Iparku

Iparku

episode 1 niat baik

Mbak Meli, kalau nanti gede, adek mau sekolah di kota sama mbak,” ucap Lita, siswi kelas 1 SMP.

“Iya, dek. Nanti kuliahnya di kota sama mbak,” jawab Meli yang baru sebulan menikah dan kini tinggal di kota bersama suaminya, Roni. “Kita bisa bareng-bareng terus.”

Mendengar itu, Lita langsung girang dan memeluk ibunya.

“Buk, nanti kalau adek besar mau ke kota, masakin yang banyak ya… biar adek cepat besar, bisa nyusul mbak Meli,” katanya penuh semangat.

“Iya, nanti Ibu masakin makanan yang bergizi,” ucap Ibu Yana dengan nada penuh bangga, menatap kedua anaknya yang selalu bersama, tak terpisahkan, dan saling menyayangi.

“Udah dulu ya, Buk. Aku sama Mas Roni mau berangkat sekarang, takut kemalaman,” pamit Meli sambil menunduk mencium kedua tangan ibunya, lalu keningnya disentuh lembut oleh bibir sang ibu—tanda kasih sayang sekaligus restu perpisahan.

Meli kemudian menoleh kepada adiknya. Tatapannya lembut namun tegas.

“Kamu nurut sama Ibu di rumah, jangan nakal,” ucapnya, seolah menitipkan pesan yang tak boleh diabaikan.

“Belajar yang rajin… dan jangan pacaran dulu. Kalau nanti ketahuan, Mbak nggak akan ajak kamu ke kota,” ancamnya setengah bercanda, namun sorot matanya menunjukkan kesungguhan.

“Iya, Mbak… Adek janji. Nanti kalau Lita sudah sukses, Adek bakal bahagiain Ibu sama Mbak… dua orang terpenting dalam hidup Lita,” ucap Lita dengan suara bergetar, matanya sedikit berkaca-kaca.

Meli tersenyum, menatap adiknya dengan rasa bangga yang sulit diungkapkan. “Yang terpenting… dengerin apa kata Ibu sama Mbak, ya,” ucapnya lembut, seolah kata-kata itu adalah doa yang ingin selalu diingat Lita.

“Iya, Mbak… Lita bakal nurut,” jawab Lita mantap, meski suaranya lirih.

Meli lalu beralih pada Roni. “Mas, barangnya sudah dimasukin semua?” tanyanya sambil memastikan.

“Udah, Sayang… semuanya sudah beres,” jawab Roni

“Buk… Meli masuk ke dalam mobil dulu. Assalamu’alaikum,” ucap Meli sambil menunduk hormat, lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Roni menyusul di belakangnya, langkahnya mantap namun mata tetap menatap ke arah halaman,

“Berangkat dulu, Buk… Lita,” ucap Roni singkat namun hangat, lalu pintu mobil tertutup pelan.

Mesin menyala, dan mobil itu perlahan melaju meninggalkan halaman rumah sederhana itu. Debu jalanan berterbangan, sementara bayangan kendaraan semakin mengecil di ujung pandangan.

Ibu Yana menarik napas panjang, menatap kepergian mereka hingga tak terlihat lagi.

“Ayo, kita masuk… sudah mau malam,” ucapnya lembut, merangkul bahu Lita dengan penuh kehangatan. Mereka melangkah masuk ke rumah yang tampak sepi, namun di dalamnya ada ketenangan—sebuah keheningan

Seiring berjalannya waktu, tahun demi tahun berlalu. Usia Lita kini menginjak masa remaja, duduk di bangku SMA. Perubahan fisiknya kian terlihat—wajahnya semakin anggun, postur tubuhnya mulai dewasa—membuat banyak orang di desa tak henti mengaguminya.

“Lita, cepat sedikit… Mbakmu sebentar lagi sampai,” ucap Ibu Yana sambil melirik ke arah anaknya yang masih sibuk memilih baju di depan lemari.

“Iya, Buk… sebentar,” jawab Lita sambil terus mengaduk-aduk tumpukan pakaian.

 Hingga akhirnya tangannya berhenti pada sebuah dress selutut berwarna hitam. Sederhana, namun elegan. Walau di desa penampilan seperti itu jarang terlihat, Lita memakainya dengan percaya diri—tanpa sadar, ia telah memadukan kesederhanaan desa dengan sentuhan gaya yang membuatnya tampak berbeda di mata siapa pun yang melihat.

