NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35

Reyhan mengalihkan pandangan pada istrinya, menatap perut Nayla yang semakin membesar.

“Tak terasa… sebentar lagi kita punya dua,” ujarnya pelan.

Nayla tersenyum sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Reyhan. “Dan aku masih belum percaya… dulu kita pikir segalanya akan berakhir. Tapi sekarang, kita malah diberi kesempatan lagi.”

Reyhan mengecup pelipis istrinya penuh rasa syukur. “Aku tidak akan menyia-nyiakan satu detik pun.”

Tak lama, seorang guru menghampiri mereka di sisi gerbang. Wanita itu tersenyum ramah.

“Selamat pagi, Pak Reyhan, Bu Nayla. Saya Bu Rini, wali kelas Hana,” sapanya sopan.

“Selamat pagi, Bu,” sambut Reyhan hangat.

“Saya ingin menyampaikan sedikit soal Hana. Kami memang melihat ada ketegangan kecil antara Hana dan salah satu murid, Bima. Tapi kami juga sudah menegur Bima dan mengarahkan mereka untuk belajar menyelesaikan masalah dengan baik. Tapi saya mengerti jika Bapak dan Ibu ingin membicarakannya lebih lanjut.”

Nayla dan Reyhan saling pandang.

“Kalau bisa, kami ingin sedikit waktu dengan Ibu setelah jam sekolah. Kami tidak ingin masalah ini membuat Hana kehilangan semangat belajar,” ucap Nayla tenang.

“Tentu saja. Saya akan tunggu setelah jam pulang nanti.”

Reyhan mengangguk. “Terima kasih, Bu.”

Setelah Bu Rini pergi, Nayla menghela napas.

“Semoga saja tidak ada insiden lagi hari ini.”

Reyhan mengaitkan tangan istrinya. “Kalau pun ada… Hana kan punya Papa dan Mama yang siap jadi ‘pahlawan’ kapan saja.”

Nayla tertawa pelan, lalu mengangguk. “Dan sebentar lagi… adik yang akan ikut bantu juga.”

Di dalam kelas, suasana pelajaran sudah berganti menjadi waktu bermain. Anak-anak mulai berlarian kecil, ada yang menggambar, ada yang menyusun balok, dan beberapa duduk bergerombol di sudut ruangan.

Hana duduk sendiri di dekat jendela, menekuni bukunya. Namun, perhatiannya segera teralihkan saat mendengar suara ejekan dari arah belakang kelas.

“Makanya kamu nakal terus, Bim! Kamu tuh nggak punya Mama, jadi nggak ada yang ajarin sopan santun!”

“Iya! Anak yang nggak punya Mama, siapa juga yang mau temenan sama kamu!”

Bima berdiri mematung, matanya menatap dua anak laki-laki yang menudingnya. Mulutnya terkatup rapat, rahangnya mengeras menahan emosi. Tapi tak lama kemudian, matanya mulai berkaca-kaca. Ia hanya menunduk, memeluk tas kecilnya erat-erat.

Hana yang melihat semua itu langsung bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri mereka.

“Jangan kasar gitu!” seru Hana lantang. “Kalau kamu cuma bisa ejek orang, itu artinya kamu yang nggak tahu sopan santun!”

Kedua anak laki-laki itu kaget, tapi tetap membalas, “Kamu belain Bima? Dia itu nyebelin! Suka ganggu anak lain!”

Hana melipat tangan di dadanya, berdiri di samping Bima. “Dia mungkin nyebelin, tapi itu bukan alasan kalian buat jadi jahat. Dan soal dia nggak punya Mama... itu bukan salah dia! Kalian tahu nggak, gimana rasanya kehilangan Mama?”

Kedua anak itu terdiam, menunduk perlahan.

Bima hanya bisa menatap Hana dengan pandangan terkejut. Ia tidak menyangka Hana, yang biasanya malah sering adu mulut dengannya, kini berdiri di pihaknya.

“Pergi sana, sebelum Bu Guru datang!” bentak Hana lagi.

Anak-anak itu pun bubar, pergi menjauh dengan raut bersalah.

Bima menunduk. “Kenapa kamu belain aku?” suaranya pelan dan serak.

Hana mengembuskan napas, lalu duduk di samping Bima. “Aku tahu kamu suka gangguin aku. Tapi aku juga tahu kamu nggak jahat. Kamu cuma… marah, ya?”

