NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:416
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3 PERNIKAHAN

Malam pernikahan datang lebih cepat dari yang Zia bayangkan. Langit gelap bertabur bintang, seolah tak tahu bahwa malam ini bukan tentang cinta yang tulus, melainkan tentang perjanjian yang dibungkus kemewahan.

Ia duduk di depan cermin besar, mengenakan gaun putih gading dengan detail renda halus dan lengan transparan yang menggantung elegan di bahunya. Seorang penata rias membubuhkan sentuhan akhir pada pipinya, sementara seorang lainnya merapikan veil tipis yang menjuntai hingga pinggang.

“Sudah selesai,” bisik salah satu staf, lalu mundur perlahan, membiarkan Zia menatap dirinya sendiri.

Zia hampir tak mengenali sosok yang ada di cermin. Wajah itu miliknya, tapi tidak seperti biasanya. Terlalu sempurna, terlalu diam. Seperti boneka porselen. Hatinya tetap dingin. Gugup, bingung... tapi juga seperti kosong.

Pernikahan ini hanya dihadiri keluarga inti. Begitu permintaan pihak pria. Tak ada pesta besar, tak ada keramaian, tak ada musik yang memekakkan telinga. Hanya aula pribadi mewah di salah satu hotel tertutup milik keluarga pihak pria. Dijaga ketat. Dibatasi. Bahkan wartawan pun tak tahu peristiwa ini akan berlangsung.

Ketika ia keluar dari ruang rias, Alex sudah menunggunya di depan pintu.

“Siap?” tanyanya, tak berani menatap mata Zia lama-lama.

Zia tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Itu cukup. Langkahnya terasa berat saat berjalan menyusuri koridor menuju aula utama. Detik demi detik begitu nyata di telinganya, seolah waktu memperlambat diri.

Pintu besar terbuka.

Aula itu sangat indah. Lampu gantung kristal menggantung rendah, memantulkan cahaya lembut ke dinding-dinding marmer putih. Hiasan bunga putih dan ungu disusun simetris, memberi kesan sakral dan mewah sekaligus.

Hanya dua baris kursi yang terisi. Di kiri: keluarga Zia—Alex, Agatha, dan satu paman tua yang tak ia kenal. Di kanan: tiga pria dan seorang wanita berbalut hitam. Mereka tidak tersenyum. Tidak memperlihatkan emosi. Tapi kehadiran mereka menggetarkan.

Lalu di depan altar berdiri pria itu.

Viren Kaeshiro.

Berdiri tegak dalam setelan tuksedo hitam sempurna. Kacamata kotak tipis masih bertengger di wajahnya. Dingin. Tenang. Tatapannya mengikuti langkah Zia tanpa ekspresi. Tapi matanya seperti menembus kulit—membaca, menganalisis, menghitung detak jantungnya.

Zia menahan napas. Benar. Ini pria yang datang ke Kafenya tempo hari. Kenapa bisa kebetulan begini? Batinnya.

Pelan-pelan ia melangkah maju, menyusuri lorong, dengan Alex di sampingnya. Setiap langkah terasa seperti sebuah keputusan baru. Ia ingin kabur. Ingin berhenti. Tapi semuanya sudah terlalu dalam untuk dibatalkan.

Di altar, Viren mengulurkan tangan.

Zia ragu sesaat. Tapi ia tetap mengulurkan tangan, meletakkannya di genggaman pria itu. Dingin. Tegas. Tapi tidak kasar.

Orang didepan mereka mulai membacakan kalimat-kalimat sakral. Namun Zia nyaris tidak mendengarnya. Pikirannya kabur, jantungnya seperti berdetak di luar tubuh.

“Apakah Anda, Viren Kaeshiro, menerima Zia Donatella sebagai istri Anda...”

“Saya terima.”

Tanpa ragu. Tanpa jeda. Seolah ini semua hanyalah transaksi bisnis yang ia jalani setiap hari. Zia menoleh pelan ke arahnya. Tatapan pria itu tidak berubah.

Orang itu beralih padanya. “Apakah Anda, Zia Donatella, menerima Viren Kaeshiro sebagai suami Anda...”

Diam. Semua mata tertuju padanya.

Satu detik. Dua. Lima.

Zia memejamkan mata. Ia merasa tenggorokannya tercekat. Lalu pelan-pelan, ia menjawab.

“...Saya terima.”

Dan saat kalimat itu meluncur dari bibirnya, Zia tahu satu hal: Ia baru saja membuka pintu ke dunia yang tidak akan pernah bisa ia tinggalkan.

Semua selesai.

Notaris mengesahkan dokumen. Tidak ada ciuman. Tidak ada pelukan. Hanya pengesahan hukum yang mengikat dua orang tak saling mengenal dalam satu nama keluarga.

