Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. Penyewa Misterius
Siang itu, Jakarta terasa sangat panas. Paijo melangkah masuk ke sebuah kafe di SCBD dengan wajah sedikit letih. Hari-harinya di ibu kota penuh perjuangan, dan kini dia hanya ingin duduk santai sambil menyeruput kopi.
Semua meja sudah penuh kecuali satu kursi di sebelah seorang gadis yang asyik menatap layar laptopnya. Dari wajahnya yang sedikit muram, jelas terlihat dia sedang tidak dalam suasana hati yang baik.
Paijo ragu sejenak, kemudian memberanikan diri bertanya, “Mbak, kursinya kosong, ya?”
Gadis itu menoleh, matanya yang cokelat lembut tampak sedikit berkaca-kaca. “Iya, silakan duduk,” jawabnya pelan.
Paijo duduk dan memperhatikan sejenak. Gadis itu terlihat berusaha menahan air mata. Tanpa pikir panjang, Paijo mencoba membuka percakapan, “Saya lihat Mbak kayak lagi ada masalah, ya?”
Gadis itu menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. “Iya, lagi banyak pikiran. Tugas kuliah menumpuk, dan urusan keluarga yang cukup rumit.”
Paijo mengangguk memahami. “Saya dulu juga sering mengalami hal seperti itu saat baru tiba di Jakarta. Hidup di sini memang tidak mudah, kadang membuat kita ingin menyerah.”
Suzy menatap jauh ke luar jendela, seolah mencari keberanian untuk berbagi lebih banyak. “Kadang, aku merasa keluarga itu seperti beban yang berat. Rasanya aku harus jadi kuat, tapi di balik itu aku juga butuh seseorang yang mengerti dan bisa jadi tempat aku curhat.”
Paijo memandangnya dengan penuh perhatian. Dia bisa merasakan betapa dalam luka yang sedang Suzy pendam. “Kalau mau cerita, saya siap dengerin kok. Kadang, cerita itu bisa bikin beban terasa lebih ringan.”
Suzy tersenyum tipis, sedikit lega. “Makasih, Mas. Jarang banget aku nemu orang yang mau dengerin tanpa menghakimi.”
Percakapan mereka mengalir semakin dalam, dari masalah kuliah sampai tentang harapan dan mimpi yang belum tercapai. Ternyata Suzy berusia 19 tahun dan saat ini berkuliah di UI.
Paijo bercerita tentang kampung halamannya yang jauh, dan bagaimana dia berusaha bangkit dari status pecundang menjadi seseorang yang bisa dibanggakan.
Suzy mendengarkan dengan penuh perhatian. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, dia merasa sedikit lega dan lebih ringan.
“Nama saya Paijo,” ucapnya sambil tersenyum.
“Aku Suzy,” jawab gadis itu sambil tersenyum kembali, matanya yang tadi sendu mulai berbinar.
Mereka saling bertukar nomor telepon dan sepakat untuk bertemu lagi. Ketika Paijo meninggalkan kafe itu, hatinya terasa lebih ringan. Mungkin pertemuan tidak sengaja ini adalah awal dari sesuatu yang baru.
Sejak pertemuan di kafe SCBD itu, nama “Suzy” muncul di notifikasi WhatsApp Paijo setiap malam. Awalnya hanya ucapan terima kasih dan basa-basi, tapi lama-lama, percakapan mereka mengalir begitu saja. Mulai dari topik makanan favorit, film kesukaan, sampai obrolan ringan tentang Jakarta yang makin hari makin panas.
Suzy ternyata sosok yang hangat dan penuh perhatian. Tapi di balik senyum dan candanya, Paijo masih bisa merasakan ada lapisan luka yang belum sembuh. Dia tidak tahu apa, tapi firasatnya sebagai pria yang sudah “melayani” banyak wanita membisikkan hal itu.
...****************...
Hidup Paijo mulai naik level.
Sejak jadi langganan Madam Sofie (yang hobi ngajak dansa pakai wig warna-warni), tawaran makin banyak. Grup “Teman Curhat Premium” tempat dia dipasarkan makin ramai dengan testimoni absurd seperti:
"Mas Paijo tuh... kayak obat nyamuk elektrik. Gak kelihatan, tapi ampuh mengusir sepi!" — Tante Vina, 52 tahun, CEO skincare MLM.
Suatu malam, HP-nya bunyi.
Pengirim: Mbak Jeny (agen langganan Paijo).
Pesannya singkat:
“Klien baru. Gak suka basa-basi. Lokasi: Menteng. Bayar dobel. Syarat: wangi, sopan, gak usah sok lucu. Langsung berangkat.”
