Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tunangan di jalan tol
Suasana sempat hening, lalu meledak—jeritan, bisikan, kursi bergeser. Semua mata menatap mereka berdua. Beberapa bahkan sudah mengangkat ponsel dan mulai merekam.
Namun Cheviolla hanya menatap Raka dengan wajah datar. Kemudian…
Tanpa sepatah kata pun, dia berdiri.
Tangannya meraih lengan Raka dan—menariknya keluar dari kantin.
> “Eh—eh, tunggu, kita mau ke mana?!”
> “Diam.”
Sepatu mereka berdua mengetuk lantai koridor dengan cepat. Mahasiswa-mahasiswa yang kebetulan lewat menoleh, beberapa bahkan terdiam melihat pemandangan langka itu. Raka yang biasa dipanggil “cupu kampus” kini ditarik langsung oleh gadis kutub yang terkenal dingin dan tak tersentuh itu.
Di parkiran, Cheviolla membuka pintu mobilnya. Mobil sport Eropa keluaran terbaru, mengilap, jendela gelap.
Tanpa memberi kesempatan untuk protes, dia mendorong Raka masuk ke kursi penumpang, lalu sendiri duduk di belakang kemudi.
Brum!
Mesin menyala. Ban belakang sedikit berderit saat dia menginjak pedal gas dan melaju keluar dari parkiran.
> “Hey! Mau ke mana kita?!”
> “Puncak.”
> “Hah?! Tapi... kita masih ada kelas!”
> “Biar saja.”
Raka membelalak. Di belakang mereka, pintu kantin masih terbuka lebar. Mahasiswa-mahasiswa di dalam berdiri di depan jendela kaca, ternganga melihat mobil Cheviolla melesat membawa ‘si cupu kampus’.
Beberapa orang merekam dari balkon atas, dan dalam hitungan menit, forum kampus pun kembali meledak:
[CHEVIOLLA KABUR SAMA RAKA?!] [OMG PACARAN?! PUNCAK???!] [APA JANGAN-JANGAN CHEVIOLLA SEBENARNYA...]
Sementara itu, di dalam mobil, Raka terdiam. Dadanya masih berdetak kencang, belum tahu harus senang, takut, atau bingung.
Cheviolla menyetir tanpa berkata-kata, wajahnya tetap datar, tapi jemari kirinya mengetuk-ngetuk setir pelan, seolah sedang menahan sesuatu.
Mobil melaju kencang di jalan tol. Pemandangan pepohonan dan truk-truk besar berkelebat di jendela. Di dalam kabin yang senyap, hanya suara angin dan desiran mesin yang terdengar.
Cheviolla melirik ke samping, menatap Raka dengan ekspresi tajam dan datar.
> "Oke, berhenti bersikap cupu. Di mobil ini cuma ada kita berdua," ucapnya tanpa nada basa-basi. "Apa yang kamu rencanakan sebenarnya?"
Raka menoleh, menatapnya langsung. Untuk sesaat, dia tampak gugup—tapi kemudian napasnya tertata.
> "Aku nggak merencanakan apa-apa..." katanya pelan. "Aku memang menyukaimu."
Cheviolla mengerem sedikit, alisnya naik.
> "Hah? Lu pikir gue bodoh? Lu bisa bodohin seluruh universitas dengan akting culun lu itu... Tapi sekarang tiba-tiba nembak gue?"
Raka menghembuskan napas. Wajahnya kini serius, tak ada senyum konyol seperti biasanya.
> "Oke. Gue jujur. Tadinya... gue mau minta bantuan lu buat jadi tunangan pura-pura gue, soalnya... nenek gue pengen lihat gue bawa tunangan."
Cheviolla melirik cepat, matanya menyipit seperti tanda tanya.
> "Tapi..." lanjut Raka, "gue batalin. Gue mikir... ngapain bohongin nenek? Kenapa gak sekalian aja gue nyatain beneran? Kalau ditolak, ya udah. Berarti nasib cowok tampan ini emang jomblo."
