NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Ruangan itu sunyi. Hanya suara detik jam yang terus bergerak, seolah menyuarakan ketegangan di antara dua manusia yang duduk dalam diam. Nayla fokus menatap layar laptop di hadapannya, walau tak satu pun kata di dokumen yang ia baca benar-benar masuk ke dalam pikirannya. Di seberangnya, Reyhan masih duduk di balik meja kerja dengan ekspresi dingin dan kaku.

Sudah hampir dua jam sejak kejadian pagi itu. Sejak kebohongan itu meluncur dari bibir Nayla dan menghancurkan satu-satunya cinta yang selama ini ia lindungi dengan segenap hati.

Nayla tidak berani bicara. Bahkan sekadar menatap Reyhan pun tidak.

Suara ponsel Reyhan bergetar. Ia membaca pesan singkat di layarnya, lalu berdiri, membuka laci dan mengambil sebuah undangan berwarna gelap.

“Nayla.” Suaranya tenang, tapi menusuk seperti es.

Nayla mendongak perlahan.

“Malam ini ada peresmian perusahaan Arvin & Co. Aku akan hadir.”

Ia melemparkan undangan itu ke atas meja Nayla.

“Bersiaplah. Kamu ikut denganku.”

Nayla mengerjap. “Saya… saya rasa saya tidak perlu ikut, Tuan.”

Reyhan menatapnya tajam. “Aku akan menjalin kerja sama dengan perusahaan itu. Kamu sekretarisku. Aku butuh kamu di sana.”

“Tapi…”

“Kamu tidak sedang diberi pilihan.” Nada Reyhan mengeras, tapi tetap tenang. “Lima tahun terakhir kamu selalu ikut dalam acara seperti ini. Dan sekarang kamu menolak hanya karena kamu ingin aku menceraikanmu?”

Nayla terdiam. Ia tak bisa menjawab. Ia tahu, jika ia menolak lagi, Reyhan akan semakin curiga.

“Jam tujuh malam. Kita berangkat dari kantor. Aku tidak suka terlambat,” ucap Reyhan, kembali ke kursinya.

Suasana hening kembali.

Nayla menunduk. Ia tahu, ini bukan undangan untuk berdamai. Ini hanyalah caranya menjaga jarak—seolah hubungan mereka hanya sebatas atasan dan sekretaris. Tapi justru itulah yang paling menyakitkan.

Di sisi lain, Reyhan menatap layar komputernya tanpa benar-benar melihat. Sesungguhnya, ia hanya ingin Nayla tetap dekat. Hanya ingin memastikan bahwa perempuan itu tidak benar-benar akan pergi.

---

Jam di dinding menunjukkan pukul 18.55. Di dalam mobil sedan hitam yang meluncur tenang di jalanan ibu kota, suasana di dalam kabin terasa jauh lebih dingin daripada udara malam di luar sana. Reyhan menyetir sendiri, sementara Nayla duduk di kursi penumpang dengan tubuh yang sedikit kaku.

Malam itu Nayla mengenakan gamis hitam panjang dengan detail sederhana di bagian lengan dan leher. Hijab senada membingkai wajahnya. Wajah yang biasanya tampak tenang, kini terlihat pucat dan gugup. Bukan karena acara, tapi karena berada terlalu dekat dengan Reyhan setelah kebohongan yang ia ucapkan pagi tadi.

“Aku tidak suka kamu diam terus,” ujar Reyhan tiba-tiba, tanpa menoleh. Suaranya terdengar datar. “Kalau memang kamu berniat meninggalkan semuanya, kamu seharusnya bersikap profesional, bukan seperti orang asing.”

Nayla menoleh pelan. “Saya hanya tidak ingin mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan, Tuan.”

“Terlambat,” balas Reyhan cepat. “Kita sudah mencampurnya sejak awal.”

Nayla terdiam. Ia menarik napas perlahan, mencoba menahan rasa sesak di dadanya.

Mobil berhenti di depan gedung mewah yang dipenuhi cahaya. Acara peresmian sudah dimulai. Musik lembut terdengar dari dalam aula besar. Karpet merah terbentang menyambut para tamu undangan.

Reyhan turun terlebih dahulu dan bergegas membukakan pintu untuk Nayla. Perempuan itu sedikit ragu, tapi akhirnya melangkah keluar.

Malam itu, mereka berjalan berdampingan. Di hadapan semua orang, mereka terlihat seperti pasangan eksekutif profesional—serasi dan kuat. Tapi di balik semua itu, ada jarak yang semakin melebar dan rahasia yang terus membusuk dalam diam.

“Reyhan!” sapa seorang pria berjas biru dari dalam ruangan. “Kau akhirnya datang!”

