NovelToon NovelToon
The Legend Of The Shadow Eater

The Legend Of The Shadow Eater

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / TKP / Hantu
Popularitas:395
Nilai: 5
Nama Author: Senara Rain

Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3

Ratusan tahun lalu…

Desa Lematang malam itu porak-poranda. Jeritan bercampur suara gonggongan anjing dan bunyi bambu terbakar. Bayangan-bayangan manusia melarikan diri ke segala arah, namun satu demi satu bayangan itu lenyap, terserap oleh asap hitam yang menjelma menjadi sosok tinggi.

Asap pekat berputar, lalu wujudnya semakin jelas: seorang pria muda dengan wajah tampan, namun tatapannya tajam bagai jurang tanpa dasar. Dialah Lelepah—makhluk yang pernah dibakar hidup-hidup oleh penduduk desa, kini kembali dengan dendam yang membara.

“Akhirnya…” suaranya berat, penuh gema. “Akhirnya aku bisa membalas semua ini. Kalian yang pernah mengikatku, kalian yang menyalakan api untuk melahapku.”

Tubuh-tubuh bergelimpangan, bayangan hilang, desa mulai sunyi. Tapi dari antara kobaran api, seorang gadis kecil berlari tunggang-langgang menuju pantai. Rambutnya berantakan, matanya sembab, namun langkahnya tak berhenti.

Lelepah tidak langsung mengejarnya. Ia hanya berjalan pelan, tenang, mengikuti jejak kaki mungil yang terburu-buru itu. Kabutnya merayap di sepanjang jalan, tapi sesuatu yang aneh membuatnya berhenti sejenak.

“Hm?” ia bergumam. “Kenapa… bayanganku tak bisa menyentuhnya?”

Ia menyipitkan mata, menatap gadis itu lekat-lekat. Ada cahaya samar yang mengelilinginya, seakan kabut hitam yang biasa melahap manusia enggan mendekat.

Gadis itu terus berlari, hingga akhirnya langkah kecilnya menjejak pasir pantai. Ia tidak berhenti. Dengan tangisan lirih, ia masuk ke laut, berjalan semakin jauh.

Lelepah berdiri di bibir pantai, hanya memperhatikan. Ombak menyambut gadis itu dengan buas. Ketika tubuh mungil itu mulai tenggelam, Lelepah menggerakkan tangannya. Kabut hitam memadat, berubah menjadi potongan kayu lapuk yang terdorong tepat ke arah gadis itu. Gadis itu meraihnya dengan sisa tenaga, lalu tubuhnya lemas, pingsan, mengambang bersama kayu itu.

Lelepah melangkah maju. Bayangan hitam menjulur dari kakinya, mengangkat tubuh kecil itu tanpa menyentuh air laut. Seolah ia sedang mengangkat sesuatu yang amat rapuh, ia membawanya ke tepi pantai.

Beberapa saat kemudian, gadis itu tersadar. Nafasnya tersengal, matanya terbuka perlahan. Dan yang pertama kali dilihatnya adalah sosok pria asing yang duduk di depannya, kabut hitam berputar pelan di sekeliling tubuhnya.

Gadis itu tersentak. Matanya melebar ketakutan. Ia bergeser mundur, punggungnya menabrak karang. Tubuh mungilnya gemetar, air mata jatuh bercucuran. Lelepah mendekat selangkah. Kabutnya berputar di sekitar gadis kecil itu, tapi tak satu pun berani menyentuh kulitnya.

Ia mengulurkan tangan, jemarinya dingin, mengangkat dagu mungil itu agar menatap langsung ke matanya. “Kau berbeda dari yang lain… Kau satu-satunya cahaya yang bisa menembus kabutku.”

Tangisan gadis itu melemah. Ia tidak mengerti, tapi tubuhnya terkunci oleh tatapan makhluk itu. “Mulai malam ini… aku akan menjagamu. Menyimpanmu.”

“Dan ketika kau dewasa nanti…” ia berhenti sejenak, suaranya semakin rendah, hampir seperti bisikan.

“Kau akan menjadi pengantinku.”

Lalu, sebelum gadis itu sempat menjerit, kabut hitam menutup mereka berdua. Ombak pecah menghantam karang, menelan semua saksi.