Bima tidak menjawab. Tapi air matanya mulai menetes. Ia mengusapnya cepat-cepat.

“Aku nggak suka dikatain kayak gitu. Mamaku udah nggak ada sejak aku bayi. Aku nggak pernah lihat wajahnya…”

Hana menunduk sedih. “Maaf ya, Bima. Aku juga kemarin pernah ngomong kasar ke kamu.”

Bima menggeleng. “Nggak apa-apa.”

Hening sejenak, lalu Hana berkata pelan, “Kalau kamu mau… aku bisa temenan sama kamu.”

Bima menoleh, matanya membesar. “Beneran?”

Hana mengangguk. “Tapi kamu harus janji… jangan ganggu aku lagi.”

Bima buru-buru mengangguk. “Janji!”

Wajah Hana mengembang dengan senyum kecil. “Ayo main bareng. Kita bikin rumah-rumahan pakai balok.”

Bima mengangguk cepat, matanya mulai berbinar. Mereka pun bangkit bersama dan berjalan menuju pojok balok mainan.

Dari kejauhan, Bu Rini memperhatikan mereka sambil tersenyum haru.

“Anak-anak ini… kadang lebih tahu caranya menyembuhkan luka daripada orang dewasa,” gumamnya pelan.

***

Sore itu, langit cerah dan angin berembus lembut. Di pelataran sekolah, Reyhan dan Nayla sudah berdiri menunggu, seperti biasanya. Perut Nayla yang membesar membuat beberapa guru dan orang tua murid yang lain sesekali menyapanya hangat, bertanya tentang usia kandungan dan jenis kelamin sang bayi.

Tak lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Deretan anak-anak mulai keluar dari gerbang, sebagian berlarian sambil tertawa riang. Hana pun muncul, tapi kali ini tak sendiri.

Reyhan dan Nayla terbelalak ketika melihat Hana menggandeng tangan seorang anak laki-laki. Anak itu agak kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya tampak canggung namun bersinar.

“Hana!” panggil Nayla sambil melambai. “Itu siapa, Nak?”

Hana berlari kecil menghampiri, masih menggandeng Bima yang tampak agak malu-malu.

“Ma, Pa! Ini temanku, namanya Bima.”

Reyhan berjongkok, menatap Bima ramah. “Halo, Bima.”

“H-halo…” jawab Bima pelan, menunduk sopan.

Nayla menatap Hana penasaran. “Bukankah Bima anak yang sering ganggu kamu, Hana?”

Hana mengangguk. “Iya. Tapi dia sekarang udah baik. Dia minta maaf, dan kami sekarang temenan.”

Reyhan dan Nayla saling pandang, keduanya tersenyum kecil.

“Hari ini… temannya Bima bilang yang nggak-nggak, Ma,” kata Hana kemudian. “Mereka ejek Bima karena dia nggak punya Mama.”

Nayla langsung menunduk menatap Bima dengan lembut. “Oh, sayang…”

“Tapi aku marahin mereka,” lanjut Hana. “Aku bilang, itu bukan salah Bima. Dan kalau dia mau, aku bisa jadi temannya.”

Reyhan mengusap kepala Hana dengan bangga. “Kamu hebat, Nak. Papa bangga sekali sama kamu.”

Nayla pun membungkuk pelan di hadapan Bima. “Bima, kamu mau main ke rumah kami weekend ini? Hana pasti senang sekali.”

Bima menoleh ragu, lalu mengangguk pelan. “Iya, Bu.”

Hana menoleh pada Bima sambil tersenyum. “Nanti aku tunjukin koleksi boneka singaku. Tapi jangan gangguin dia lagi, ya!”

Bima tertawa kecil. “Iya, aku janji.”

Sementara itu, Reyhan menggandeng tangan Hana dan Nayla. Mereka berjalan menuju mobil dengan langkah ringan. Hari itu, bukan hanya Hana yang bertumbuh. Tapi hati Reyhan dan Nayla pun ikut dipenuhi harapan dan rasa syukur, karena anak kecil mereka ternyata memiliki hati yang begitu besar untuk memahami arti luka dan memaafkan.

Di belakang, Bima menatap keluarga kecil itu diam-diam.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!