Claire Jenkins, seorang mahasiswi cerdas dari keluarga yang terlilit masalah keuangan, terpaksa menjalani prosedur inseminasi buatan demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran.
Lima tahun kemudian, Claire kembali ke Italia sebagai penerjemah profesional di Istana Presiden. Tanpa disangka, ia bertemu kembali dengan anak yang pernah dilahirkannya Milo, putra dari Presiden Italia, Atlas Foster.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7 🩷
Pada hari pertama bekerja di istana, Claire hanya mempelajari lingkungan kerja dan membiasakan diri dengan protokol istana. Tidak ada tugas penting yang harus diselesaikan, sehingga tepat pukul 18:00, dia pulang sesuai jadwal.
Meskipun dia dibesarkan di kota metropolitan yang ramai ini, Claire belum benar-benar menginjak tanah kelahirannya selama lima tahun terakhir. Roma masih sama indahnya, dengan arsitektur kuno yang berpadu harmonis dengan bangunan modern.
Dulu, dalam keputusasaan karena kehamilan yang tidak direncanakan, Claire pernah mengancam ayah dan ibu tirinya. Kemudian dia menggunakan waktu kehamilan di rumah untuk mendaftar ke universitas luar negeri.
Tidak lama setelah melahirkan, Claire berhasil diterima di Universitas Oxford di Inggris. Dia pergi sendirian, meninggalkan segala kenangan menyakitkan di Italia. Setelah lulus, dia melanjutkan pendidikan master di Universitas Sorbonne di Paris, tempat dia mengasah kemampuan linguistiknya hingga mencapai tingkat yang mengesankan.
Lima tahun kemudian, Roma masih semarak dan makmur seperti dulu. Namun bagi Claire, semuanya telah berubah. Dia bukan lagi gadis muda yang naif, melainkan wanita dewasa yang mandiri dengan karier yang menjanjikan.
"Kau sudah pulang! Aku sedang berencana membuat pasta instan. Mau semangkuk?" Nora Greene, sahabat sekaligus teman sekamar Claire, mendongak dari ponselnya dan bertanya dengan senyum yang ramah.
Claire melepas kacamata berbingkai hitamnya dan meletakkannya di rak sepatu dekat pintu masuk. Dia menunduk untuk mengganti sepatu sambil berkata, "Jangan makan pasta instan terus, Nora. Aku yang akan memasak malam ini."
"Claire, kau bilang kau tidak rabun jauh, lalu mengapa kau memakai kacamata? Dan kacamata berbingkai hitam yang terlihat seperti milik pustakawan tua?" Sambil berbicara, Nora sudah berjalan mendekati Claire. Dia mengangkat tangan, mengaitkan dagu Claire, menyipitkan mata hijaunya yang menawan, dan menatap sahabatnya dengan pandangan yang menggoda. "Lihat, itu benar-benar menyembunyikan wajah cantikmu yang menawan."
Claire melirik Nora dan tersenyum, menepis tangannya dengan lembut, "Aku suka begini, memangnya kenapa?"
"Dan lihat juga pakaianmu," Nora kembali menarik kerah blus Claire, "Kau berpakaian seperti sekretaris berusia lima puluh tahun! Bahkan wanita berusia lima puluh tahun tidak mengancingkan bajunya serapi ini!" Nora tertawa sinis. "Memangnya ada pria hidung belang di istana presiden?"
Claire melirik Nora dengan tatapan yang sabar. Dia tidak ingin mendengar keluhan sahabatnya lagi, jadi dia menjelaskan sambil berjalan menuju dapur, "Bukan karena ada pria hidung belang di istana, tapi karena aku baru mulai bekerja dan tidak ingin terlalu mencolok. Aku dipekerjakan sebagai pengecualian untuk bekerja di Istana Presiden. Mungkin sudah banyak orang yang tidak senang dengan keputusan itu."
Nora mengikuti di belakang Claire, mendengarkan penjelasannya sambil mengangguk setuju, "Kau benar. Burung pertama yang menjulurkan kepala akan kena tembak lebih dulu. Dengan kecantikan seperti milikmu, mudah saja membuat semua orang, terutama wanita lain, merasa terancam."
"Tepat sekali," Claire mengangguk dan pergi ke dapur untuk mengambil air minum.
"Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya hari pertama bekerja di istana? Apakah kau bertemu dengan Presiden Atlas yang terkenal tampan itu?" Nora bertanya dengan antusias, bersandar di kulkas dengan tangan disilangkan, salah satu kakinya yang panjang bergoyang-goyang.
Claire menyesap air dan mengangguk, "Ya, dia memang lebih tampan secara langsung daripada di televisi, tapi..."
"Tapi apa?"
Claire tersenyum dengan gugup, "Aku tidak berani menatap matanya langsung, dan juga tidak berani berbicara banyak dengannya. Aura nya begitu intimidasi."
"Oh, ayolah!" Nora menggelengkan kepalanya dengan frustasi. "Dia hanya pria biasa dengan dua kaki! Meskipun dia Presiden, lalu kenapa? Dia tidak akan memakanmu hidup-hidup. Kau kan tidak melakukan kesalahan apa-apa."