Itu Arvin, pemilik perusahaan yang malam ini mengadakan peresmian. Reyhan tersenyum dan menjabat tangannya dengan hangat.

“Terima kasih atas undangannya,” jawab Reyhan sopan. “Izinkan aku mengenalkan sekretarisku, Nayla.”

Nayla tersenyum tipis dan menunduk sopan. “Selamat malam.”

“Wah, sekretarismu sangat anggun,” puji Arvin. “Pantas saja Reyhan jarang memperhatikan wanita lain.”

Reyhan tersenyum samar, tapi tidak menjawab. Matanya justru melirik Nayla cepat, dan dalam tatapan itu, terselip luka yang tak sempat terucap.

Mereka kemudian bergabung dalam kelompok kecil yang berdiri mengelilingi meja tinggi dengan gelas-gelas berisi minuman non-alkohol dan hidangan ringan. Reyhan sesekali berbincang dengan para tamu penting. Tapi dari waktu ke waktu, ia tetap melirik Nayla. Memastikan Nayla tetap berada dalam jangkauannya.

Beberapa jam berlalu. Saat para tamu mulai membubarkan diri, Reyhan berdiri di samping Nayla, bersandar di railing balkon ruangan terbuka yang menghadap kota.

“Malam ini kamu terlihat sangat tenang. Tapi aku tahu kamu sedang pura-pura,” ucap Reyhan lirih.

Nayla menunduk. Angin malam meniup halus jilbabnya.

“Aku sudah memberikanmu waktu untuk menjelaskan,” lanjut Reyhan. “Tapi kamu memilih berbohong.”

Nayla memejamkan mata, berusaha menahan isak.

“Aku tidak berbohong, Rey. Aku hanya ingin kamu bahagia.”

“Bahagia dengan siapa? Dengan wanita lain yang bahkan tidak pernah aku lihat?”

Nayla menggigit bibirnya.

Reyhan mendekat satu langkah, menatap Nayla dalam. “Kamu tahu aku bukan laki-laki sempurna. Tapi kalau kamu minta aku berubah, aku akan lakukan. Kalau kamu minta aku menebus semuanya, aku akan coba sampai kamu bisa percaya lagi.”

Ia menggenggam tangan Nayla, lembut tapi penuh kekuatan.

“Aku tidak akan menyerah hanya karena kamu menyuruhku menceraikanmu,” ucap Reyhan pelan. “Aku akan menunggu... sampai kamu jujur padaku.”

Nayla menahan napas. Pandangannya bergetar.

Tapi ia tidak bisa. Belum sekarang.

Suasana peresmian perusahaan Arvin & Co semakin ramai. Musik klasik mengalun pelan, dentingan gelas dan tawa ringan terdengar di setiap sudut ruangan. Namun tidak ada yang menyadari bahwa di sisi balkon terbuka di lantai dua, sebuah badai sedang mulai menggulung diam-diam.

Nayla dan Reyhan masih berdiri berdua, di antara keramaian yang terasa seperti hening bagi keduanya.

Lalu...

“Astaga… Nayla?”

Suara pria yang familiar itu membuat Nayla menoleh seketika. Reyhan juga ikut berpaling.

Arlan berdiri di sana dengan senyum lebar dan gaya kasual elegannya. Pria berperawakan tinggi itu melangkah santai mendekat.

Reyhan menajamkan pandangan. “Arlan?”

“Hai, Rey,” sapa Arlan ramah, lalu matanya beralih pada Nayla. “Dan Nayla. Aku tidak menyangka kita bertemu di sini.”

Seketika Nayla melangkah setengah langkah ke depan, seolah mencoba menjauh dari Reyhan. Suaranya lirih, tapi tegas.

“Pria yang aku sukai... Arlan.”

Ucapan itu menghantam Reyhan seperti palu godam.

Dia membeku. Matanya menatap Nayla penuh amarah dan ketidakpercayaan. “Apa… kamu bilang siapa?!”

“Arlan... Dia pria yang ku sukai,” ulang Nayla pelan.

“Sepupuku?” suara Reyhan kini meninggi, suaranya tak lagi bisa disembunyikan dari orang-orang terdekat.

Beberapa tamu menoleh.

“Reyhan.” Arlan langsung berdiri di depan Nayla, melindunginya secara terbuka. “Apa yang Nayla katakan benar.”

Wajah Reyhan mengeras. Rahangnya mengatup kencang.

Arlan melanjutkan dengan tenang tapi tajam, “Tapi ini bukan tempatnya. Ini acara teman kita. Kalau kamu tidak bisa mengendalikan emosimu, lebih baik kita bicara nanti.”

Mata Reyhan membara.