Sejak malam itu, nama gadis kecil bernama Arum hilang dari desa Lematang. Semua orang mengira ia tewas ditelan laut, padahal sesungguhnya… ia hidup di bawah takdir kelam yang baru.

Masa Kini

Seorang pria tua berdiri di ujung dermaga kayu, tubuhnya sedikit membungkuk, wajahnya penuh keriput yang mengingatkan pada peta tua yang retak di banyak tempat. Tangannya menggenggam erat tongkat kayu yang ujungnya tampak aus, sementara di lehernya tergantung kalung dari gigi-gigi hewan yang sudah menguning. Senyumnya tipis, nyaris tidak terlihat, tetapi matanya… hitam legam, dalam, tanpa pantulan cahaya.

Begitu Lira dan Kai melangkah turun dari perahu, pria itu membuka mulut. Suaranya parau, berat, dengan logat khas yang membuat tiap kata terdengar seperti berasal dari masa lalu.

“Selamat datang… di Pulau Lematang.”

Kai membalas dengan senyum ramah, sementara Lira hanya mengangguk, bibirnya membentuk senyum sopan yang tidak sampai ke mata.

“Perkenalkan… saya Merta.” Ia mengetukkan tongkatnya sekali ke papan dermaga—bunyi kayu beradu dengan kayu bergema singkat, seperti tanda pembuka sebuah upacara. “Kalian… pasti datang dari kota”

Kai mengangguk pelan. “Ya, kami fotografer dan tertarik memotret tempat-tempat indah disini. Saya Kaisar dan ini teman saya Lira” ucapnya sopan.

Tatapan Pak Merta melekat pada mereka lebih lama dari yang nyaman. Lira mulai merasa ada sesuatu yang menekan dadanya, seperti udara di sekitarnya mendadak lebih padat. Angin laut kembali berhembus, membawa aroma asin… bercampur samar bau besi, tajam dan dingin, seperti darah yang sudah lama kering.

“Saya harap…” Merta berbicara pelan, bibirnya melengkung membentuk senyum yang terlalu kaku untuk disebut ramah. “…kalian tidak memotret sesuatu yang seharusnya tak dilihat.”

Lira menelan ludah, matanya menyipit, tapi Kai malah tertawa kecil, mencoba mengubah suasana. “Kami hanya akan mengambil gambar pemandangan.”

Pria tua itu tak menjawab, hanya memutar tubuhnya perlahan dan mulai berjalan, langkahnya diiringi bunyi gesekan ujung tongkat pada papan dermaga. “Ayo… aku akan menunjukkan jalan. Malam di Lematang… datang lebih cepat dari tempat lain.”

Saat kaki Lira menjejak tanah pulau itu untuk pertama kalinya, hawa panas lembap langsung membungkusnya, namun entah bagaimana ada pula dingin yang merayap dari telapak kaki hingga punggung. Dari dalam hutan yang rimbun, samar-samar terdengar sesuatu yang bergerak—ritmenya tak seperti langkah manusia, tapi lebih seperti gesekan… daging dan tanah.

“Di sini, malam terasa lebih panjang,” ujar Pak Merta sambil mengetuk tongkatnya ke tanah. Suaranya tenang, tapi serak, seperti daun kering yang diremas. “Pepohonan besar dan tebing tinggi menutupi sinar matahari. Bahkan saat siang pun… ada tempat yang tetap gelap.”

Kai menoleh sekilas, memasang senyum basa-basi. “Kalau penginapan di sini di mana, Pak?”

“Banyak,” jawab Merta, matanya tetap ke depan. “Pulau ini sudah jadi tujuan wisata. Tapi… kebiasaan warga lama masih melekat. Banyak yang masih hidup seperti zaman nenek moyang—primitif. Dan… tidak semua ramah pada pendatang.”

Lira, yang sejak tadi memperhatikan cara bicara Merta, bertanya hati-hati. “Maaf, Pak Merta ini lurah atau… RT di sini?”

Merta berhenti. Kali ini ia menoleh, menatap Lira agak lama, seolah sedang menimbang sesuatu yang tak terlihat. Senyumnya tipis, tapi sorot matanya menusuk, membuat Lira tanpa sadar menahan napas. “Aku sesepuh di sini. Orang yang bertanggung jawab menjaga adat, cerita lama, dan… batas-batas yang tak boleh dilewati.”

