NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:969
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perempuan Licik

“Kamu sudah pulang rupanya, Nak. Mau makan? Ibu panaskan dulu sayurnya, ya,” sambut Ratih dengan senyum tipis, matanya berbinar ketika melihat Renaya muncul di ruang tengah.

Renaya menghentikan langkahnya, dahi berkerut melihat ibunya tak berbaring di kamar seperti biasanya. “Loh, Ibu kenapa di sini? Kenapa nggak istirahat di kamar?”

Ratih tersenyum menenangkan. “Ibu sudah merasa lebih baik, Nak. Badan Ibu sudah lumayan kuat untuk bergerak, walaupun masih agak lemas.”

Tanpa banyak kata, Renaya segera menghampiri dan memeluk sang ibu erat-erat. Dalam dekapan hangat itu, batinnya terasa sesak. Ia teringat ucapan Dodi tentang hasil pemeriksaan obat itu. Selama ini ibunya tanpa sadar mengonsumsi sesuatu yang berbahaya—dan Renaya merasa dirinya sangat lalai.

Seharusnya dia bisa lebih peka, bisa lebih waspada sejak awal. Apalagi obat itu datang dari Saras—perempuan licik yang selama ini pura-pura baik di depan mereka.

“Kalau sampai terjadi sesuatu sama Ibu… aku nggak akan pernah bisa maafin diri sendiri,” lirih Renaya dalam hati. Ia merasa gagal sebagai anak sulung, terlalu larut dalam mencari keadilan untuk almarhum adiknya, sampai lupa menjaga sang ibu.

“Maafin Rena ya, Bu… Rena sering ninggalin Ibu sendirian di rumah…” suaranya pelan, tenggelam dalam rasa bersalah.

Ratih mengelus kepala putrinya lembut, bibirnya tersenyum meski sorot matanya mengabur. “Kenapa kamu minta maaf, Nak? Kamu nggak salah. Ibu tahu kamu berjuang mati-matian di luar sana, demi adikmu. Justru Ibu yang harusnya minta maaf karena nggak bisa bantu apa-apa.”

Renaya menggeleng, bibirnya bergetar. Ia perlahan melepas pelukan dan menatap wajah ibunya yang mulai segar, meski tubuhnya masih menyimpan jejak kelemahan.

“Ibu seharusnya istirahat, biarkan Rena yang selesaikan semuanya, termasuk soal obat itu… Ibu harus tahu…” suara Renaya melemah, matanya basah.

Ratih menatap tajam, merasakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar obat. “Maksudmu apa, Nak? Sebenarnya itu obat apa?”

Renaya menarik napas dalam, lalu berkata penuh emosi, “Bu… Saras nggak sebaik yang Ibu kira. Dia sengaja mau mencelakai Ibu.”

Mata Ratih membesar, detak jantungnya menggema di dada. Perkataan Renaya terasa seperti konfirmasi atas prasangka yang selama ini ia pendam. Namun ia tetap berusaha tenang. “Kenapa kamu bisa bilang begitu, Nak?”

Renaya menatap mata ibunya, rahangnya mengeras menahan emosi. “Karena memang begitu, Bu. Dia mau Ibu celaka.”

Ucapan itu menghantam batin Ratih, mengguncang seluruh keyakinannya. Potongan-potongan peristiwa terburai dalam benaknya, seolah kepingan puzzle mulai menyatu.

“Mencelakai Ibu…? Maksudmu gimana, Renaya?” suara Ratih tercekat.

“Obat yang Ibu konsumsi… itu bukan obat untuk manusia, Bu,” ucap Renaya pelan namun tajam, kemudian matanya memerah, isaknya pecah tanpa bisa ditahan. “Itu obat untuk anjing, Bu… Saras kasih Ibu obat buat hewan…”

Ratih membekap mulutnya, matanya membulat penuh keterkejutan. “Ya Allah… kamu… kamu serius, Nak?”

Renaya mengangguk, menyeka Air matanya yang jatuh. “Aku sudah periksa ke laboratorium, Bu. Dan hasilnya jelas… itu obat buat anjing. Kalau manusia mengonsumsi obat itu… bisa merusak saraf… bahkan menyebabkan kelumpuhan…”

Ratih memeluk dadanya sendiri, tubuhnya bergetar. Kini semua keluhan rasa lemas dan kebas di kakinya selama ini menemukan jawaban. Selama ini ia benar-benar buta, mengira Saras tulus membantu, tanpa tahu perempuan itu membawa racun ke dalam rumahnya.

“Pantas saja… pantas saja Ibu makin lemas tiap habis minum obat itu…” Ratih berbisik getir.

Tak disangka, perempuan itu ternyata sebegitu kejamnya. Saras benar-benar ingin merenggut segalanya dari Ratih, bukan hanya kebahagiaan, tapi juga kesehatannya. Ratih merasa semakin yakin, Saras memang sengaja ingin membuatnya lumpuh, perlahan namun pasti, demi satu alasan yang sangat jelas: merebut Baskoro dari pelukannya.

“Maafin Rena, Bu… seharusnya aku lebih peka sejak awal, harusnya aku bisa cegah Ibu minum obat dari dia,” lirih Renaya, penuh penyesalan.

