Argani Sebasta Ganendra adalah pewaris muda dari keluarga yang berdiri di puncak kejayaan. Ayahnya seorang CEO tambang emas, ibunya desainer ternama dengan butik yang selalu menjadi pusat perhatian sosialita. Semua yang ia butuhkan selalu tersedia: mobil sport mewah, sekolah elit dengan fasilitas kelas dunia, dan hidup yang diselimuti gengsi serta hormat dari sekitarnya. Di sekolah, nama Argani bukan sekadar populer—ia adalah sosok yang disegani. Wajah tampan, karisma dingin, dan status pewaris membuatnya tampak sempurna. Namun, di balik citra itu, Argani menyimpan ruang kosong di hatinya. Sebuah perasaan yang ia arahkan pada seorang gadis—sederhana, berbeda, dan jauh dari dunia yang penuh kemewahan. Gadis itu tak pernah tahu kalau ia diperhatikan, dijaga dari kejauhan oleh pewaris yang hidupnya tampak sempurna. Kehidupan Argani semakin rumit ketika ia dipaksa mengikuti jejak keluarga: menjadi simbol keberhasilan, menghadiri pertemuan bisnis, bahkan menekan mimpi pribadinya. Di satu sisi, ia ingin bebas menjalani hidupnya sendiri; di sisi lain, ia terikat oleh garis keturunan dan kewajiban sebagai pewaris
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASTORIA
Ruang BK, Hari Pertama Kelas 3
Ruang BK mendadak penuh aura dingin. Circle Astoria duduk berjejer, wajah mereka mencuri perhatian guru-guru yang sudah terlanjur percaya laporan yang masuk.
Di meja depan, Gafrel Ganendra membuka map laporan.“Nama kalian disebut dalam kasus pembullyan siswa sekolah GI. Ada saksi yang mengaku melihat sebagian dari kalian di lokasi.”
Argani menghela napas panjang, tatapannya tenang tapi tajam.“Lucu. Gue bahkan nggak ada urusan sama anak GI. Kalau nama kita bisa nyasar ke laporan, berarti ada yang lagi main belakang.”
Zayn langsung bersuara, agak ketus.“Kenapa selalu kita yang ditarik-tarik? Karena kita geng paling keliatan, gitu?”
Albiru mencondongkan tubuh ke depan, suaranya pelan tapi menusuk.“Atau mungkin… ada orang yang lagi panas liat nama Astoria berdiri di atas.”
Kavi yang jarang bicara, kali ini ikut menimpali“Kalau gosip udah nyebar, sebagian orang pasti percaya aja. Padahal jelas-jelas nggak ada bukti.”
Amora menggigit bibir, matanya cemas.“Tapi tetap aja, kalau nama kita kotor… semua orang bakal ngejauh.”
Zamora sengaja nyeletuk, setengah bercanda.“Ya, minimal ada satu keuntungan. Gue bisa lebih sering dipanggil ke ruangan ini, ketemu abang lo, Ar.”
(Ucapannya bikin semua melirik ke dia, sementara Gafrel menghela napas sebal, tapi tidak menanggapi.)
Gafrel menutup map, menatap keenamnya dalam-dalam.“Saya kenal kalian dari kecil. Saya tau kalian bukan tipe pengecut. Tapi sekolah ini butuh bukti, bukan sekadar kata-kata. Jadi buktikan… kalau nama Astoria bersih. Kalau tidak, siap-siap hadapi konsekuensinya.”
Hening sejenak. Argani lalu berdiri, memasukkan tangan ke saku celananya.“Baik. Kalau gitu, kita cari siapa yang berani main kotor sama nama Astoria.”
Koridor Sekolah, Setelah dari Ruang BK.Bisik-bisik sudah bergema dari ujung ke ujung koridor. Nama Astoria disebut-sebut dengan nada setengah kagum, setengah sinis.
“Eh, katanya geng Astoria itu yang ngebully anak GI kemarin…”
“Serius? Tapi bukannya mereka orang-orang paling apa di sekolah ini?”
“Justru karena itu kali. Power mereka gede, siapa yang bisa lawan?”
“Gila… kalau beneran, rusak sih image mereka.”
Namun begitu pintu ruang BK terbuka, keenam anggota Astoria keluar berjalan berjejer. Argani di depan dengan langkah santai, sebelahnya Zayn yang memasukkan tangan ke saku, diikuti Albiru, Kavi, Zamora, dan Amora.
Mata semua murid otomatis tertuju pada mereka. Seakan-akan gosip barusan runtuh oleh kenyataan: aura geng Astoria memang tidak bisa dibohongi.
Albiru sempat berbisik sambil setengah senyum“Lucu ya, kita dituduh tukang bully, padahal yang keliatan kebully sekarang justru mereka semua. Lihat aja, pada ciut ngeliatin kita.”
Kavi mendengus kecil.“Biarin. Anggap aja ini angin lewat.”
Amora menunduk sedikit, berusaha tak peduli, tapi tetap saja ia bisa mendengar bisikan-bisikan iri maupun kagum dari anak kelas lain.
Zamora, yang lebih santai, malah mengangkat alis ke arah sekelompok cewek yang jelas-jelas membicarakan mereka.“Kalau gosip itu mata uang, kita udah jadi miliuner sekarang.”
Argani hanya menghela napas, ekspresinya tetap dingin dan cuek“Gosip nggak akan bikin nama kita hancur. Yang bikin hancur itu kalau kita percaya sama omongan mereka.”
Dan tepat saat mereka berbelok di koridor panjang itu, suasana seakan membelah: sebagian murid menyingkir memberi jalan, sebagian lagi hanya bisa terpaku dengan tatapan iri, kagum, sekaligus takut.
Circle Astoria, meskipun diterpa isu, tetap berjalan dengan aura tak tergoyahkan,seperti mereka adalah kasta yang tidak tersentuh.