"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.
apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 3 hampir tergoda
Usai menyantap makan malamnya, Lita merebahkan diri dikasur kamarnya, ponsel masih tergenggam erat di tangan. Pintu kamar dibiarkan terbuka lebar, seakan mengundang pandangan siapa pun yang kebetulan lewat. Tatapannya kosong menembus layar, lalu ia berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Kayaknya aku kurang berisi… apa beli obat ini ya?”
Perlahan, ia menarik selimut tipis berwarna putih yang menutupi tubuhnya. Bulu-bulunya yang halus beterbangan ringan di udara, seolah enggan terlepas. Tatapannya jatuh pada perutnya yang rata, dan sudut bibirnya sedikit menegang. “Yang belakang aja kali, ya?” gumamnya lagi, seakan menimbang sesuatu .
Keputusan pun diambil. Dengan nada yang nyaris tak terdengar, ia menutup bisikannya, “Yaudah deh… beli satu dulu. Siapa tahu ngaruh.”
Lita masih tenggelam dalam dunianya, jari-jarinya lincah menggulir layar, men-scroll postingan demi postingan. Terlalu asyik, ia tak sadar selimut yang tadi menutupi tubuhnya kini terabaikan di sudut ranjang.
Dari dapur, aroma kopi baru terseduh mengiringi langkah roni. Begitu melewati kamar , matanya langsung tertuju pada pintu kamar Lita yang terbuka lebar. Alisnya berkerut merayap di wajahnya.
Pandangan itu pun menemukan Lita, yang tengah rebah sambil memegang ponsel. Kaki jenjangnya sedikit terbuka di atas kursi kaki, dan kaus tipis yang dikenakannya tersingkap, menampakkan bagian perutnya yang datar. roni terdiam. Ada rasa aneh, tak nyaman sekaligus tak terjelaskan, berputar-putar di kepalanya.
Ia berdiri kaku beberapa detik—terlalu lama untuk disebut sekadar melihat. Lalu, seakan tersadar, ia segera berbalik, melangkah cepat meninggalkan kamar itu. Kopi di tangannya terasa hambar; ia butuh udara segar untuk mendinginkan pikirannya.
Waktu bergulir. Tanpa terasa, malam sudah sepenuhnya menelan rumah. Lita akhirnya menutup pintu kamarnya. Rasa kantuk dan lelah menindih kelopak matanya. Ia merebahkan tubuh di kasur,
Meli terbangun di tengah malam. Tangannya meraba sisi ranjang—kosong. Hanya dingin yang menyentuh kulitnya. Jantungnya berdegup aneh. Dia bangkit, melangkah pelan menuju halaman, mengikuti cahaya redup lampu teras.
“Mas… ngapain tengah malam begini?” suaranya bergetar, antara kantuk dan cemas.
Di sana, Roni berdiri, menatap jauh ke arah siluet gunung yang bersembunyi di balik kabut tipis. Nafasnya mengembun di udara dingin.
“Belum ngantuk, Sayang. Tadi habis nyelesaiin kerjaan kantor… sekarang cuma butuh udara segar,” jawab Roni pelan, tanpa menoleh.
Melly mendekat. “Aku temenin,” ucapnya sambil duduk di samping sang suami. Pandangannya ikut menyapu gelap yang sunyi itu. Angin malam menyentuh kulitnya seperti bisikan dingin.
“Kamu nggak kedinginan? Aku ambilin selimut, ya?” tawar Roni.
Meli menggeleng, lalu memeluk pinggang suaminya erat. “Nggak usah, Mas. Pelukanmu sudah cukup bikin aku hangat.”
Sunyi menelan kata-kata mereka.
Lalu, dengan suara lirih nyaris berbisik, Meli berkata, “Mas… andai di antara kita sekarang ada anak kita… pasti rasanya dunia ini nggak cuma hangat… tapi sempurna.”
"Kita harus terus berusaha, Sayang," ucap Roni sambil merangkul bahu Meli, suaranya penuh keyakinan.
"Iya, Mas… semoga program kita nanti berhasil," jawab Meli lirih, matanya menatap ke arah cahaya lampu yang redup.
Udara malam semakin menusuk tulang, dinginnya merayap hingga membuat napas berembus tipis. Meli menatap Roni, lalu menarik tangannya. "Mas, ayo ke kamar… sudah terlalu dingin di sini."