Zia mengangkat sedikit bagian bawah gaunnya dan berjalan pelan di belakang Viren. Usai prosesi pemasangan cincin, mereka tidak bergandengan, tidak saling menoleh. Mereka berjalan sendiri-sendiri—seolah pernikahan itu tak pernah terjadi.

Di dekat pintu keluar, seorang pria berambut pirang berdiri tegak, nyaris tanpa ekspresi. "Saya yang akan mengantar Anda," ucapnya dingin.

Zia mengangguk pelan. Tatapannya sekilas melayang ke arah Viren yang kini berbicara dengan Alex dan Agatha. Entah apa yang mereka bicarakan. Raut wajah Viren seperti dinding—tidak bisa dibaca, tidak bisa ditembus.

Pria pirang itu—Manuel—membukakan pintu mobil. Ia membantu Zia masuk dengan hati-hati, memastikan gaun panjangnya tidak tersangkut. Tak ada basa-basi, tak ada ucapan selamat atau sambutan ramah. Hanya keheningan yang kaku di antara mereka.

Mobil melaju. Mereka duduk berjauhan di kursi belakang, terpisah oleh ruang dan ketegangan. Beberapa menit berlalu sebelum Zia akhirnya bertanya, suaranya nyaris seperti bisikan.

"Kemana kita akan pergi?"

"Ke Calligo," jawab Manuel singkat.

Zia mengerutkan kening. "Calligo?" ulangnya pelan. "Apa itu?"

Manuel menatap Zia lewat cermin tengah. Matanya tajam, dingin, dan penuh kewaspadaan.

"Tempat tinggal Tuan Viren," jawabnya.

Mobil melaju menembus malam. Lampu-lampu kota perlahan berganti dengan bayangan pohon dan jalanan yang makin sepi. Zia bersandar, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi semuanya terlalu cepat. Terlalu asing.

Gaun putih yang membalut tubuhnya terasa lebih seperti penjara daripada lambang bahagia. Ia melirik ke jendela, memandangi dunia luar yang berubah semakin gelap. Tak satu pun kata keluar dari mulut Manuel, dan Zia pun kehabisan pertanyaan yang ingin ia ajukan.

“Calligo....” gumamnya sendiri. Kata itu masih asing. Tapi cara Manuel mengucapkannya tadi… seolah tempat itu bukan sekadar rumah. Seolah ia akan dibawa ke sesuatu yang lebih dari sekadar tempat tinggal.

Setelah sekitar satu jam perjalanan, mobil akhirnya mulai melewati gerbang besi tinggi yang dijaga dua pria berseragam hitam. Mereka menunduk saat mobil lewat, tanpa berkata apa-apa. Zia memperhatikan setiap detail, merasa seperti memasuki benteng yang tersembunyi dari peta dunia.

Begitu memasuki area dalam, suasana berubah. Jalan yang mereka lewati diapit pohon-pohon tinggi dan terawat. Di kejauhan, tampak siluet bangunan besar dengan lampu-lampu temaram menghiasi sisi luar dindingnya.

Itulah Calligo.

Sebuah bangunan tua bergaya arsitektur Eropa klasik, berdiri kokoh seperti benteng keluarga bangsawan. Jendela-jendela tinggi, dinding batu berwarna gelap, dan atap lancip bersusun menciptakan kesan elegan sekaligus menyeramkan. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain cahaya yang menyala dari beberapa sisi.

Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Manuel turun lebih dulu, kemudian membukakan pintu untuk Zia. Udara malam langsung menyergap kulitnya. Dingin. Senyap.

Tangga marmer membentang dari halaman ke pintu depan, diapit dua patung singa batu yang mengintai bisu dalam gelap.

Zia melangkah ke dalam rumah megah yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi tempat tinggalnya. Setiap sudut ruangan tampak sempurna, terlalu sempurna. Tidak ada suara, hanya keheningan yang menggantung di udara. Langkahnya terhenti di tengah ruang tamu yang luas, menghadap ke tangga besar yang terbuat dari marmer putih yang berkilau, namun terasa dingin, seakan-akan tidak ada kehidupan yang pernah menghuni rumah itu.

Ia memeriksa gaun pengantin yang masih terpasang di tubuhnya. Riasan wajahnya mulai luntur, tapi senyumnya yang dipaksakan sejak tadi tetap bertahan. Zia tahu bahwa senyum itu hanya untuk menutupi kegelisahan di dalam hatinya, tetapi siapa yang bisa melihatnya?

“Selamat datang, Nona,” suara pengawal yang muncul dari balik pintu membuat Zia terkejut. Seorang pria tinggi mengenakan jas hitam berdiri di sana, wajahnya tidak menampakkan ekspresi sama sekali—Jake—. Dengan nada suara yang datar, ia mempersilakan Zia untuk melanjutkan langkahnya. Zia mengangguk tanpa berkata apa-apa, mencoba menahan perasaan cemas yang kian menggerogoti dirinya.