Dia tertawa pendek, tapi ekspresinya tetap jujur.
> "Gue serius. Sejak lu bantuin gue waktu gue di-bully... entah kenapa gue sering mikirin lu. Awalnya heran. Tapi lama-lama... gue sadar, gue suka sama lu."
Cheviolla mengalihkan pandangannya kembali ke jalan, seolah mencerna ucapan itu. Tapi kemudian bibirnya menyeringai kecil.
> "Gue gak percaya. Kalo bener lu suka sama gue… buktikan."
> "Buktiin gimana?"
> "Lompat dari mobil."
Raka terdiam. Kecepatan mobil 110 kilometer per jam. Jalan tol panjang membentang di depan mereka, tanpa hambatan.
> "Serius?"
> "Serius."
Tanpa aba-aba.
"Raka!"
Pintu mobil sisi penumpang tiba-tiba terbuka, angin menerobos deras ke dalam kabin—dan dalam satu gerakan mengejutkan, Raka melompat keluar.
BRAK!
Tubuhnya berguling di aspal. Debu berterbangan. Mobil-mobil lain membunyikan klakson keras—PRIIIITTTT!
"RAKAA!!"
Cheviolla histeris, matanya membesar. Ia membanting setir ke sisi kiri, segera meminggirkan mobilnya di bahu jalan.
Ban menggesek aspal, menciptakan suara melengking yang panjang sebelum mobil akhirnya berhenti.
Tanpa pikir panjang, dia melepas sabuk pengamannya dan berlari keluar.
Tubuh Raka menghantam aspal dengan keras. Berguling beberapa kali di tengah jalan tol, jaketnya robek, dan darah merembes dari luka-luka lecet di lengan serta bahunya. Tapi dia masih sadar—masih hidup.
Sebagai anggota pasukan elit yang telah menjalani pelatihan ekstrem, tubuh Raka sudah terbiasa dengan situasi di ambang batas hidup dan mati. Otot-ototnya merespons dengan insting alami. Dia menahan diri agar tidak menghantam kepala dan segera mengguling ke arah bahu jalan.
Ciiiitt!!
Beberapa mobil lain berhenti mendadak. Klakson bersahut-sahutan. Beberapa pengendara keluar dari mobil mereka dengan panik.
> "Ada yang lompat dari mobil!"
> "Panggil ambulans!!"
Tapi sebelum siapa pun sempat bertindak lebih jauh, suara tangisan pecah dari sisi jalan.
"RAKAAA!!!"
Cheviolla berlari sekuat tenaga, air mata menetes tanpa bisa dihentikan. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, dan lututnya hampir goyah melihat tubuh Raka terbaring di pinggir jalan.
"Bodoh! Kenapa kamu lakuin itu! Kenapa!"
Dia jatuh berlutut di samping Raka, menggenggam wajah pemuda itu yang kotor oleh debu dan luka.
Raka membuka mata sedikit, tersenyum lemah.
> "Lu bilang… buktiin."
> "Bukan gitu maksud gue, bodoh!" jerit Cheviolla. Suaranya pecah oleh tangis. "Gue cuma pengen tau... lu serius atau enggak. Tapi siapa suruh lu beneran lompat, dasar sinting!"
Raka meringis sambil tertawa kecil, meski tubuhnya terasa nyeri.
> "Yah, gue pikir… ini cara paling cepat ngebuktiin."
Tangis Cheviolla semakin deras. Ia menunduk, keningnya menyentuh dada Raka yang masih bergerak pelan.
Beberapa orang sudah mulai mengelilingi mereka. Seseorang tampak menelepon ambulans. Tapi perhatian Cheviolla hanya tertuju pada satu hal.
Pemuda bodoh yang rela melompat dari mobil hanya demi membuktikan perasaannya.
Sirene meraung, ambulans membelah kemacetan jalan tol. Petugas medis bergegas turun begitu melihat tubuh Raka tergeletak di pinggir jalan.
> “Tolong beri jalan! Korban masih sadar?!”