Namun Nayla, tanpa memberi Reyhan kesempatan bicara lagi, langsung meraih lengan jas Arlan. “Ayo, Arlan. Kita pergi dari sini.”

Reyhan hanya bisa menatap saat Nayla, wanita yang masih begitu ia cintai, berjalan menjauh bersisian dengan sepupunya sendiri.

Semua keraguan di benaknya kini berubah menjadi bara amarah yang menyesakkan.

Tangannya meraih gelas di meja terdekat. Ia meneguk isi minuman bersoda dalam satu kali tegukan, kasar, seolah mencoba menelan amarah dan rasa dikhianati yang mulai membakar dari dada ke kepala.

Matanya tetap terpaku pada punggung Nayla dan Arlan yang perlahan menghilang di antara tamu undangan.

Sementara di dadanya, hanya satu kalimat yang berulang kali menggema:

“Tidak mungkin. Nayla tidak mungkin mencintai Arlan. Dia hanya sedang berbohong. Tapi kenapa Arlan membenarkannya?”

Langkah Nayla dan Arlan menjauh dari keramaian pesta. Mereka kini berada di sisi taman kecil yang dibuat khusus untuk para tamu bersantai di antara acara. Lampu-lampu kecil berkerlap-kerlip menggantung di atas kepala, dan aroma bunga lavender bercampur dengan angin malam yang lembut.

Namun tubuh Nayla mulai terasa berat.

Pelipisnya berdenyut. Pandangannya sedikit buram. Nafasnya tersengal meski hanya berjalan beberapa langkah.

“Nayla?” Arlan memperhatikan perubahan pada wajah Nayla yang memucat. “Kamu kenapa?”

“Aku… pusing,” bisik Nayla, tangannya menggenggam sisi dadanya. Rasa nyeri mulai merambat dari bawah rusuk kanan—gejala yang mulai familiar baginya, namun tetap saja menyakitkan.

Tubuhnya limbung.

“Nayla!” Arlan sigap menopang tubuhnya sebelum sempat jatuh. “Duduk. Ayo, duduk dulu.”

Ia membimbing Nayla ke bangku taman dan membiarkannya bersandar. Arlan berjongkok di hadapannya, satu tangan tetap menahan lengan Nayla agar tidak kehilangan keseimbangan.

“Napas pelan-pelan,” katanya lembut tapi tegas.

Nayla mencoba menarik napas panjang meski dadanya seperti ditekan. Pipinya sudah pucat, dan keringat dingin mulai mengalir di pelipis.

“Kamu harus dirawat. Kamu nggak bisa terus memaksakan diri begini, Nayla.”

Nayla membuka mata perlahan. “Arlan…?”

Arlan mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Nayla yang masih tampak kesakitan. “Aku tahu tentang penyakitmu.”

Jantung Nayla seperti berhenti berdetak sesaat. “Apa… yang kamu bilang?”

“Aku tahu kamu mengidap kanker hati,” ucap Arlan pelan. “Sudah cukup lama aku tahu. Sejak kamu mulai sering bolak-balik rumah sakit diam-diam. Aku curiga, dan aku tanyakan langsung pada dokter yang kamu temui di rumah sakit pusat.”

Nayla terpaku. Tubuhnya terasa dingin.

“Maaf aku melangkahi batas,” lanjut Arlan, “tapi aku nggak bisa tinggal diam. Apalagi kamu mencoba menanggung semua ini sendirian.”

“T-tidak seharusnya kamu tahu,” bisik Nayla. “Aku tidak ingin siapapun tahu. Termasuk Reyhan…”

“Karena itu kamu menyuruh dia menceraikanmu? Karena kamu tidak ingin Reyhan terluka saat kamu nanti—”

“Cukup,” potong Nayla lirih tapi tegas. “Jangan lanjutkan.”

Arlan menunduk, menghela napas panjang.

“Kamu salah, Nayla. Menyembunyikan ini tidak membuatmu kuat. Itu hanya membuat orang-orang yang peduli padamu merasa tidak berarti.”

Nayla menoleh perlahan. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena sakit yang ia rasakan secara fisik.

“Lalu, kamu akan bilang pada Reyhan?” tanyanya, nyaris tak terdengar.

Arlan menggeleng pelan. “Bukan hakku. Tapi kalau kamu terus seperti ini… cepat atau lambat, dia akan tahu sendiri. Dan Rey pasti akan semakin terluka."

Nayla menunduk. Dadanya sesak oleh rasa bersalah, bukan hanya karena kebohongan yang ia lontarkan pada Reyhan, tapi karena ia menyadari, dirinya tidak cukup kuat menghadapi semua ini sendiri.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!