“Batas-batas?” Lira mengulang, keningnya berkerut.

Tatapan Merta tak lepas darinya, seakan mencari sesuatu jauh di balik matanya. “Nanti kau akan mengerti. Di sini, tidak semua jalan boleh dilalui… dan tidak semua tempat boleh dipotret. Kalau seseorang melanggar...” ia menahan kalimatnya, suaranya turun lebih dalam. 2kadang, pulang bukan lagi pilihan.”

Kai tertawa kecil, tapi tawanya terdengar kaku. “Tentu, kami akan ikuti aturan,” ucapnya buru-buru. Namun Lira masih merasakan sisa tatapan Pak Merta yang seolah menempel padanya—tatapan orang yang bukan sekadar memperingatkan, melainkan… mengenali.

Mereka kembali melangkah, menyusuri jalan setapak berbatu yang diapit rumah-rumah kayu beratap rumbia. Bau asap kayu terbakar tipis tercium di udara, bercampur aroma lembap tanah dan dedaunan. Dari balik celah jendela, Lira merasa tatapan mengikuti setiap langkahnya—mata hitam, bulat, tidak berkedip, seperti sedang mengukur-ukur mereka.

Di ujung jalan, berdiri sebuah bangunan kayu dua lantai, sedikit lebih besar dari rumah-rumah lain. Dindingnya berwarna cokelat tua, catnya mengelupas di beberapa bagian. Pak Merta mengangkat tongkatnya, menunjuk ke arah bangunan itu. “Itu penginapan kalian. Pemiliknya akan menjaga kalian… sepanjang malam.”

Ada penekanan halus di kata sepanjang malam yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. Lira menatap Kai, dan Kai menatap balik—keduanya tak perlu bicara untuk saling tahu bahwa perasaan mereka sama: sesuatu di tempat ini… tidak normal.

“Ada larangan yang tak boleh kalian langgar di sini,” kata Pak Merta tiba-tiba, suaranya lebih pelan, seperti tidak ingin didengar orang lain. “Jangan menatap terlalu lama pada sesuatu yang terasa… tidak wajar.”

Lira mengerutkan kening. “Maksudnya?”

“Bisa berupa bayangan, suara, cahaya, bahkan wajah yang kalian kenal,” jelas Merta, matanya menajam. “Semua itu bisa menjerat. Ingatlah—apa yang terlihat nyata, belum tentu milik dunia ini.”

Ia menatap mereka bergantian, lalu menambahkan, “Dan jangan masuk hutan terlalu dalam. Ada pembatas—tali, batu, atau tanda lain. Jangan pernah diterobos. Itu bukan sekadar batas wilayah, tapi batas dunia. Kalau kalian melewatinya… aku tidak bisa menjamin kalian bisa kembali.”

Kai tersenyum ramah, mencoba meredakan ketegangan. “Baik, Pak. Terima kasih arahannya. Kalau ada yang kami bingungkan, kami akan bertanya.”

Pak Merta hanya menatap mereka lama, tatapannya seperti menembus kulit dan daging. Lalu ia berbalik, tongkat kayunya menghentak tanah dalam irama lambat—tok… tok… tok. Suara itu terdengar aneh di telinga Lira, seperti gema di lorong sempit, padahal mereka berdiri di ruang terbuka.

Ketika mereka tiba di depan sebuah bangunan kayu dua lantai, seorang perempuan paruh baya sudah berdiri di pintu. Kebayanya lusuh, warnanya pudar, dan di tangannya ada kunci tua berwarna keperakan. Matanya mengamati mereka tanpa ekspresi, tapi tatapan itu seolah mengatakan dia sudah tahu siapa yang akan datang malam ini.

“Kalian tamu yang dikirim Pak Merta?” tanyanya, suaranya datar tanpa senyum. “Masuklah… sebelum matahari benar-benar tenggelam.”

Lira secara refleks menoleh ke langit. Matahari memang sudah separuh hilang di balik puncak pepohonan, dan bayangannya merayap cepat menelan jalan setapak—terlalu cepat untuk ukuran senja biasa.

