Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.
Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.
Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 : Cinta Yang Belum Bernama
Shani berdiri di hadapan Freya. Ada aliran lembut di antara mereka—dua mata yang akhirnya saling bersitatap dalam diam. Wajahnya yang teduh memantulkan warna senja dari jendela toko, membuat siluet tubuhnya terlihat hampir tak nyata. Namun bagi Freya, ini lebih dari nyata. Ini adalah sesuatu yang selama ini hanya hidup dalam doanya yang paling sunyi.
"Aku tidak menyangka kau bisa bermain lagu sekeren itu," ujar Shani pelan.
Freya mengangguk kecil, menyembunyikan kegugupannya dalam senyum tipis. "Itu lagu buatanku sendiri."
Shani tersenyum. "Apa aku orang pertama yang mendengarnya?"
Freya menatapnya. "Iya. Kamu yang pertama."
Sunyi kembali menyelimuti toko alat musik itu. Tapi bukan sunyi yang kikuk. Ini adalah hening yang mengikat, seperti jeda dalam puisi, tempat di mana makna bisa tumbuh tanpa kata. Pemilik toko sudah kembali sibuk dengan lap kain dan tumpukan kotak biola. Shani melangkah pelan, duduk di kursi di depan Freya. Tangannya meraih salah satu gitar kecil berwarna coklat yang tergantung rendah. Ia mencoba memetik senar, terdengar sedikit fals, namun cukup untuk mengalirkan getaran ke dada.
"Aku tidak bisa bermain gitar," katanya sambil terkekeh, "tapi aku mengerti kalau lagu tadi... bukan cuma tentang musik."
Freya menunduk. Wajahnya memanas, tapi hatinya terasa lega. "Kadang... kita tidak tahu cara menyampaikan sesuatu. Jadi kita pakai cara lain."
"Seperti lagu?" Tanya Shani.
"Seperti diam, Atau tatapan, Atau... sekedar duduk bersama tanpa harus banyak bicara."
Shani terdiam. Kepalanya menoleh sedikit ke arah jendela. Senja hampir tenggelam. Garis jingga perlahan memudar menjadi ungu.
"Aku pernah mendengar," katanya lirih, "kalau seseorang bisa jatuh cinta bukan karena sering bersama... tapi karena sering diam-diam memperhatikan. Karena hati itu, diam-diam bisa mengenali seseorang sebelum pikiran sadar melakukannya."
Kata-kata itu menampar lembut hati Freya. Ia merasa seluruh tubuhnya seperti getar senar yang baru saja dipetik. Goyang, tapi indah. "Kalau begitu," Freya berkata perlahan, "apa hatimu sudah mengenaliku... sebelum ini?"
Shani tidak menjawab segera. Ia menatap Freya—lama. "Aku tidak tahu kapan tepatnya," ucapnya akhirnya, "tapi aku tahu, sejak pertama kali aku melihat kamu duduk sendirian di kelas musik... aku merasa kamu punya dunia sendiri dan aku ingin masuk kedalam dunia itu." Freya tak mampu membalas. Tapi senyumnya menjawab semuanya. Ada ruang di dalam dirinya yang selama ini kosong, kini mulai terisi oleh sesuatu yang tak bernama. Sesuatu yang hangat. Yang tak tergesa. Yang tumbuh dari ketulusan.
Lonceng pintu berdenting lagi, menandakan waktu sudah semakin sore. Seorang anak kecil masuk bersama ibunya, menambah keramaian kecil di toko itu. Shani berdiri. "Boleh aku menemanimu pulang?"
Freya menatapnya. "Boleh," katanya lembut, nyaris berbisik. "Asal kamu nggak keberatan berjalan lambat."
"Tidak masalah." jawab Shani.
...***...
Mereka berjalan berdampingan di trotoar yang mulai diselimuti bayang malam. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, seperti bintang yang perlahan muncul di langit kota. Freya menggenggam kantong berisi gitar barunya. Di sampingnya, Shani memasukkan tangan ke saku jaket, melangkah dengan santai.
"Kalau dipikir-pikir," kata Shani, memecah keheningan, "hidup ini seperti nada. Ada tinggi, ada rendah. Tapi justru yang bikin lagu menarik itu... perubahannya."
Freya mengangguk. "Dan kadang, nada yang paling menyentuh justru lahir dari kesunyian. Dari ruang kosong di antara not."
Mereka berhenti sejenak di bawah lampu jalan. Cahaya kuning jatuh ke wajah mereka. Shani memandang Freya dengan mata yang tak lagi ragu.
"Terima kasih," katanya, "karena sudah membuat lagu itu. Aku menyukainya."
Freya tersenyum. "Terima kasih juga... karena sudah mendengarkan." Shani mengangguk. Dan di detik berikutnya, ia membuka mulutnya lagi, namun tak ada kata yang keluar. Hanya sebuah tarikan napas yang dalam. Mungkin, karena memang ada kalimat yang terlalu besar untuk diucapkan saat itu.