Cheviolla mengangguk cepat, wajahnya pucat dan matanya bengkak karena tangis. “Iya! Dia… dia masih sadar!”
Raka terbaring di aspal, tubuhnya penuh debu dan sedikit darah di siku dan pelipis. Namun sebenarnya, sebagai mantan pasukan elit dengan tubuh terlatih, ia hanya mengalami lecet ringan—tidak ada tulang yang patah, bahkan tidak terlalu nyeri. Tapi ia tetap berbaring, berpura-pura tak bisa bergerak.
Senyum tipis terukir di wajahnya.
> "Kalau gue langsung bangun nanti dibilang lebay..." batinnya sambil melirik sekilas ke arah Cheviolla yang terlihat panik.
> “Jangan banyak bicara, Nak!” sergah petugas medis. “Kami akan bawa kamu ke rumah sakit. Bisa bergerak?”
Raka menggeleng lemah, lalu bergumam pelan, “Kayaknya… enggak bisa…”
Para petugas mengangkat tubuhnya dengan hati-hati ke atas tandu. Cheviolla, tanpa pikir panjang, langsung naik ke dalam ambulans setelah berkata, “Tunangan. Gue tunangannya.”
Di dalam ambulans, Raka masih dengan akting sempurnanya, memejamkan mata sambil bernafas pelan-pelan. Tapi diam-diam ia menyeringai puas, terutama saat merasakan tangan Cheviolla menggenggam jemarinya erat.
> “Kalau lu beneran mati tadi… gue bakal tonjok lu,” ucap Cheviolla dengan suara bergetar.
Raka membuka satu matanya, menyipit sedikit lalu tersenyum tenang. “Tapi gue gak mati… dan sekarang… lu gak bisa kabur…”
> “Gue serius, Raka. Jangan bercanda.”
> “Gue juga serius,” jawab Raka, lalu kembali memejamkan mata, pura-pura kelelahan.
Di dalam ambulans, suara mesin meraung. Lampu merah berkedip-kedip di langit-langit. Cheviolla duduk di sisi tandu, menggenggam tangan Raka erat. Wajahnya masih basah oleh air mata, tapi ia tetap berusaha tegar.
Raka membuka mata pelan, lalu menoleh sedikit ke arahnya. Suaranya pelan dan lemah, tapi nada isengnya tetap terasa.
> “Ini kalo gue mati sebelum sampe rumah sakit gimana…?”
Cheviolla mendelik sambil mengusap air matanya, “Hah! Jangan ngomong aneh-aneh deh lu!”
> “Ya kan jaga-jaga… siapa tau...” gumam Raka pelan. Lalu dia tersenyum, matanya melirik nakal, “Lu bisa cium gue gak?”
> “APA?!” Cheviolla melotot.
> “Kali aja sembuh…” kata Raka setengah bercanda. “Aku kan gak tau ini bakal sampe rumah sakit atau mati di jalan… setidaknya kalo gue mati, gue pernah dicium tunangan gue…”
Cheviolla terdiam. Tangannya menggenggam makin erat. Ada kemarahan, ada panik, dan ada juga rasa… entah apa.
> “Lu masih bisa bercanda, tandanya lu gak sekarat.”
> “Tapi… yang namanya luka karena cinta itu lebih perih dari luka jatuh dari mobil...” bisik Raka dramatis, “Apalagi kalo gak dibalas…”
Cheviolla mencibir, lalu dengan cepat membungkuk dan mengecup cepat pipinya.
> “Udah. Itu cukup buat hidup dua kali.”
Raka terdiam sejenak, lalu tertawa kecil meski masih dalam posisi ‘pura-pura lemah’. “Wah… kayaknya gue sembuh deh…”
Cheviolla pun hanya bisa menggeleng sambil tersenyum kecut.
> “Bangsat…”
> “Tunangan lu, maksudnya,” sahut Raka dengan bangga.
"Paramedis yang menangani Raka pun hanya menggelengkan kepala mendengar percakapan kedua manusia bodoh ini..