Malam di Lematang jatuh seperti tirai tebal—tanpa transisi, tanpa jeda. Satu menit langit masih berwarna jingga redup, menit berikutnya, kegelapan sudah menelan segalanya.

Di dalam penginapan, bau minyak tanah memenuhi udara. Lampu minyak bergoyang pelan di gantungannya, cahayanya bergerak liar di dinding kayu yang tua. Lira duduk di tepi ranjang, menatap layar kamera Kai—foto-foto pohon kelapa, perahu nelayan, dan wajah penduduk pulau siang tadi.

Tiba-tiba—

Tok… tok… tok…!

Suara kentongan memecah keheningan. Bukan pola biasa. Ritmenya tak beraturan, cepat, seperti orang yang memukul karena panik. Lira mendongak. Kai sudah berdiri di dekat jendela, menyingkap tirai bambu. “Itu…” Kai menoleh ke arahnya. “Pasti ada yang darurat.”

Tanpa banyak bicara, Lira mengunci kembali tas kameranya, meraih jaket, lalu membuka laci kecil di meja. Sebuah pistol kecil ia keluarkan dan masukkan ke pinggang, tersembunyi di balik kaosnya.

Saat ia keluar, Kai sudah lebih dulu menuruni tangga kayu penginapan. Udara malam langsung menyergap, lembap dan dingin, bercampur bau garam laut.

Di luar, jalanan tanah yang tadi sepi kini penuh orang. Warga berlari kecil, sebagian membawa obor, sebagian membawa senter besar. Nyala api memantul di wajah mereka yang tegang. Bayangan bergerak liar di dinding rumah-rumah kayu.

Kai mendekat ke seorang bapak yang lewat, napasnya masih terengah.

“Ada apa ini, Pak?” tanya Kai.

“Anak Pak Samin hilang!” jawabnya cepat, lalu melanjutkan lari.

Tak lama, Pak Merta muncul dari arah jalan utama. Langkahnya terukur, tapi sorot matanya tajam. Ia berhenti di tengah kerumunan, menancapkan tongkat kayunya di tanah. “Semuanya dengar!” suaranya berat dan tegas. “Kita berpencar, tapi tidak ada yang berjalan sendirian. Minimal dua orang. Cari di hutan dan sekitar pantai! Waktu kita tidak banyak.”

“Nggeh!” jawab para warga hampir bersamaan. Suara itu seperti gema, menembus pekatnya malam. Kai melirik ke Lira, memberi isyarat dengan dagu.

“Ke hutan?” bisiknya. Lira mengangguk singkat.

Mereka mengikuti kelompok yang menuju gerbang jalur hutan. Lira berjalan di tengah barisan, memperhatikan sekeliling. Lampu obor menyorot batang-batang pohon yang tinggi, membentuk lorong gelap. Bau tanah basah menusuk hidung, bercampur suara serangga malam yang tak berirama.

Di depan, salah satu warga berteriak memanggil nama anak itu. Suaranya pecah, penuh rasa cemas. Setiap kali angin bertiup, obor bergetar, membuat bayangan pepohonan di tanah tampak bergerak… seperti sesuatu yang sedang mengikuti mereka.

Kai sesekali menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang terpisah dari rombongan. Sementara Lira merasakan sensasi aneh di kakinya—seperti tanah yang sedikit bergetar. Ia tidak yakin itu karena langkah mereka… atau sesuatu yang lain.

Langkah-langkah mereka makin dalam memasuki hutan. Udara di sini lebih dingin, lembap, dan menekan. Obor-obor warga menciptakan lingkaran cahaya yang berkelip-kelip di tengah kegelapan.

Lira berjalan di belakang, matanya terus menyapu area di antara batang-batang pohon. Suara serangga mendominasi, bercampur desir angin di daun kelapa hutan yang tinggi. Lalu—sebuah suara lirih memecah keheningan.

Tangis anak kecil. Pelan, namun jelas… seperti hanya berjarak beberapa meter dari telinganya. Tangis itu tersendat-sendat, terdengar ketakutan. Lira berhenti sejenak, menoleh ke kiri-kanan. “Kalian dengar itu?” tanyanya pada warga di depannya. Seorang bapak menoleh bingung. “Dengar apa, Mbak?”