"Shani?" ucap Freya sekali lagi. Gadis itu sedikit mendongak, karena Shani jauh lebih tinggi darinya.
"Ya?" balas Shani lembut.
"Aku... bukan orang yang romantis. Tapi aku tidak bisa memendamnya lagi. Aku ingin bilang kalau aku—"
"Mencintaiku?" potong Shani. Freya tercekat. Ia sudah tahu? Tapi... bagaimana?
"Aku tahu sejak lama, kau sering memperhatikanku. Bahkan aku tahu, ketika aku bermain basket tadi siang, kau melihatku dari lantai dua. Aku juga pernah, secara tidak sengaja, mendengar obrolanmu dengan temanmu... tentang perasaanmu padaku," ujar Shani, tenang.
Freya menunduk, meremas jari-jarinya yang mulai dingin. Hatinya berdegup kencang, tak beraturan, detaknya sedang mengetuk-ngetuk.
"Maaf... tapi aku memang menyukaimu. Bukan hanya aku, semua gadis yang ada di sekolah menyukaimu. Aku tahu itu. Aku tidak secantik mereka. Tidak sepopuler mereka. Tapi... perasaan ini tidak bisa aku singkirkan. Aku juga tahu... kau menolak Gracia, sampai dia menangis," ucap Freya, suaranya nyaris patah di akhir kalimat.
Shani terdiam sejenak. Pandangannya tak menjauh dari wajah Freya. Di dalam keheningan itu, waktu terasa seperti berhenti, membiarkan dua hati bicara dengan bahasa yang tak bisa ditulis dengan huruf.
"Aku... bisa memahaminya," ucap Shani akhirnya. "Dan aku tidak ingin menyakiti siapa pun. Tapi... aku juga tidak bisa menjawab 'iya' sekarang." Freya mengangkat kepalanya, menatap Shani. Tidak dengan marah, tidak dengan kecewa.
"Jadi... tolong beri aku waktu," tambah Shani pelan. Freya mengangguk Perlahan. Ia mengerti cinta yang tulus butuh ruang untuk mekar, dan waktu untuk mengerti bentuknya sendiri. Cinta bukan tentang siapa yang paling cepat memiliki... tapi siapa yang paling sabar menunggu, dan paling berani mengungkapkan. Kadang, satu kalimat jujur jauh lebih indah daripada ribuan kata gombal yang kosong. Dan malam pun turun perlahan, menyelimuti mereka dengan diam yang damai.
...***...
Shani mengantarkan Freya sampai ke gerbang rumahnya. Jalanan sudah mulai sepi, hanya suara jangkrik dan desiran angin malam yang menemani. Sekali lagi, sebelum mereka berpisah, Freya menoleh pada Shani. "Terima kasih... sudah mengantarku pulang," ucapnya lirih.
"Sama-sama. Aku... minta maaf soal yang tadi," ucap Shani.
Freya menggeleng lembut. "Tidak masalah. Aku akan menunggu. Sampai kau benar-benar yakin... untuk mencintaiku juga," jawabnya.
Shani menatapnya dalam diam. Lalu tersenyum samar. "Kau gadis yang dewasa…" ucapnya. "Sudah malam, aku pulang dulu," lanjutnya. Ia berbalik, melambaikan tangan, lalu mulai melangkah menjauh. Tapi belum genap beberapa langkah, suara itu memanggilnya lagi.
"Shani!" seru Freya cepat.
Shani langsung berbalik. "Ya?"
Freya menatapnya, ragu sesaat. Lalu memberanikan diri. "Besok... sepulang sekolah, apa kau ada waktu? Bisa temani aku ke toko buku bekas?"
Shani terlihat berpikir. Sebentar saja. "Ya, tentu. Sampai jumpa besok…" ucapnya sambil tersenyum. Kali ini, dia benar-benar pergi.
"Sampai jumpa," balas Freya. Namun kali ini nadanya terdengar sendu. Ada harap yang ditahan, ada bahagia yang masih samar. Tapi langkahnya terasa lebih ringan saat masuk ke dalam rumah. Ia tahu, besok akan ada awal baru. Mungkin bukan kencan dalam definisi yang biasa, tapi baginya, itu cukup. Karena cinta yang tulus... tidak selalu butuh status. Kadang cukup hadir, Cukup memberi waktu, Cukup berada di sisi orang yang kita sayangi, bahkan hanya sebagai teman—untuk sekarang. Dan bagi Freya, itu sudah seperti satu bab kecil dalam kisah yang mulai ia tulis bersama seseorang bernama Shani.
...***...
..."Perasaan yang tulus tidak meminta kepastian, ia hanya butuh ruang untuk tumbuh, dan waktu untuk diuji oleh kesabaran."...
...—Miss Anonimity—...