Ratih menggeleng pelan, kedua tangannya merengkuh tubuh Renaya ke dalam dekapannya, membelai rambut anaknya dengan kelembutan seorang ibu. “Bukan salahmu, Nak… ini semua bukan salah kamu. Yang penting sekarang Ibu sudah berhenti minum racun itu,” ucapnya menenangkan.

Namun pelukan itu tak cukup menghapus rasa bersalah dalam hati Renaya. Ia tahu, jika sesuatu yang buruk menimpa ibunya, dia tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Ia merasa gagal menjaga ibunya dari belitan ular bernama Saras.

Suasana hening beberapa saat sebelum Renaya membuka suara, “Bu… tentang Sandrawi… selama ini kuliahnya lancar kan, sebelum dia… pergi?”

Ratih perlahan melepaskan pelukannya, menatap Renaya dengan dahi yang mengernyit heran. “Setahu Ibu, kuliah adikmu baik-baik saja, Nak. Memangnya kenapa?”

Renaya menunduk, hatinya bergetar oleh rasa takut yang sulit ia jelaskan. “Ibu yakin… Sandrawi benar-benar kuliah?” tanyanya dengan suara yang terdengar gamang.

Ratih terdiam sejenak. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa anak bungsunya berbohong. Sandrawi selalu mengatakan dirinya kuliah, bahkan berkali-kali menceritakan aktivitas kampusnya. Tapi… pertanyaan Renaya berhasil menorehkan keraguan kecil di benaknya.

“Adikmu itu kuliah, Ren… bahkan sebentar lagi harusnya dia wisuda,” ucap Ratih, suaranya terdengar lirih namun meyakinkan.

Renaya menarik napas panjang, berat seolah paru-parunya menolak udara yang masuk.

Ratih mempererat tatapannya. “Ada apa, Nak? Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal ini? Ceritakan sama Ibu.”

Renaya mendongak, menatap langsung ke dalam mata ibunya yang terlihat lebih sayu dari biasanya. Kata-kata terasa sulit terucap, namun ia tahu, semakin lama ia diam, semakin lama sang ibu akan hidup dalam kebohongan.

“Aku… aku merasa selama ini Sandrawi nggak benar-benar kuliah, Bu,” bisik Renaya, penuh keraguan dan sesak di dada.

Mata Ratih membelalak. “Apa maksudmu, Ren? Adikmu itu rajin kuliah. Dia kuliah di jurusan Kedokteran Gigi… dia bahkan sempat cerita betapa bahagianya dia menyambut wisuda.”

Renaya menutup matanya sejenak, meredam sesak yang membuncah. Kedua tangannya menggenggam tangan sang ibu lebih erat.

“Bu… tolong tanya ke Bapak. Apa benar Sandrawi kuliah selama ini?”

Ratih terdiam, tubuhnya limbung dalam kebingungan. Selama ini, yang ia tahu Sandrawi adalah mahasiswa Kedokteran Gigi. Ia sering mendengar cerita anak bungsunya tentang dosen galak, tugas kampus, bahkan teman-temannya. Namun, kenapa mendadak keraguan itu tumbuh setelah Renaya berbicara?

Semakin ia berpikir, semakin banyak celah-celah ingatan yang terasa ganjil. Dan Renaya dengan pelan menegaskan lagi.

“Coba tanyakan ke Bapak, Bu. Apa Sandrawi benar-benar kuliah sEperti yang selama ini kita kira.”

......................

Malam itu, setelah perbincangan panjang yang menguras emosi, Ratih berbaring gelisah. Seumur hidupnya, ia rela mengorbankan segalanya. Pergi jauh merantau ke negeri orang, berpeluh demi biaya kuliah Sandrawi. Setiap rupiah yang ia kirim, setiap keringat yang ia tumpahkan semua untuk pendidikan anaknya.

Namun kini, keraguan yang ditanamkan Renaya tumbuh menjadi kegelisahan yang mencengkram. Jika ternyata Sandrawi tidak pernah menginjakkan kaki di kampus seperti yang selama ini ia percaya, lantas ke mana seluruh pengorbanannya mengalir? Ke mana seluruh uang itu selama ini pergi?

Ratih memijat keningnya, kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan. Belum selesai satu persoalan diselesaikan, kini muncul lagi masalah baru. Ratih bahkan tidak tahu harus menyelesaikan yang mana lebih dulu karena semuanya saling bertumpuk di kepalanya.

“Ibu kenapa? Pusing? Istirahat saja. Sudah minum obat belum?” tanya Baskoro saat masuk ke kamar dan melihat Ratih tengah memijat pelipis.

“Nggak apa-apa, cuma butuh istirahat sepertinya,” jawab Ratih lemas.

“Ibu yakin?” Baskoro mendekat lalu meraba dahi Ratih yang terasa sedikit hangat. “Obat dari Saras masih ada, kan?”

Ratih terdiam, sengaja tidak memberitahu suaminya soal obat dari Saras. Tidak setelah dia melihat Baskoro berselingkuh dengan wanita licik itu.

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!