Perjalanan ke Menteng, Paijo naik taksi online sambil dandan seadanya. Kemeja putih, celana bahan, parfum mahal hasil bonus bulan lalu.
Di otaknya, “Kali ini tante-tante berkelas nih. Harus kalem. Jangan kayak pas di BSD, yang disuruh jadi tukang urut sambil nyanyi dangdut.”
Mobil berhenti di sebuah rumah tua ala kolonial Belanda. Gerbangnya besar. Ada plakat kecil di samping pintu bertuliskan:
Rumah adalah tempat di mana luka bisa istirahat.
“Halah, ini rumah atau klinik jiwa?” batin Paijo.
Pintu dibuka oleh seorang wanita muda—mungkin asisten rumah tangga, atau mungkin sekretaris pribadi. Tatapannya tajam, gayanya rapi.
“Mas Paijo, ya? Silakan masuk. Madam sudah menunggu di perpustakaan.”
Perpustakaan?!
Baru kali ini Paijo ‘manggung’ di ruangan berisi buku. Biasanya dia di ruang karaoke atau gazebo penuh lilin aroma terapi.
Di dalam ruangan, duduk seorang wanita anggun, usia sekitar akhir 30-an atau awal 40-an. Rambut panjang disanggul rapi. Kalung mutiara melingkar di lehernya. Bajunya sederhana tapi mahal—kelas konglomerat yang ogah pamer tapi dompetnya berisik.
“Selamat malam,” katanya pelan.
“Silakan duduk, Mas Paijo.”
Paijo langsung duduk tegak. Suasana serius. Ada aroma teh melati dan lilin vanilla. Wanita itu menatap Paijo, lama, seperti menilai lukisan.
“Saya pesan kamu... bukan untuk hal-hal aneh. Saya cuma butuh teman bicara. Seseorang yang gak kenal saya. Gak menghakimi," ucap wanita itu
“Saya di sini buat dengerin, Bu. Saya bisa jadi siapa aja. Mau saya jadi tembok? Sandaran? Tempat ngeluh?” jawab Paijo ringan.
Wanita itu tersenyum sedikit, “Kamu lucu. Tapi bukan itu yang saya cari.”
Ia membuka buku catatan kecil, lalu berkata, “Kalau kamu harus meninggalkan seseorang karena masa lalu... kamu akan pergi, atau tetap tinggal?”
Pertanyaan itu bikin Paijo bengong.
"Ini... curhat? Tes kepribadian? Atau... kode keras?"
“Kalau saya... saya mungkin bodoh. Tapi saya lebih suka tetap tinggal. Karena cinta... gak pernah bersih dari masa lalu," jawab Paijo mulai serius, bisa dibilang saat ini adalah kali pertama dirinya mode seserius itu setelah menekuni profesinya itu.
Akhirnya mereka ngobrol hampir satu jam. Topiknya campur aduk—tentang psikologi, anak muda zaman sekarang, dan... pendidikan. Wanita itu sempat bilang:
“Anak saya perempuan. Umurnya 19. Kuliah di UI. Pintar, keras kepala. Kami jarang bicara. Dia gak tahu saya begini.”
Paijo hanya mengangguk, senyum sopan.
Di matanya, wanita ini bukan seperti klien-klien lainnya. Ada luka di balik kecantikan. Sesuatu yang tidak diberi nama.
Sebelum pamit, wanita itu memberi amplop. Dan satu kalimat:
“Saya akan panggil kamu lagi minggu depan, Mas Paijo. Tapi tolong... jangan banyak tanya. Anggap saya seperti buku yang belum boleh dibaca semua halamannya.”
Saat Pulang di dalam taksi, Paijo bengong. Energinya seperti terkuras saat berbicara dengan wanita tadi.
“Anaknya kuliah di UI. Umur 19. Wajahnya... mirip Suzy, gak ya?”
Tapi ia buang jauh pikiran itu.
“Ah, enggak lah. Dunia gak sekecil itu.”
Di tempat lain malam itu, Suzy update story IG. Sebuah foto selfie di balkon dengan caption.
Mood hari ini: pengen peluk seseorang yang ngerti aku apa adanya.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
jgn salahkan Suzy aelahh
next nell, semakin menarik 😁😁😁
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶♀️
bagai petir disiang bolong faktanya😱😱
gemes sndiri kan jdinya 😶😶
Lu yg terobsesi sama Paijo peak itu bukan cinta lagi namanya dari mana juga pengorbanan disitu 🤯
yg ada dia tuh yg makin memperkeruh keadaan paijo🚶♀️