Di dalam kamar, keheningan terasa berat. Meli berdiri di dekat ranjang, tatapannya penuh makna, seakan ingin mengatakan sesuatu tanpa kata. Roni menutup pintu, lalu mendekat perlahan keranjang
Pagi ini, Meli melihat lita yang sudah memakai seragam sekolah.
“Lho, bukannya ini hari Minggu?” tanya Meli heran.
“Mbak lupa, ini hari Senin. Gini nih kalau kepikiran Mas Roni terus,” jawab lita sambil bersandar di kursi.
“Apaan sih kamu? Mbakmu ini bener-bener bisa lupa,” balas Meli sambil menggeleng.
“Ya sudah, aku berangkat dulu. Udah mau telat,” kata lita sambil memeriksa jam tangannya.
“Tunggu! Kita sarapan dulu. Ibu udah masak nasi goreng,” pinta Meli.
“Nanti aja, aku bisa telat!” lita buru-buru mengambil sepatunya.
Meli menyerahkan bekal, “Ini, bawa pokoknya!”
"makasih mbakku cinta " ucap lita mencium pipi melli " satu lagi mbak uang jajan nya mana"?
meli mengambil dompet mengeluarkan uang lima ratus ribu
"nih buat jajan kamu, kamu itu dari dulu morotin mbak mulu" ucap meli padahal dia sendiri yang selalu memanjakan adeknya itu
" dapet pahala nyenengin adek sendiri " ucap lita berlari keluar rumah karna sahabatnya sudah menjemput dan menunggunya
“Adik kamu di mana?” tanyanya. ibu yana dari pintu sambil mengelap tangannya di celemek
“Udah berangkat, Bu. Barusan sama temennya,” jawab Nelly sambil merapikan rambutnya.
“Ya sudah… kalau begitu kamu sekarang makan,” ucap Ibu, tatapannya beralih ke meja makan.
“Suamimu nggak ikut makan?”
“Mas Rani masih tidur. Kedapetan semalam lembur tugas kantor, Bu,” kata Nelly, suaranya agak pelan.
“Nasi gorengnya sisain buat dia, sama gorengannya,” kata Ibu Yana sambil menunjuk piring.
“Iya, Bu,” jawab Nelly, menaruh sendok di piringnya.
“Nanti sore Ibu mau ke kebun. Kamu mau ikut?” tanya Ibu, kali ini suaranya lebih ringan
Meli mengangguk pelan. “Boleh… nanti sekalian Meli bantuin,” ucapnya.
Setelah itu, Meli dan Ibu Yana makan sambil bercakap hangat, layaknya ibu dan anak yang sudah lama tak bertukar cerita. Sesekali terdengar tawa kecil di antara denting sendok dan piring.
Di sisi lain jalan, angin pagi menerpa wajah Lita yang dibonceng Arya. Suara mesin motor bergabung dengan riuh kendaraan. Arya melirik dari balik helm, matanya tetap fokus ke jalan.
“Lita… mbakmu udah pulang?” tanyanya datar.
“Iya. Kenapa?” jawab Lita tanpa banyak pikir.
“Kakak ipar lo juga ikut pulang,” lanjut Arya, nada suaranya meninggi sedikit.
“Iya… kenapa sih nanya mulu?” Lita menoleh sebentar, alisnya mengerut.
“Pegangan dulu,” ucap Arya tiba-tiba, lalu menarik tangan Lita, melingkarkannya di pinggangnya.
“Iya… nggak apa-apa sih, cuma nanya.”
lita mendengus pelan .
Arya menghela napas panjang, lalu menunduk sedikit agar suaranya terdengar jelas di telinga Lita.
“Kamu udah dewasa. Jaga jarak dikit sama masmu. Aku cuma ngingetin…” ucapnya, nada serius bercampur cemas.
"iya aku juga tahu kok, arya ngebut kita mau telat nih" ucap lita
motor mereka semakin melaju menyalip motor² yang menghalangi jalan untung saja arya lincah membawa motornya .
" aduh ,telat gerbangnya udah dikunci"
ucap lita mengeluh
"kayak biasanya aja lewat pintu belakang " ucap arya memberi saran