TIn… tin…

Suara klakson mobil terdengar dari luar, memecah kesunyian sore itu. Ibu Yana spontan mempercepat langkahnya menuju pintu, lalu membukanya dengan senyum lebar.

“Ibuk… Meli kangen sama Ibuk!” seru Meli begitu turun dari mobil, berlari kecil dan langsung memeluk ibunya erat-erat, seolah ingin melepas rindu yang sudah 5 tahun lamanya terpendam.

Mendengar suara Mbaknya, Lita yang sedang di dalam rumah segera melangkah keluar. Namun di dekat pintu, langkahnya terhenti. Ia berpapasan dengan Roni. Tatapan pria itu tanpa sengaja jatuh pada sosok Lita yang kini jauh berbeda dari dulu—bukan lagi gadis SMP dengan rambut bondol, melainkan remaja yang telah beranjak dewasa. Rambutnya tergerai indah, tubuhnya ramping, dress hitam selutut yang ia kenakan pas membalut lekuk tubuhnya.

“Mas mau masuk dulu?” tanya Lita sambil menoleh, suaranya datar namun ada nada sopan di dalamnya.

“Gak usah… Mas tunggu Mbakmu dulu,” jawab Roni singkat. Meski begitu, dari sudut matanya, ia masih sempat melirik ke arah adik iparnya—sekilas, tapi cukup untuk membuatnya tersadar

“Lita!” panggil Meli ketika melihat adiknya berdiri di dekat pintu. Tanpa ragu, Lita segera menghampiri, lalu memeluk kakaknya erat-erat. Pelukan itu dibalas hangat oleh Meli, seolah ingin menggantikan semua waktu yang pernah terlewat tanpa kebersamaan mereka.

“Lita sekarang udah gede… beda sekali dari waktu dulu Mbak pulang,” ucap Meli sambil menatap adiknya dari ujung rambut hingga ujung kaki, matanya berbinar bangga.

“Sekarang Lita udah SMA, Mbak. Cantikan, kan?” ujar Lita sambil tersenyum manja.

“Iya… adiknya Mbak tambah cantik,” puji Meli tulus.

“Mbak juga cantik,” balas Lita cepat, membuat Meli tersenyum lebar.

“Sudah, sudah… lanjut ngobrolnya di dalam. Di sini panas,” sela Ibu Yana sambil tersenyum, memberi isyarat agar mereka masuk ke rumah. Dengan perasaan riang, mereka bertiga pun melangkah masuk, meninggalkan teras yang masih dipenuhi sisa-sisa hangatnya sore.

Sekolah kamu gimana? Kamu nggak pacaran, kan?” tanya Meli sambil menatap Lita dengan sorot mata penuh selidik.

“Ya enggak dong, Mbak. Nilai aku juga selalu bagus semua,” jawab Lita mantap, sedikit mengangkat dagunya dengan percaya dirim

“Bagus. Kamu memang harus dengerin apa kata Mbak,” ucap Meli sambil tersenyum puas.

“Sayang, jangan kayak menekan Lita gitu… kasihan,” sela Roni sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

“Mas… ini semua demi kebaikan dia. Nanti, kalau dia sudah kuliah, baru aku bolehin pacaran,” jawab Meli tegas, namun ada nada sayang yang terselip di suaranya.

“Yang Mbak omongin bener, Mas. Aku juga belum mau pacaran dulu,” sahut Lita,memperjelas .

NAnti kalau kamu mau punya pacar, kamu tanya-tanya dulu sama Mas. Mas yang seleksi,” ucap Roni sambil menatap Lita serius, seolah benar-benar ingin memastikan adik iparnya tidak salah memilih.

“Iya, Mas… Lita juga mau fokus kuliah dulu,” jawab Lita santai, namun nada suaranya tegas.

“Itu baru namanya adik Mbak,” sela Meli sambil tersenyum puas.

“Kalau di sekolah… kamu nggak punya teman dekat cowok?” tanya Roni lagi, nada suaranya sedikit menyelidik.

“Punya sih, Mas… sahabat dekat. Orang kampung sini juga,” jawab Lita sambil mengangkat bahunya, seolah itu hal biasa.

“Siapa?” Roni langsung memotong, nadanya terdengar tak suka. “Cuma sahabat beneran?”

“Arya sama Rian, Mas,” jawab Lita jujur.

Roni terdiam sejenak, sorot matanya berubah—seakan nama-nama itu menjadi catatan khusus di kepalanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!