Ia melangkah lebih jauh, mengikuti pengawal itu ke arah tangga, yang mengarah ke lantai atas. Rumah ini begitu besar, hampir seperti labirin. Setiap ruangan terlalu sunyi, terlalu tertata, seolah-olah tuan rumahnya lebih memilih hening daripada kehangatan.

“Ini kamar Anda, Nona,” pengawal itu berhenti di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu gelap. Dengan gerakan cepat, ia membuka pintu dan Zia melangkah masuk ke kamar yang disiapkan untuknya—kamar tidur pengantin mereka. Mata Zia menyapu seluruh ruangan. Tempat tidur besar yang dihiasi dengan tirai tipis yang menjuntai lembut. Lampu kristal yang menggantung dari langit-langit. Semua tampak sempurna. Tapi ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang membuatnya merasa tercekik.

Zia memaksakan dirinya untuk tersenyum, meski perasaan di dalam hatinya seperti tumpukan batu. Ia menyentuh gaunnya dan merasa sedikit canggung dengan seluruh situasi ini. Namun, sebelum ia bisa mengumpulkan pikiran, suara langkah kaki terdengar dari luar pintu.

Pintu kamar terbuka dengan tenang, dan di sana dia berdiri—Viren Kaeshiro, suaminya.

Zia menatap pria itu dengan kebingungan yang tak terucapkan. Viren masih mengenakan jas hitam yang rapi, ekspresinya datar, tak ada perasaan yang bisa terbaca dari wajahnya. Mata gelapnya menatap Zia sekilas, tanpa menunjukkan sedikit pun kehangatan. Seperti biasa, wajahnya tampak tidak terganggu oleh apa pun. Suara langkah kakinya yang mantap semakin mendekat, dan Zia merasa seluruh tubuhnya kaku, seolah-olah waktu terhenti sesaat.

Viren melepaskan jasnya dan menggantungnya di belakang kursi, lalu duduk di sisi tempat tidur. Suasana semakin hening. Zia hanya berdiri di sana, mencoba untuk terlihat tenang, tetapi hatinya berdebar kencang. Entah kenapa, kehadiran Viren justru membuatnya merasa semakin jauh dari kenyamanan.

“Apakah kau tidak ingin berganti pakaian?” tanya Viren tanpa menoleh. Suaranya datar—lebih terdengar seperti perintah daripada pertanyaan.

Zia mengangguk pelan. “Iya…” ucapnya lirih, masih berusaha menyesuaikan diri dengan suasana yang dingin dan asing ini.

Ia berjalan pelan menuju lemari besar di sudut ruangan. Saat membuka pintunya, ia hanya menemukan deretan kemeja berwarna netral dan beberapa kaus yang tertata rapi. Tak ada satu pun miliknya di sana.

“Aku tidak membawa pakaian sendiri,” ujarnya sambil menoleh.

“Gunakan saja yang ada di depan matamu,” balas Viren datar.

Zia mengangguk. Ia mengambil sweater abu tua yang terlihat paling nyaman, lalu membawanya ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar dalam balutan sweater kebesaran yang menjuntai hingga lutut. Lengan panjangnya terpaksa digulung agar tak menutupi tangannya.

Ia berdiri di ambang pintu kamar mandi, lalu memberanikan diri bertanya, suaranya pelan namun terdengar jelas di tengah keheningan.

“Kau yang waktu itu membeli red velvet, bukan?”

“Ya.”

Zia menunduk sejenak, menarik napas. “Kita… tidak seharusnya bersama.”

Viren tidak langsung menjawab. Ia tetap memandang ke depan, seolah pertanyaan itu tak cukup penting untuk membuatnya menoleh.

“Jangan khawatir,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang. “Kita akan menjalani pernikahan ini dengan cara yang… praktis.”

Zia mengernyit. “Praktis?”

Viren tersenyum kecil, tapi itu bukan senyum yang hangat—melainkan senyum dingin yang kosong makna. “Ini hanya formalitas. Kau dan aku… tidak perlu berbagi banyak. Tidak perlu terlibat terlalu dalam.”

Zia merasa ada sesuatu yang menusuk dadanya. Ia menunduk lalu mengangguk perlahan, tangannya mengepal di sisi tubuh, tersembunyi di balik lipatan kain. Ia tak ingin siapa pun melihat betapa keras usahanya menahan diri. Ia mengangkat wajah lagi, tatapannya tak goyah—tapi ada sesuatu di sana yang sempat berkedip: kecewa yang terlalu dalam untuk diucapkan.

“Baiklah. Itu terdengar lebih baik,” ucapnya akhirnya, dengan nada yang datar namun mantap.

“Aku terima perjanjian ini.”

Hening.

"Oke." Jawabnya singkat lalu pergi.

.

.

.

.

Terimakasih atas kunjungan serta dukungan kalian semua🤗Jangan lupa like nya😘 karena itu bikin author semangat 🤗

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!