“Anak kecil… nangis,” jawab Lira, napasnya sedikit terhenti.

Bapak itu menggeleng cepat. “Saya nggak dengar apa-apa.” Lalu ia kembali berjalan, mengikuti rombongan.

Tangis itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Seperti dari balik semak di sisi kiri jalur. Lira menelan ludah, lalu melangkah pelan ke arah sumber suara.

“Kai,” panggilnya lirih.

Namun Kai yang berada agak jauh di depan tak menoleh. Obor-obor mereka sudah bergerak menjauh, hingga cahaya di sekitar Lira mulai meredup.

Langkahnya semakin dalam ke sisi hutan. Bau tanah bercampur aroma anyir samar tercium. Pohon-pohon di sini lebih rapat, menutup cahaya langit sepenuhnya. Tangis itu terus memanggil… seakan sengaja menuntunnya.

Di balik rimbun daun pisang liar, ia melihatnya—sosok kecil duduk membelakangi, bahunya berguncang-guncang. “Dek…” suara Lira hampir berbisik. “Kamu anaknya Pak Samin, ya?” Sosok itu berhenti menangis. Diam. Lira melangkah sedikit lebih dekat.

Perlahan… bahu kecil itu berputar. Tapi yang menoleh bukanlah wajah anak kecil. Itu wajah pucat keabu-abuan, dengan mata besar menonjol, bibir lebar tersenyum menyingkap gigi-gigi tajam. Rambut kusut panjang menutupi sebagian wajah, dan dari sela rambut itu keluar suara perempuan serak:

“Kau datang sendirian…”

Dalam sekejap, sosok itu berdiri—tinggi, jauh lebih tinggi dari manusia biasa—dan lengan kurusnya terjulur cepat ke arah Lira. Lira terhuyung mundur, tangannya refleks meraih pistol di pinggang, tapi kaki kirinya terperangkap akar pohon, membuatnya jatuh. Nafasnya memburu, sementara bayangan besar itu menutup cahaya obor terakhir yang masih terlihat di kejauhan.

Lira mengangkat pistolnya, jari telunjuknya siap di pelatuk.

DOR!

Peluru pertama menembus udara, mengenai bahu sosok itu—namun tidak ada darah, hanya percikan hitam pekat yang langsung menguap.

Makhluk itu tertawa, suara cekikikan panjang menggema di antara batang pohon. “Senjata manusia… tidak berarti di sini,” bisiknya.

Lira mundur, menembak lagi. DOR! DOR!

Sosok itu menghilang di depan matanya, lalu tiba-tiba muncul di belakang, kuku-kuku panjangnya nyaris menggores leher Lira. Refleks, Lira membalik dan menghantamkan gagang pistol ke wajahnya. Sosok itu terhuyung, namun hanya sepersekian detik sebelum ia kembali maju.

“Pergi kau!” teriak Lira, menendang perutnya sekuat tenaga. Tendangannya membuat makhluk itu terdorong mundur, tapi ia hanya tertawa lagi—lebih keras, lebih menusuk.

Tiba-tiba, tangan dingin dan kasar mencengkeram leher Lira.

Seketika napasnya tersendat. Jari-jari panjang itu mencengkeram makin kuat, mengangkatnya sedikit dari tanah. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Suara hutan meredam, hanya detak jantungnya yang menggema di telinga.

Lira mencoba meraih belati di boot-nya, tapi genggaman itu terlalu kuat. Makhluk itu mendekatkan wajahnya—mata besar itu berputar liar, bibirnya menyeringai. “Kau akan ikut denganku…”

Suara itu merayap ke kepalanya, membuat tubuhnya kaku. Tenggorokannya perih, napasnya nyaris putus. Namun dengan sisa tenaga, Lira berhasil menyentuh gagang belati—ujung jari-jarinya gemetar, hampir berhasil menariknya keluar.

SSSHHHHT!

Angin dingin mendesir tiba-tiba, disertai bunyi gesekan logam tipis membelah udara. Dalam sekejap, sesuatu berkilau melintas di depan mata Lira. Apa itu?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!