Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Murid Baru
Hari Senin itu, suasana sekolah terasa berbeda. Semua murid sibuk membicarakan satu hal: murid pindahan dari Bandung yang katanya super ganteng, pinter, dan atlet basket.
Icha sama sekali tidak tertarik.
Baginya, cowok baru atau lama, sama saja—kalau nyebelin kayak Albar, lebih baik tidak usah ada sekalian.
Tapi semua berubah saat murid baru itu masuk ke kelas mereka. Tinggi, rapi, wajahnya teduh dengan rambut sedikit bergelombang. Senyum ramahnya sukses membuat satu kelas mendadak hening.
“Kenalin, gue Rayan. Pindahan dari SMA 7 Bandung,” katanya, suara baritonnya bikin beberapa cewek langsung membenahi rambut.
Icha cuma menunduk, berusaha tidak peduli.
Namun nasib berkata lain.
Bu Tati, wali kelas mereka, langsung menunjuk bangku kosong di sebelah Icha.
“Kamu duduk di situ ya, di sebelah Icha.”
Albar, yang duduk tepat di belakang Icha, langsung menegang. Napasnya tercekat.
“Apaan ini… ada ancaman baru?”
Rayan duduk dengan tenang, menoleh ke Icha dan mengulurkan tangan.
“Hai, Icha, ya? Salam kenal.”
Icha ragu-ragu menjabat. “Eh… iya. Hai.”
“Gue dengar kamu yang paling pinter di kelas ini,” kata Rayan santai.
Icha mengerutkan kening. “Siapa yang bilang?”
“Semua orang. Mereka juga bilang kamu yang paling galak.”
Icha mendelik. “Nah, itu baru benar.”
Rayan tertawa. Tawa yang terdengar wajar, tidak dibuat-buat seperti Albar. Tidak ada kalimat aneh, tidak ada metafora tentang wifi. Hanya tawa biasa… tapi menenangkan.
Albar yang mendengar semuanya dari belakang, merasa jantungnya terbakar.
“Si Rayan udah kayak sinyal 5G! Gak bisa dibiarkan!”
Saat istirahat, Albar langsung menemui Rio di lapangan belakang.
“Bro, gue dalam masalah besar,” katanya panik.
Rio menguap. “Lagi-lagi Icha?”
“Bukan ‘lagi-lagi’. Ini serius! Ada cowok baru, namanya Rayan, dan dia duduk di sebelah Icha! Dan… dan Icha ketawa! KETAWA! Sama cowok lain!”
Rio mengangkat alis. “Terus?”
“Terus lo gak liat betapa seriusnya ini?! Gue bisa kehilangan sinyal utama gue!”
Rio tertawa pelan. “Bro, lo dari dulu ngejar sinyal itu tanpa hasil. Mungkin udah waktunya lo nyari jaringan baru.”
Albar menggeleng. “Gue gak bisa! Hanya Icha yang bisa bikin hidup gue konek.”
Sementara itu, di kantin, Dinda sedang menguping Icha dan Rayan ngobrol. Ya, menguping dengan terang-terangan.
“Lo betah pindah ke sini?” tanya Icha.
“Lumayan. Apalagi punya teman sebangku yang... unik,” jawab Rayan sambil tersenyum.
Icha mendesis. “Kalau yang lo maksud ‘unik’ itu artinya galak dan sensitif, lo gak salah sih.”
Rayan terkekeh. “Gue suka cewek yang gak gampang ditebak.”
Dinda langsung menyikut Icha di bawah meja. "IH DIA NGODE BANGET WOOI!"
Icha berdeham dan menghindari tatapan Rayan. Dalam hati, dia sebenarnya senang bisa bicara normal dengan cowok tanpa perlu dengar kata “wifi”.
Tapi saat itulah, Albar muncul—dengan dua minuman dingin dan ekspresi sok cool.
“Cha, gue pesenin es teh buat lo. Dua gula, dikit es, kayak biasa.”
Rayan langsung menoleh. “Eh, lo pacarnya Icha ya?”
Albar terdiam. Icha nyaris memuntahkan es tehnya.
“HAH?! PACAR?!”
“Wah, bukan ya?” Rayan mengangkat alis. “Soalnya kelihatannya deket banget.”
Icha mengibaskan tangan. “GAK! Dia penguntit. Penjaga warung. Tukang wifi keliling!”
Albar tertawa getir. “Gue lebih suka dibilang tukang wifi daripada dibilang gak penting.”
Setelah itu, Albar langsung pergi, meninggalkan minuman di meja.
Rayan menatap punggung Albar. “Cowok itu serius banget, ya?”
“Lebih dari serius. Ngeyel,” gumam Icha.
Tapi entah kenapa… ada sedikit rasa bersalah muncul. Walau menyebalkan, Albar gak pernah segalau tadi.
Sore itu, Albar duduk sendiri di taman belakang sekolah. Tempat dia pertama kali lihat Icha dua tahun lalu—waktu cewek itu sedang membaca sambil makan donat.
Ia menatap langit, lalu menunduk.
“Gimana kalau sinyalnya beneran pindah ke orang lain?”
Untuk pertama kalinya, Albar merasa takut.
Bukan takut kehilangan sinyal. Tapi takut kehilangan satu-satunya alasan dia semangat datang ke sekolah setiap hari.