, Nara. Setidaknya sampai subuh."
"Jangan, Lan. Aku nggak enak. Kamu pasti capek, besok juga harus kerja. Aku nggak mau kamu sakit. Lagian, di dalam sudah ada Ayah tiriku, Om Danu, yang jaga Ibu," tolak Shannara, memohon dengan matanya.
Dilan menghela napas, akhirnya mengalah. Ia tahu batas di mana ia harus mundur. Ia mengangguk mengerti. "Oke. Aku pamit, ya. Tapi ingat satu hal." Ia meraih tangan Shannara dan menggenggamnya erat. "Kalau butuh apa-apa, kapan pun itu, jam berapapun, bahkan jam tiga pagi, telepon aku. Aku akan langsung ke sini."
Shannara merasakan getaran ketulusan di genggamannya. "Iya, Lan. Hati-hati di jalan."
Shannara turun dari mobil dan menunggu hingga mobil Dilan melaju menjauh. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa tenaganya, dan berjalan menuju ruang rawat.
Di ruangan kelas dua yang hening, Hilda ditemani suaminya, Danu. Begitu Shannara masuk, wajah Hilda langsung berseri-seri, tetapi bukan karena putrinya kembali.
"Shannara! Kamu datang juga!" Tatapannya penuh harapan, dan yang pertama kali keluar dari mulutnya bukanlah pertanyaan tentang kondisinya sendiri. "Gimana kasus Aldi? Apa dia bisa bebas? Kenapa kamu nggak pulang sama dia? Kamu nggak urus, ya? Kamu malah seneng ya, adikmu dipenjara?"
Danu, yang terlihat mengantuk di kursi sofa, buru-buru menenangkan istrinya. "Sabar, yang. Shannara pasti sudah mengurusnya." Ia mencoba menenangkan, tapi istrinya menepis tangan itu.
Shannara memaksakan senyum lelah. "Semua butuh proses, Bu. Aku sudah cari bantuan. Teman-temanku akan bantu agar Aldi bisa bebas."
"Siapa yang bantu?" tanya Hilda, menuntut, tatapan matanya tajam. "Apa mereka pakai pengacara? Si dokter hewan itu? Atau si pria yang berpakaian rapi yang bantu antar ke rumah sakit?"
Shannara menjawab dengan singkat, "Mereka berdua yang bantu kita. Salah satunya sudah menunjuk pengacara."
Ibunya terdiam sejenak, lalu menghela napas dengan nada lega yang aneh. "Ya baguslah. Ada manfaatnya juga kamu deket sama orang penting kayak mereka. Si dokter itu juga kayaknya dari dulu suka sama kamu. Coba kamu tanggepin dikit, siapa tahu nasibmu lebih baik."
Shannara hanya diam. Tidak ada tenaga untuk menjawab.
Ibunya kemudian melihat kotak bekal di tangan Shannara. "Itu dari siapa?"
"Dari Dilan," jawab Shannara pelan.
Hilda langsung menyahut dengan nada memerintah, "Kebetulan! Suamiku belum makan."
"Ibu," suara Shannara pelan tapi tegas, "aku juga belum makan."
Amira langsung melotot. "Ya ampun! Dasar anak nggak punya hati! Sama suami Ibu sendiri nggak bisa berbagi, ya? Dia ini sekarang adalah ayahmu."
Perasaan lelah dan kecewa yang menumpuk seketika mencapai puncaknya. Tanpa berkata-kata lagi, Shannara menaruh kotak makan itu di meja samping tempat tidur.
"Makanlah." katanya, suaranya nyaris tanpa emosi, lalu dia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan.
Amira mendesis jijik, bergumam pada suaminya, "Dasar anak manja. Tukang ngambek." Danu hanya menggelengkan kepala, mengambil kotak makan itu, dan membukanya tanpa banyak berkomentar.
Shannara terus berjalan menyusuri koridor, mencari sudut paling sepi. Ia bersandar di dinding dekat jendela darurat, memejamkan mata erat-erat. Ia menggenggam ponselnya, dan sejenak berpikir. Ia harus menghubungi Davin. Harus tahu detail kasus Aldi, apa yang sudah dilakukan pengacara Sergio.
Namun, yang ia lakukan adalah menekan nomor Dilan. Panggilan itu tidak jadi tersambung. Shannara kembali memejamkan mata.
Saat ini, ia merasa terpecah. Ada Dilan, yang menawarkan cinta tulus dan bahu untuk bersandar, tetapi yang hanya bisa memberikan solusi kecil untuk masalahnya yang besar. Dan ada Sergio, yang telah menghancurkannya sekali, tetapi kini hadir melalui kekuasaan dan koneksi, menawarkan jalan keluar cepat dari mimpi buruk keluarganya.
Shannara menarik napas, air mata akhirnya menetes. Ia tahu, untuk menyelamatkan adiknya, ia mungkin harus kembali menggenggam tangan Sergio, tangan yang memberinya kekuasaan, tetapi juga menjanjikan ikatan yang berbahaya. Ia harus memilih, antara hati yang ingin ia lindungi, atau keluarganya yang terus-menerus menariknya ke dalam lumpur.
Malam itu, di koridor rumah sakit yang dingin, Shannara akhirnya membuka ponselnya dan mengirim pesan singkat pada Davin: Tolong hubungi saya. Saya ingin tahu semua detailnya. Pilihan telah dibuat, sebuah pilihan yang terasa sangat dingin dan berat.